Senin, 13 Oktober 2014

Permasalahan Pelaksanaan Perma Diversi pada pengadilan negeri



SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
           PELAKSANAAN DIVERSI DI PENGADILAN          [1]
Oleh: Sobandi[2]
A.    Pendahuluan
            Setelah masa 2 (dua) tahun  berlalu sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2012 dan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 153,  maka pada awal Agustus 2014, dalam sistem peradilan di Indonesia diberlakukan UU SPPA.
Dalam pertimbangan lahirnya UU SPPA dapat kita ketahui bahwa negara Indonesia memandang anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam Konstitusi Indonesia, Pasal 28B UUD 1945 anak dipandang memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia, sehingga pemerintah harus membuat kebijakan yang bertujuan untuk melindungi anak.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak sudah dikenal di dunia internasional bahkan PBB telah mempunyai konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi hak-hak anak tersebut mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Indonesia sebenarnya telah mempunyai undang-undang yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara yaitu UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, akan tetapi dalam pelaksanaan UU Pengadilan Anak tersebut,  anak diposisikan sebagai objek dan perlakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain hal tersebut, UU Pengadilan Anak sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal demikianlah yang juga menjadi latar belakang dan pertimbangan pemerintah mengeluarkan undang-undang baru untuk melindungi kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum, yatu UU SPPA.
UU SPPA mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.  Hal tersebut di atas sesuai dengan resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Adminitration of Juvelnile Justice, (Beijing Rule) Rule 11: 2 : [3]
Diversion, impolving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis ini many legal system. This practice serves to hinder the negatif effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This Diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the family, the school or other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and contructive manner”.
Perkara anak yang berhadapan dengan hukum menurut UU SPPA wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Kemudian mengingat  ciri dan sifat yang khas pada anak dan untuk memberikan perlindungan terhadap anak, proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak . Akan tetapi, sebelum masuk   peradilan, para penegak hukum, keluarga dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Pasal 15 UU SPPA menyatakan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan sampai sekarang Peraturan Pemerintah dimaksud belum ada, kemungkinan besar Peraturan Pemerintah dimaksud akan ditetapkan tahun depan apabila mengacu pada perintah UU SPPA, pasal 107 yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan UU SPPA harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan. Padahal sejak awal Agustus 2014, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib mengupayakan diversi sementara Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi belum ada sehingga para penegak hukum baik  penyidik, penuntut umum mapun hakim kesulitan untuk melaksanakan kewajiban diversi ini karena kekosongan hukum tersebut.
Dalam kondisi kekosongan hukum mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi tersebut,  Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (PERMA DIVERSI), yang ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 24 Juli 2014 dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014. Kekosongan hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI.
Berkaitan dengan tugas mata kuliah Politik Perundang-undangan Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Joni Emirzon, SH.,MHum., pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tahun akademik 2013/2014, penulis akan mengkaji PERMA DIVERSI sebagai objek kajian dari sudut politik perundang-undangan.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah negara atau pemerintah. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau pemerintah, sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentuykan peraturan perundang-undangan, namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengkutsertakan pihak bukan negara atau pihak bukan pemerintah.[4]
Peraturan Perundang-undangan merupakan subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu membahas politik perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).[5]
Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasi pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, yaitu supramasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakkan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, aaupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahkan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan denga subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki per undang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional. Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan. Pembenahan budaya hukum melalui pendidikan dan sosialisai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang telah terdegradasi, apatisme dan mneurunnya tingkat apresiasi masayarakat pada hukum.[6]
B.    Permasalahan
Permasalahan PERMA DIVERSI sebagai objek kajian dari sudut politik perundang-undangan dirumuskan sebagai berikut :
1.     Bagaimana kedudukan PERMA DIVERSI dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
2.     Bagaimana hakim melaksanakan diversi di pengadilan ?
C.    Pembahasan

1.     Kedudukan PERMA DIVERSI dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
            Dalam pembahasan permasalahan tentang kedudukan PERMA DIVERSI dalam sistem peraturan perundang-undangan ini, penulis akan membahas 2 (dua) sub pokok bahasan yaitu mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan PERMA DIVERSI dan kekuatan hukum dari PERMA DIVERSI.
a.      Wewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI
Wewenang pembentukan aturan hukum adalah wewenang negara atau  pemerintah dalam membuat aturan hukum. Kekuasaan membentuk aturan hukum merupakan salah satu kekuasaan negara untuk membuat keputusan.  Negara melalui alat-alat perlengkapan atau jabatan negara dapat membuat berbagai macam keputusan. Namun, wewenang pembetukan aturan hukum dimiliki tertentu oleh lembaga negara yang ditunjuk. dalam teori Montesque tentang pembagian kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif akan menunjukkan wewenang terhadap hukum tersebut.
Setiap tindakan pembentukan aturan hukum harus bertumpu pada wewenang yang sah. Wewenang sah itu diperoleh melalui 3 (tiga) sumber, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.[7] Wewenang atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh UUD, wewenang delegasi dan mandat adalah wewenang yang berasal dari pelimpahan.[8]
Mahkamah Agung sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia (Yudikatif), diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerbitkan suatu peraturan yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ataupun pelengkap kekurangan aturan terhadap hukum acara, demi memperlancar penyelenggaraan peradilan. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, peraturan yang diperoleh berdasarkan delegasi kewenangan itu dinamakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).[9]
Kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA bersumber pada kontitusi yaitu ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,  dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang”.
Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang dapat kita lihat dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (UU MA), yaitu UU No.14 Tahun 1985 yang dirubah dengan UU No.5 Tahun 2004 dan dirubah kembali dengan UU No.3 Tahun 2009, berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma terdapat dalam Pasal 79 UU MA yang berbunyi:
“ Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.
Dan pada Penjelasan Pasal 79 UU MA dinyatakan :
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat aturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-Undang”.
Menurut Dr. Febrian dalam disertasinya, dari ketentuan Pasal 79 UU MA berikut penjelasannya dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :[10]
(1)  Adanya delegasi wewenang dari pembentuk Undang-Undang kepada Mahkamah Agung;
(2)  Aturan yang dibuat Mahkamah Agung terbatas pada pengaturan tentang tata cara penyelesaian suatu soal (berarti mengatur tentang hukum acara terhadap suatu hal) guna kelancaran peradilan.
(3)  Aturan yang dibuat Mahkamah Agung secara substansial berbeda dengan aturan yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang.
(4)  Aturan yang dibuat Mahkamah Agung adalah tidak mencampuri hak dan kewajiban warganegara.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh penulis dalam bab pedahuluan bahwa terbitnya PERMA DIVERSI dilatarbelakangi oleh kekosongan hukum mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi tersebut,hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan PERMA DIVERSI yang menyatakan:
 “ a. bahwa berdasarkan Pasal 5 sampai engan Pasal 14, Pasal 29, Pasal 42 dan Pasal 52 ayat (2) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengupayakan diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif”.
“b. bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012  tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan tahapan proses diversi”.
“c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan b maka perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”.
Berdasarkan uraian tentang wewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI adalah kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA.
b.     Kekuatan hukum PERMA DIVERSI
 Kekuatan hukum disini menurut Yuliandri dikutip dari Muhammad Yasin adalah kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. [11] Oleh karena itu  PERMA DIVERSI agar mempunyai kekuatan hukum mengikat seharusnya tunduk pada prinsip hierarki. Menurut Dr. Febrian,  permasalahan hierarki adalah permasalahan bentuk aturan hukum dan wewenang pembentukan.[12]
Indonesia telah mempunyai Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (UU P3) yaitu UU No.12 tahun 2011  yang merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.  Sistem tertib hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk pertama kalinya diatur dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, yang kemudian diganti dengan Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan kemudian diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 yang selanjutnya UU tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU P3.
UU P3 didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, maka segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus didasarkan pada hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan beramsyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 1 angka 2 UU P3 memberikan definisi peraturan perundang-undangan yaitu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 7 UU P3, terdiri atas :
(1)  UUD 1945.
(2)  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(4)  Peraturan Pemerintah.
(5)  Peraturan Daerah Provinsi; dan
(6)  Peraturan daerah Kabupaten/Kota.
Melihat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA DIVERSI) tidak termasuk di dalamnya, namun dalam pasal berikutnya yaitu Pasal 8 ayat (1) UU P3 dinyatakan :
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Sehingga sudah jelas bahwa PERMA DIVERSI merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3;
Mengenai kekuatan hukum dari PERMA DIVERSI dapat kita baca ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang menyatakan :
“ Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”
PERMA DIVERSI ditetapkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA. Jimly Asshiddiqie  memasukkan peraturan MA sebagai peraturan yang bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis.[13]
Meskipun PERMA tidak disebutkan secara terang dan jelas dalam jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU P3, namun sebagaimana telah dibahas di atas bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU P3 PERMA diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh pearturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. PERMA sebagai produk hukum dari lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Agung yang lex superior-nya adalah Pasal 79 UU MA merupakan salah satu Peraturan Perundang-Undangan, sehingga sebagai peraturan perundang-undangan PERMA termasuk PERMA DIVERSI diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak hanya mengikat sebatas internal Mahkamah Agung atau badan peradilan saja, tetapi mengikat secara umum.
Dalam kerangka hirarki perundang-undangan, derajat kedudukan PERMA adalah sama atau setingkat dengan  Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden karena PERMA diperintahkan oleh Undang-Undang (Pasal 79 UU MA). Namun derajat kedudukan PERMA apabila dilihat dari aspek materi muatan tergantung kepada peraturan mana yang memerintahkannya atau peraturan perundang-undangan mana yang akan dilengkapi oleh PERMA tersebut. PERMA akan sederajat dengan Peraturan Pemerintah apabila melengkapi suatu ketentuan UU, dan PERMA dapat sederajat dengan Peraturan Presiden atau di bawah Peraturan Pemerintah apabila materi muatannya melengkapi Peraturan Pemerintah. materi muatan PERMA DIVERSI sederajat dengan Peraturan Pemerintah karena melengkapi kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA.
Materi muatan yang diatur PERMA tidak boleh bersifat membebankan atau mewajibkan kepada rakyat atau warga negara.[14] Membebankan atau mewajibkan dimaksud adalah hal-hal yang bersifat memerintahkan, memaksa, melarang, yang sifatnya megurangi atau membatasi hak-hak rakyat atau warga negara, misalnya mengenakan pajak, memerintahkan paksa melakukan suatu perbuatan karena berdasarkan teori kedaulatan rakyat yang berdaulat atau berkuasa adalah rakyat, oleh karenanya setiap pengaturan yang mewajibkan atau membebankan kepada rakyat atau warga negara haruslah mendapat persetujuan dari rakyat, dalam hal ini dari DPR sebagai representasi dari kedaulatan rakyat.[15]
Berdasarkan teori kedaulatan rakyat tersebut, materi muatan PERMA sebagai peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, yang bukan lembaga representasi kedaulatan rakyat tidak boleh bersifat membebankan atau mewajibkan kepada rakyat atau warga negara, kecuali mendapat regresi atau perintah pengaturan dari undang-undang termasuk untuk melengkapi suatu undang-undang yang sudah tentu tidak boleh mengubah, apalagi melampaui pengaturan suatu undang-undang.
Lalu, apakah peradilan tunduk kepada produk hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung termasuk dalam hal ini PERMA DIVERSI? Pasal 32 ayat (4) UU MA menggunakan frasa ‘semua lingkungan peradilan’. Ketentuan ini perlu dikaitkan dengan fungsi pengawasan MA terhadap peradilan umum,  peradilan agama,  peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer, terutama untuk peradilan umum. Ukuran yang dipakai undang-undang adalah jangan sampai produk hukum itu ‘mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara’. [16]
Selain menerbitkan PERMA, Mahkamah Agung juga berwenang menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA). SEMA adalah bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat administrasi, Fatwa berisi pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan lembaga negara, sedangkan SK KMA adalah surat keputusan yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung mengenai satu hal tertentu.[17]
2.     Pelaksanaan Diversi Di Pengadilan
Dalam pokok bahasan permasalahan pelaksanaan diversi di pengadilan ini, penulis akan membahas 2 (dua) sub bahasan, yaitu konsep umum pelaksanaan diversi dan permasalahan dalam pelaksanan diversi di pengadilan.
a. Konsep umum pelaksanaan diversi
M.Lutfi Chakim[18] mengemukakan dalam blognya bahwa konsep diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebenarnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 dengan berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke 19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning), prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963.
Pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan  belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeiksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan /atau dialaminya sendiri.
SPPA dilaksanakan berdasarkan asas Perlindungan,  Keadilan,  Nondiskriminasi, Kepentingan terbaik untuk anak,  Penghargaan terhadap pendapat anak,  Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, Pembinaan dan pembimbingan anak,  Proporsional,  Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir  dan Penghindaran pembalasan.
Diversi sendiri diartikan dalam UU SPPA adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan bagian dari keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong anak untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Pada Pasal 7 UU SPPA dinyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif, dalam hal diperlukan musyawarah diversi dapat melibatkan Tenaga Kesejahteran Sosial, dan/atau masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk  antara lain perdamaian dengan tanpa gangti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan diversi disampaikan kepada penngadilan negeri untuk memperoleh penetapan kesepakatan, yang kemudian Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan, atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan pengehentian penuntutan.
Proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan.
b.     Permasalahan pelaksanaan diversi di pengadilan
Pelaksanaan diversi di pengadilan terbagi dalam tahapan persiapan diversi, tahapan musyawarah diversi dan tahapan kesepakatan diversi.
Tahapan persiapan diversi , setelah menerima penetapan Ketua Pengadilan untuk menangani perkara yang wajib diupayakan diversi hakim mengeluarkan Penetapan Hari Musyawarah Diversi. Penetapan Hakim tersebut memuat perintah kepada Penuntut Umum untuk menghadirkan anak dan orang tua/wali atau pendampingnya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, Perwakilan Masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya yang dipandang perlu untuk dilibatkan dalam musyawarah diversi. Penetapan hakim tersebut juga mencantumkan hari, tanggal, waktu serta tempat dilaksanakannya musyawarah diversi.
Tahapan musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi (Hakim) dengan perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak. Fasilitator diversi menjelaskan tugas fasilitator dan ringkasan dakwaan, Pembimbing Kamasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitaror diversi wajib memberikan kesempatan kepada anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan, orang tua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan, korban/anak korban/orang tua/wali untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan. Pekerja Sosial Profesional memberikan informasi tentang keadaan sosial anak korban serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi pendukung penyelesaian dan juga dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus).
Fasilitator diversi menuangkan hasil musyawarah ke dalam kesepakatan diversi. Dalam menyusun kesepakatan diversi, fasilitator diversi memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan diversi tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, atau memuat hal-hal yang tidak dapat dilaksankaan anak atau memuat itikad tidak baik.
Tahapan kesepakatan diversi, musyawarah diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi. kesepakatan diversi ditandatangani oleh para pihak dan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan untuk mendapatkan penetapan kesepakatan diversi. Setelah menerima penetapan kesepakatan diversi, hakim menerbitkan penetapan pengehntian pemeriksaan perkara.
Permasalahan pelaksanaan diversi di pengadilan, diantaranya yang penuli temukan adalah:
(1)  Kewajiban diversi menurut pasal 2 PERMA DIVERSI, diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kewajiban diversi ini berbeda dengan ketentuan dalam UU SPPA yang tidak menyebutkan masalah anak pernah kawin atau tidak.
(2)  Pasal 3 PERMA DIVERSI, Hakim wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam UU SPPA yang menyatakan bahwa diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
(3)  Kewenangan hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara, setelah menerima penetapan  Ketua Pengadilan tentang hasil kesepakatan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (5) PERMA DIVERSI sementara UU SPPA dalam pasal 12 hanya memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum untuk menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Untuk permasalahan pertama pelaksanaan diversi yaitu mengenai pengertian anak masih dianggap anak meskipun pernah kawin,   asal anak tersebut berumur diatas 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, penulis kurang setuju dengan PERMA DIVERSI karena sesuai hukum adat maupun hukum nasional, orang yang sudah kawin dianggap telah dewasa.
Permasalahan kedua, meski kelihatannya PERMA DIVERSI membuat norma baru untuk melakukan diversi dan seperti bertentangan dengan UU SPPA yaitu menambahkan didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau lebih, penulis tidak keberatan dengan alasan bahwa UU SPPA berbicara pasal dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun sementara PERMA DIVERSI berbicara masalah perkara yang dilimpahkan ke pengadilan dengan susunan dan bentuk dakwaan tunggal, subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), sehingga ketika perkara anak dilimpahkan ke pengadilan, maka wajib dilakukan diversi asal ada dakwaan dengan pasal yang diancam pidana di bawah 7 (tujuh) tahun.
Selain alasan tersebut penulis setuju untuk memuat ketentuan Pasal 3 PERMA DIVERSI karena sesuai asas dalam UU SPPA yaitu kepentingan terbaik untuk anak dan juga bahwa tidak ada larangan untuk melakukan diversi terhadap perkara anak , yang ada adalah kewajiban melakukan diversi bahkan pernah para pejabat yang lalai melakukan kewajiban untuk mengupayakan diversi diancam dengan pidana penjara.[19] Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 8 PERMA DIVERSI yang menyatakan bahwa “ Fasilitator Diversi tidak dapat dikenai pertanggung jawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan diversi”
Berkaitan dengan diversi untuk perkara yang didakwa dengan dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) menimbulkan pertanyaan bagaimana kelanjutan  perkara tersebut apabila hanya salah satu dakwaan yang berhasil mencapai kesepakatan diversi. Dalam hal ini menurut penulis perkara tersebut tetap dilanjutkan dan tidak ada penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang hasil kesepakatan diversi sedangkan kesepakatan diversi yang telah dicapai untuk salah satu dakwaan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, sesuai ketentuan Pasal 7 PERMA DIVERSI.
Untuk permasalahan ketiga, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa kewenangan penyidik untuk menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum untuk menerbitkan penetapan penghentian penuntutan selain diberikan oleh UU SPPA juga diatur dalam KUHAP, yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf i untuk menghentikan penyidikan dan pasal 14 huruf h untuk menutup perkara demi kepentingan hukum, hal tersebut juga relevan dengan ketentuan praperadilan pasal 77 huruf a yang menyatakan bahwa : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya ...........penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”. Sedangkan kewenangan hakim untuk menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara tidak ada diatur dalam UU SPPA maupun KUHAP.
Tetapi meski UU SPPA maupun KUHAP tidak mengatur kewenangan hakim untuk menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara, dalam praktek peradilan banyak terjadi hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara, dalam hal terdakwa sakit permanen (contoh kasus Suharto) atau dalam hal terdakwa kabur sehingga tidak bisa dihadirkan kembali ke persidangan padahal pemeriksaan belum selesai (dasar: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1981 tentang Terdakwa Dari Semula Tidak Dapat Dihadapkan Di Persidangan, pengadilan menyatakan penuntutan terhadap terdakwa tidak dapat diterima), praktek peradilan tersebut dapat dijadikan pedoman oleh hakim dalam menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara.
Upaya hukum jika ada pihak yaang keberatan terhadap penetapan penghentian pemeriksaan perkara adalah mengajukan keberatan kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Hal ini berbeda dengan upaya hukum untuk menguji surat penetapan penghentian penyidikan dan surat penetapan penghentian penuntutan yaitu melalui proses praperadilan.
D.    Penutup

1.     Kesimpulan
a.      wewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI adalah kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPAwewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI adalah kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA
b.     PERMA DIVERSI merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan dalam semua tingkat peradilan umum.
c.      Diversi sendiri adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan bagian dari keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
d.     Permasalahan pelaksanaan diversi di pengadilan lebih kepada aturan dalam PERMA DIVERSI yang berbeda dengan UU SPPA, diantaranya pengertian anak meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, diversi untuk perkara didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) dan kewenangan hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara.




2.     Saran

a.      Pemerintah perlu segara menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi.
b.     Perlu ada sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan diversi dalam sistem peradilan pidana anak.

















Daftar Pustka :
1.     Bentham, Jeremy. 2013. Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana (Cetakan II). Diterjemahkan dari: Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (N.M. Tripadi, Private Limited, Bombay, 1979). Nuasa Cendikia & Nusamedia, Bandung, Indonesia.
2.     Emirzon, Joni.2014. Politik Per-UU. Catatan Mata Kuliah Politik Perundang-undangan pada Semester 3 (tiga) Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, tanggal 29 Agustus 2014.

3.     Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. (Tidak dipublikasikan).


4.     Harahap, M Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi kedua, Cetakan kesebelas). Sinar Grafika, Jakarta, Indonesia.

5.     Hadikusuma, H.Hilman. 2001. Hukum Perekonomian Adat Indonesia. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Indonesia.

6.     Kelsen, Hans. 2006. Teori Hukum Murni. Terjemahan oleh: Raisul Muttaqien. Nusamedia&Nuansa, Bandung, Indonesia.


7.     Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Terjemahan oleh: Raisul Muttaqien. Nusamedia&Nuansa, Bandung, Indonesia.


8.     Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, Indonesia.

9.     Hamzah, Andi. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Yarsif Watampone, Jakarta, Indonesia.

10.  MD, Moh.Mahfud. 2012. Politik Hukum di Indonesia (Cetakan ke-5). Rajawali Pers, Jakarta, Indonesia.


11.  Montesqueieu. 1977. The Spirit of Laws: Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Politik Hukum. Terjemahan oleh: M.Khoirul Anam. Nusa Media, Bandung, Indonesia.

12.  M. Lutfi Chakim. 17 Desember 2012. Implementasi Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.Internet:  lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu, 10 September 2014.

13.  Muhammad Yasin. 03 Mei 2013. Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada Kamis, 11 September 2014.

14.  Lumbuun & Co. Juli 12,210. PERMA & SITEM PERUNDANG-UNDANGAN. Internet:Lumbuun.blogspot.com, diakses pada Kamis, 11 September 2014.

15.  Sukadana, I Made. Peraturan Mahkamah Agung Dalam Sistem Tertib Hukum Peraturan Perundang-undangan. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIX No.344 Juli 2014.
Peraturan Perundang-undangan :
1.     UUD 1945
2.     UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
3.     UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
4.     UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
5.     UU No.4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
6.     UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
7.     UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
8.     PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Diversi



[1] Makalah disampaikan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Politik Perundang-Undangan Indonesia, Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Joni Emirzon, SH.,MHum., pada Semester 3 (tiga) Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tahun akademik 2014/2015.
[2] Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, NIM. 020133681318003.

[3] M. Lutfi Chakim. 17 Desember 2012. Implementasi Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Internet: lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu, 10 September 2014.
[4] Joni Emirzon.2014. Politik Per-UU. Catatan Mata Kuliah Politik Perundang-undangan pada Semester 3 (tiga) Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, tanggal 29 Agustus 2014.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7]  Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. (Tidak dipublikasikan). Hlm. 245.
[8] Ibid.
[9]  Lumbuun & Co. Juli 12,210. PERMA & SITEM PERUNDANG-UNDANGAN. Internet:Lumbuun.blogspot.com, diakses pada Kamis, 11 September 2014.
[10] Febrian. Op.Cit. Hlm. 292

[11] Muhammad Yasin. 03 Mei 2013. Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada Kamis, 11 September 2014.
[12] Febrian. Op.Cit. Hlm. xiv.
[13] Muhammad Yasin. 03 Mei 2013. Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada Kamis, 11 September 2014.
[14] I Made Sukadana.. Peraturan Mahkamah Agung Dalam Sistem Tertib Hukum Peraturan Perundang-undangan. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIX No.344 Juli 2014. Hlm.64.
[15] Ibid.
[16] Muhammad Yasin. Op.Cite.
[17] Ibid.
[18] M. Lutfi Chakim. 17 Desember 2012. Implementasi Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.Internet:  lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu, 10 September 2014.
[19] ketentuan pidana kepada pejabat khusus penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut Umum telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus