Jumat, 30 Mei 2014

KESOMBONGAN HARUS DIHUKUM  Ketika akan  perang Bharata Yudha, Yudisthira datang ke kubu lawan (Kurawa) dengan menundukkan kepala menyentuh kaki Bhisma,kaki Druna, kaki Sengkuni untuk meminta restu kemenangan dalam peperangan padahal mereka semua akan menjadi musuh dalam pertempuran,setelah Bhisma,Druna dan Sengkuni memberikan restu, Duryudhana mengkritik perbuatan para sini sepuh pihaknya tersebut yang telah memberi restu kepada pihak lawan (Pandawa) kemudian  dijawab oleh Bhisma bahwa sebenarnya Duryudhana dapat meminta restu kemenangan kepada Yudisthira dan dapat dipastikan Yudhistira akan memberikan restu kemenangan kepada Duryudhana tetapi Duryudhana tidak lakukan hal itu karena menurut Bhisma kesombongan telah menutup hati Duryudhana, akhir cerita membuktikan kesombongan Duryudhana telah memberikan Kurawa kekalahan dalam perang Bharata Yudha.

Kamis, 08 Mei 2014

Komentar Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH. “FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?

Komentar Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
“FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?[1]
Oleh : Sobandi            [2]
1.      Ringkasan Artikel
Artikel yang berjudul Fakultas Hukum: Untuk Profesi atau Ilmu dibuat oleh Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH., (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo) dalam rangka memenuhi permintaan Panitia Penerbitan Buku FH UI, menyambut 70 tahun usia Prof Mardjono Reksodiputro dengan tema “ Pendidikan di FH: Apakah dipersiapkan menjadi praktisi hukum atau lebih pada seorang SH yang dapat membantu reformasi hukum di Indonesia”.
Mengawali pembahasannya,  Satjipto Rahardjo berangkat dari pemahaman tentang pendidikan itu sendiri yang mempunyai dua ranah, yaitu profesional dan keilmuan. Pendidikan Hukum untuk ranah profesional akan mengembangkan ketrampilan, pembelajarannya lebih mengandung muatan praktis, sedangkan pendidikan hukum untuk keilmuan diajarkan “sebenarnya ilmu” untuk mencapai “kebenaran”.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo, berbicara mengenai sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yang menurut beliau merupakan bagian dari politik balas budi (“etische koers”) pemerintah kolonial Belanda, yaitu dengan pendirian rechtshogeshool pada tahun 1924 di Jakarta, penggunaan nama hogeschool pada rechtshogeschool lebih mendekatkan pendidikan untuk ranah profesi. Pendidikan tinggi hukum untuk menghasilkan praktisi dan profesional hukum warisan kolonial Belanda tersebut tetap berlangsung sampai beberapa dekade pada jaman kemerdekaan, baik di Universitas Indonesia di Jakarta, maupun Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, dan beberapa perguruan tinggi hukum lainnya, baru kemudian pada tahun 1970 muncul ide perubahan   salah satunya dari Muchtar Kusumaatmadja, guru besar pada Universitas Padjajaran, Bandung yang mengaitkan pendidikan hukum dengan pembangunan nasional sehingga kemampuan sarjana hukum tidak hanya diukur dari penyelesaian perkara-perkara hukum tetapi juga kemampuan untuk menggunakan atau mendayagunakan hukum bagi sarana pembangunan masyarakat.
Masih pada tahun 1970 an, menurut Satjipto Rahardjo studi hukum semakin diperluas dan diperkaya, sehingga tidak terlalu dogmatis, dengan diajarkan sosiologi hukum, seperti Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Universitas Diponogoro, dan Pusat Studi Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga. Studi hukum tidak berkutat di dalam ranah perundang-undangan melainkan juga dalam konteks sosial, terlihat dari karya di kepustakaan hukum seperti “ Hukum dan Masyarakat”, “ Hukum dan Perubahan Sosial”, “Law and Development: The need for reform of legal education in the developing countries”, “Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”, dan “ Studi Hukum Non-Dogmatik”.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menjelaskan pada pertengahan tahun 1980 terjadi revolusi diam-diam dalam dunia pendidikan tinggi, yaitu dengan membangun suatu struktur yang berjenjang atau berlapis (stratified). Era stratifikasi memperkenalkan tipe pembelajaran yang baru, yaitu pembelajaran atau program keilmuan, sehingga program-program pascasarjana diselenggarakan dengan semangat akademis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada program profesional, yaitu “bagaimana menerapkan hukum?”, dan “bagaimana membuat putusan?” tidak ditanyakan  pada program keilmuan mengejar kebenaran, calon doktor didorong untuk melakukan pencarian dan berani melakukan pembebasan, kemudian menurut beliau, sebagai kajian keilmuan, hukum dapat dikaji dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu, seperti filsafat, sosial, ekonomi, biologi, dan fisika sehingga akan melahirkan karya-karya yang menawarkan penyelesaian-penyelesaian alternatif dan tidak deterministik hukum.
Pada awalnya fakultas-fakultas hukum di Indonesia lebih berorientasi kepada pasar, dimana pasar lebih menghendaki agar lulusan fakultas hukum dapat bekerja menyelesaikan masalah atau perkara hukum dalam masyarakat secara konkret, seperti perdagangan, kontrak, pembelaan hukum dan sebagainya, apalagi sejak era globalisasi  dengan cara berpikir dan bertindak kapitalis sehingga profesionalisme hukum lebih untuk melayani produksi kapitalis dan idealisme mengabdi kepada rakyat menjadi terkesampingkan. Hal demikian juga menurut Satjipto Rahrdjo terjadi di Amerika Serikat, dengan mengutip pendapat Gerry Spence, pendidikan hukum di Amerika Serikat mengabaikan pekerjaan hukum sebagai pekerjaan untuk menolong manusia yang sedang susah, sehingga fakultas hukum  menghasilkan lawyer yang baik tidak diukur dari apakah mereka benar-benar mengabdi untuk rakyat,  sudah sejak menapakkan kakinya di fakultas hukum kepekaan mereka terhadap kemanusiaan dirampas, tidak ada gunanya para mahasiswa dijejali dengan sejumlah besar pengetahuan hukum tanpa didahului oleh penghalusan budi pekerti. Baru sekitar tahun 1983, pendidikan tinggi hukum di Indonesia menawarkan program pembelajaran untuk keperluan penerapan atau penegakan hukum sampai pada program “sebenarnya ilmu”.
Lulusan S1 memang untuk program profesional karena semata-mata dipersiapkan untuk spesialis penegakkan hukum, seperti jaksa dan hakim yang memang dipersiapkan untuk menerima hukum yang berlaku sebagai sesuatu yang dipertahankan dan dijalankan. Doktor ilmu hukum harus tidak menerima hukum yang berlaku sebagai suatu yang harus dijalankan begitu saja, mereka harus mencari, menemukan, serta mengungkapkan kebenaran.
Selain masalah stratifikasi menurut Satjipto Rahardjo, lulusan fakultas hukum dipengaruhi juga oleh idiologi pembelajaran. Menurut beliau idiologi pembelajaran penegakan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status quo) maka akan melahirkan para mesin penegak hukum sedangkan idiologi yang lebih progresif , maka kendati hukum berada dalam ranah penegakkan hukum, masih terbuka peluang untuk bertindak reformatif.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif pada intinya mengonsepkan hukum tidak hanya sebagai aturan tetapi juga perilaku, sehingga faktor dan peranan manusia menjadi sangat penting dalam hukum, hukum tidak lagi berfungsi mempertahankan status quo atau sebagai scema final, melainkan scema yang terus dikembangkan. Hukum Progresif mengajarkan agar para pelaku hukum berani melakukan pembebasan. Sejak saat hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan, tetapi juga perilaku, maka batas-batas antara menjalankan (enforcing law) dan mereformasi hukum (reforming law) mejadi tidak hitam putih lagi, dengan mengutip Holmes, membuat putusan hukum itu tidak ada kaitannya dengan “a book of mathematic”, melainkan sarat dengan aspek keperilakuan sang pengambil putusan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kecerdasan Spritual atau SQ, tidak semata mendasarkan pada logika, rasionalitas, dan berpikir menurut aturan yang tidak boleh diabaikan, melainkan berpikir dengan mencari dan memberi makna, jadi tidak semua dapat diselesaikan dengan IQ.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sesungguhnya dunia hukum telah mengenal apa yang disebut berpikir “creative, insightful, and intuitive” sehingga putusan hakim bersifat “rule-breaking”, terlihat pada contoh putusan mengenai “perbuatan melawan hukum”. Putusan tersebut tidak ada presedennya, sehingga bukan merupakan putusan hasil penalaran logis, melainkan putusan yang melompat, selama berpuluh-puluh tahun pebuatan melawan hukum itu selalu dimaknai sebagai bertentangan dengan undang-undang (strijdig met de wet), namun tiba-tiba pada tahun 1919 tanpa dasar logika diputuslah bahwa perbuatan itu juga bertentangan dengan moral yang baik (“goede zeden”) dan kepatutan menurut masyarakat (maatschappelijke betamelijkeheid).
Idiologi pembelajaran hukum progresif harus diajarkan mulai kepada mahasiswa S1, dengan memasukan perihal “memaknai hukum” ke dalam kurikulum bukan hanya sekedar membaca undang-undang. Pembelajaran hukum di Indonesia tidak hanya berkualitas formal, skematis, tetapi juga masuk sampai ke faktor manusia, perilaku dari para aktor hukum sehingga melahirkan praktisi hukum yang cukup terampil dan profesional daam menjalankan hukum, tidak hanya menjalankan hukum sebagai mempertahankan status quo tetapi juga seraya menerapkan, dan menegakkan hukum secara progresif ikut dalam gerakan reformasi hukum.
2.      Catatan  Tentang Satjipto Rahardjo
Dalam buku “Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana” ada dimuat riwayat singkat Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., [3] yaitu disebutkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum universitas Diponogoro dan Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, staf pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponogoro dan Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian UI, aktif menulis dan melakukan penelitian dan kajian tentang hukum dan masyarakat.
Selain dari buku tersebut, penulis mengumpulkan informasi tentang Satjipto Rahardjo dari berbagai sumber yang diakses di internet yang kemudian penulis tulis sebagai catatan tentang Satjipto Rahardjo . Dari Wikepedia[4] diketahui Satjipto Rahardjo lahir di Banyumas, 15 Februari 1930, meninggal di Semarang, 9 Januari 2010, pada usia 79 tahun. Satjipto Rahardjo menyelesaikan SD dan SMP nya di Pati, Jawa Tengah, beliau meneruskan SMA di Semarang dan lulus pada tahun 1951, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, beliau melanjutkan di program doktor ilmu hukum Universitas Diponogoro.
Satjipto Rahardjo menjadi panutan utama studi sosiologi hukum di Indonesia, tulisan dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan pemikiran hukum serta berbagai diskursus sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo  adalah salah satu penulis opini di Kompas yang memiliki tempat terhormat tersendiri dengan sudut pandang sosiologi hukumnya, tulisan beliau di Kompas sampai 23 Juni 2009 sudah mencapai 367 artikel.[5] Tulisan dalam bentuk buku diantaranya :[6] “Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum” ditulis tahun 1977, “ Hukum, Masyarakat dan Pembangunan” ditulis pada tahun 1980, “Hukum dan Masyarakat” tahun 1980, “Masalah Penegakkan Hukum Suatu Tinjaun Sosiologis” tahun 1981, “Ilmu Hukum” tahun 1982, “Permasalahan Hukum di Indonesia” tahun 1983, “Hukum dan Perubahan Sosial” tahun 1983, “Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah” tahun 2002, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia” tahun 2003, “Membedah Hukum Progresif” tahun 2006, “Hukum dalam Jagat Ketertiban” tahun 2006, “Biarkan Hukum Mengalir” tahun 2007, “Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” tahun 2008, “Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia” tahun 2009 dan “Penegakkan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis” tahun 2009.
Kebiasaan menulis Satjipto Rahardjo terasah sejak duduk di bangku SMP (1944-1947), kebiasaan beliau memberikan catatan kecil berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di dalam sebuah buku dengan dilengkapi gambar-gambar telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan beliau pada dunia tulis menulis. Terhadap kebiasaan menulisnya tersebut, Satjipto Rahardjo menganalogikan menulis adalah seni yang sama dengan buang air kecil, sehingga seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum beban tersebut dilepaskan. pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto Rahardjo akan membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk sebuah artikel ataupun buku.[7]
Ide pemikiran atau gagasan Satjipto Rahardjo di bidang hukum dikenal dengan teori hukum progresif, menurut beliau hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.[8] Satjipto Rahardjo menyatakan pemilkiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, oleh karena itu hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia, mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, idiologi hukum progresif adalah hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.[9]
Bagi hukum progresif Satjipto Rahardjo, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan yang buruk sekalipun agar hukum dirasakan manfaatnya untuk kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayani oleh hukum.[10] Dengan argumentasi seperti tersebut di atas, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luarnya.
Dalam masalah penegakkan hukum menurut Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Zain Al-Muhtar dalam tulisannya dalam Blog: sergie-zainovsky.blogspot.com., dengan judul : Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo, ada 2 (dua) macam tipe penegakkan hukum progresif, yaitu :[11]
a.       Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakkan hukum progresif, idealnya mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakkan hukum progresif.
b.      Kebutuhan akan semacam bangunan di kalangan akademi, intelektual dan ilmuan serta teoritisasi hukum Indonesia.

Untuk melengkapi catatan tentang Satjipto Rahardjo, penulis kemukakan komentar  2 (dua)  orang mantan murid beliau untuk mewakili tokoh hukum di Indonesia, sekedar memberikan gambaran bagaimana ide pemikiran dan gagasan beliau diterima di masyarakat, yaitu Prof Muladi dari kalangan akademik dan Brigjend (Pol) Agus Wantoro dari pelaku penegak hukum. 
Prof Muladi, mantan menteri kehakiman, dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang juga mahasiswa Satjipto Rahardjo di Undip pada tahun 1971 mengatakan: [12]
“Pemikiran Satjipto Rahardjo belum dapat diterapkan di Indonesia karena aparat penegak hukum  selama ini hanya mengejar kepastian hukum tidak melihat aspek keadilan dan kemanfaatan, padahal hukum dalam pendekatan sosiologi tidak dipandang dari apa yang terdapat dalam undang-undang (UU), tetapi yang ada pada masyarakat. Aparat seharusnya menafsirkan hukum sesuai dengan konteks sosial pada saat hukum diterapkan serta harus menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kalau mereka hanya jadi mulut UU akan sangat berbahaya karena UU selalu ketinggalan zaman”.

Brigjend (Pol) Agus Wantoro, murid Satjipto Rahardjo di PTIK pada tahun 1996 mengatakan : [13]
“ Satjipto juga diakui sebagai Bapak Reformasi Polri. Ketika mengajar di PTIK, Satjipto selalu menekankan tentang pentingnya perubahan budaya dan perilaku Polri menuju efektivitas penegakkan hukum. Polri sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan seperti yang selama ini diutarakan pak Tjip”.

3.      Komentar
Pendidikan hukum pada perguruan tinggi harus sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, mayarakat, bangsa dan negara”.

Pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo tentang pendidikan hukum dalam artikel yang berjudul : FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU di atas, menurut penulis telah sejalan dengan asas pendidikan tinggi dan fungsi pendidikan tinggi sebagaimana dikehendaki dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi harus berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan keterjangkauan. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, resposnsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan tridhama, dan mengembagkan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Setelah membaca artikel Satjipto Rahardjo, sebagaimana telah diuraikan ringkasannya di atas, penulis mencoba mengintisarikan pemikiran beliau tersebut sebagai berikut :
a.       Pendidikan hukum mempunyai dua tujuan yaitu untuk mempersiapkan praktisi hukum dan mempersiapkan sarjana yang berorientasi pada keilmuan.
b.      Stratifikasi pendidikan tinggi hukum telah menyebabkan program S1 bertugas mempersiapkan praktisi hukum, sedangkan program pascasarjana lebih kepada sarjana yang berorientasi keilmuan.
c.       Idiologi pembelajaran hukum harus lebih progresif yang akan melahirkan sarjana hukum reformatif, jangan hanya pembelajaran penegakkan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status quo) yang hanya akan melahirkan para mesin penegak hukum.
d.      Para pelaku hukum harus berani melakukan law breaking agar hukum bermanfaat untuk manusia, tentunya dengan pendidikan hukum yang lebih menekankan pada perbaikan  prilaku manusia dengan menggunakan SQ.
Dengan menjadikan manusia sebagi faktor penting dalam hukum, maka hukum progresif Satjtipto Raharjo tersebut menurut penulis lebih adalah bagian dari filsafat humanisme. Zaenal Abidin menjelaskan bahwa humanisme sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari.[14]
Selanjutnya menurut Zaenal Abidin, dalam ilmu pengetahuan, filsafat humanisme dengan mengutip pendapat Wiliam Dilthey (1833-1911) membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu [15]Geisteswissenschaften dan Naturwissenchaften. Perbedaan kedua jenis ilmu tersebut terletak pada objek penyelidikan dan metodenya, objek penyelidikan Naturwissenchaften adalah alam fisik (natuur), sedangkan Geisteswissenschaften ekspresi-ekspresi manusia (Ausdruck) yang digerakkan oleh roh, oleh daya-daya pemikiran, penilaian, dan motivasi manusia yang paling dasar. Perbedaan dalam hal obyek penyelidikan menimbulkan perbedaan dalam metode, menurut Dilthey, ekpresi manusia hanya dapat ditangkap makna atau maksudnya melalui suatu proses mental yang disebut pemahaman (verstehen), sedangkan alam fisis hanya dapat dimengerti melalui suatu aktivitas yang disebut penjelasan-kausal (erklaren).[16]
Berdasarakan pemahaman tentang jenis ilmu dari Dilthey di atas, ketika Satjipto Rahardjo dalam artikelnya tersebut mengatakan hukum dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, penulis dapat memahami pendapat beliau  sebatas disiplin ilmu yang termasuk dalam jenis ilmu Geisteswissenschaften karena segenap disiplin ilmu dalam katagori Geisteswissenschaften termasuk ilmu hukum berobjekan ekspresi-ekspresi manusia terdapat hubungan erat (interdisipliner) karena ekspresi-ekspresi manusia di dalam hukum tidak bisa lepas dari pengarush sosial, budaya, politik, kebijaksanaan negara, ekonomi, psikologi, tempat mengekspresikan gejala fisiknya. Penulis tidak sependapat apabila hukum dapat dikaji oleh disiplin ilmu biologi, dan fisika, sebagaimana disebutkan Satjipto Rahardjo atau disiplin ilmu jenis Naturwissenchaften lainnya karena menurut penulis objek dan metode antara ilmu hukum dengan jenis ilmu Naturwissenchaften berbeda , ilmu hukum membutuhkan pemahan sedangan disiplin ilmu biologi, fisika dan jenis ilmu Naturwissenchaften  lainnya mengunakan metode penjelsan-kausa.
Penulis sependapat dengan Satjipto Rahardjo bahwa fakultas hukum selain mempersiapkan praktisi hukum juga harus mempersiapkan sarjana yang dapat membantu reformasi hukum, tidak hanya untuk kepentingan ilmu melainkan melahirkan sarjana yang berpikir alternatif yang menempatkan posisi sebagai seorang pengamat daripada seorang pelaku, sehingga memandang kritis terhadap hukum yang berlaku, dibebankan kepada lulusan program pascasarjana. Menurut penulis mahasiswa S1 belum siap menerima materi hukum progresif, seperti disarankan Satjipto Rahrdjo untuk diajarkan di program S1 karena dasar-dasar pemahaman tenatng ilmu hukum belum mereka kuasai, tetapi sekedar perkenalan hukum progresif dimungkin untuk diberikan setidaknya mengenai pengajaran tentang moral dan perilaku pelaku hukum.
Kelemahan fakultas hukum melahirkan sarjana hukum yang reformis menurut penulis tidak saja karena fakultas hukum masih berorientasi pada pasar, yang cenderung memerlukan praktisi untuk menjadi Advokat, Notaris, Jaksa, Hakim atau karena idiologi pembelajaran yang status quo seperti dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo diatas, tetapi menurut penulis dapat juga disebabkan karena sumber daya alam yang masuk menjadi mahasiwa Fakultas Hukum adalah sisa-sisa setelah lulusan SLTA  tidak diterima di fakultas-fakultas kedokteran atau ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, SH.MA,PhD., [17]bahwa kebanyakan mahasiswa yang ada di fakultas atau sekolah tinggi hukum adalah mereka yang memiliki sikap” daripada tidak belajar di perguruan tinggi” atau “daripada membayar biaya pendidikan yang mahal”.
Hampir mirip dengan pendapat Satjipto Rahrdjo, untuk memasukan idiologi pembelajaran progresif tetapi berbeda bahasa yang disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana bahwa untuk perbaikan fakultas hukum adalah mengenai memasukkan kurikulum yang berorientasi pada peserta didik dan membebaskan ego.[18] Prof. Hikmahanto Juwana menghendaki pendidikan hukum perlu dikonsentrasikan ke arah pendidikan akademis, kalaupun ada mata kuliah yang bersifat praktis dianggap sebagai pengetahuan awaluntuk memasuki profesi tradisional hukum. Pendapat Prof Hikmahanto Juwana tersebut dilatar menurut penulis sangat tepat oleh karena untuk pendidikan profesi seperti profesi hakim akan diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dengan mengadakan Pendidikan dan Latihan Calon Hakim (Diklat Cakim), untuk profesi Kejaksaan diselenggarakan olek Kejaksaan Agung dengan mengadakan Diklat Calon Jaksa, untuk profesi Notaris diselenggarakan oleh fakultas hukum atau Sekolah Tinggi Hukum dalam program Magister Kenotariatan, untuk profesi Advokat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pelatihan hukum yang diberi nama Pendidikan Khusus Profesi Advokat.
Persoalan fakultas hukum untuk praktisi atau ilmu sebagaimana dipertanyakan oleh Satjipto Rahardjo, menurut Prof. Dr. Valerine J.L Kriekhoff, SH.MH., [19]diawali dengan pertanyaan dimanakah posisi ilmu hukum  dalam kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan hukum?, ilmu hukum adalah sui generis (jenis tersendiri) karena sifatnya yang normatif sehingga sulit untuk dikelompokkan ke dalam salah satu cabang pohon ilmu, selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat B.A Sidharta bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya, kelompok ilmun praktis dibagi dua jenis yaitu nomologis dan normologis (ilmu normatif).
Selanjutnya menurut Prof. Valerine J.L Kriekhoff, lulusan Fakultas Hukum tidak hanya melakoni profesi yang tradisional, yaitu hakim, jaksa, pengacara, konsultan hukum, atau notaris, namun diantara mereka ada juga yang memilih bekerja di berbaai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperi WALHI dan ELSAM, diberbagai Komisi Nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Anak serta sebagai staf /konsultan di berbagai lembaga internasional, seperti Word Band dan ADB.[20] Dalam menjalan berbagai profesi  atau pekerjaan tersebut, bekal pengetahuan ilmu-ilmu sosial seperti ilmu Pengantar Sosiologi, Antropologi Budaya, Sosiologi Indonesia, Sosiologi Hukum dan lain-lain akan sangat bermanfaat, sehingga ilmu-ilmu sosial tersebut harus tetap dipertahankan dalam materi kuliah pendidikan hukum.
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu humanistik sebagaimana telah dikemukan penulis di atas, dimana menempatkan manusia sebagai subjek sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya. Konsep humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.[21] Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural right theory) yang melahirkan teori hukum kodrati (natural law theory) , tetapi semuanya itu bersumber dari filsafat Stika melalaui tulisan Santo Thomas Aquinas, yang dikembangkan oleh John Locke dengan mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.[22] Sebagaimana juga dikatakan Darren J.O Byrne, dalam bukunya HUMAN RIGHTS, An Introduction :[23]
Three claim which are made about the properties of human rights, namely :
Human rights are universal, that is, they belong to ecah of us regadless of ethnicity, race, gender, sexuality, age, religion, political conviction, or type of government.
Human right are incontrovertible, that is, they are absolute and innate. They are not grants from states, and thus cannot be removed or denied by any political authority, and they do not requre, and are not negated by the absence of, any coresponding duties.
Human right are subjective. They are the properties of indivuduial subjects who posses them because of their capacity for rationality agency and autonomy.”

Karel Vasak, sebagaimana dikutif dari buku Hukum Hak Asasi Manusia, membagi perkembangan pemikiran hak asasi manusia dalam tiga generasi, yaitu :[24]
a.       Generasi pertama hak asasi manusia berupa kebebasan atau sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, bersifat hak-hak negatif meliputi hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
b.      Generasi kedua hak asasi manusia berupa persamaan diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bersifat positif, meliputi hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusatraan, dan kesenian. Hak untuk mendapatkan pendidikan hukum dan mendapatkan pekerjaan seteah lulus kuliah terdapat dalam generasi kedua ini.
c.       Generasi ketiga hak asasi manusia berupa perasudaraan diwakili oleh tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama, meliputi hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri.
4.      Kesimpulan
Fakultas hukum pada perguruan tinggi di Indonesia dituntut untuk melahirkan sarjana-sarjana hukum yang profesional baik profesional sebagai praktisi maupun sebagai ilmuan. Untuk mewujudakan hal tersebut selain dengan adanya  jenjang pendidikan hukum atau stratifikasi juga harus memasukkan kurikulum yang tepat dan idiologi hukum progresif guna melahirkan sarjana hukum yang reformatif mendukung pembangunan Indonesia.
Ilmu hukum merupakan bagian dari jenis ilmu Geisteswissenschaften, yang berasal dari filsafat humanistik sehingga sebagaimana diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo tentang hukum progersif maka hukum harus untuk manusia, hukum harus melayani manusia mencapai kesejahteraannya.
Konsep hukum yang humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi manusia. Hak mendapatkan  pendidikan hukum yang baik, mendapatkan pekerjaan serta upah yang layak setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia generasi kedua.
















Daftar Bacaan :
1. Buku-buku :
Abidin, Zainal. FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009.
Alston, Philip. Frans Magnis-Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
J.O Byrne, Darren. HUMAN RIGHTS, An Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.
Windarti, Sri. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007.

2. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.          

3. Internet :
Internet :http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.  Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.




[1] Sri Windarti. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007, Hlm 505.
[2] Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum  Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Angkatan 2013.NIM :0201-36-81318-003, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hak dan Kewajiban Manusia dalam Negara Hukum dari dosen pengampu Dr. Zen Zanibar MZ, SH.MH.
[3] Sri Windarti, Op.Cit Hlm 658,659.
[4] Internet :http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.  Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[5] internet: http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Internet: sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[13] Ibid.
[14] Zainal Abidin, FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009. Hlm.39
[15] Ibid. Hlm. 44,45
[16] Ibid.
[17] Sri Windarti. loc.cit. Hlm.182,183.
[18] Ibid.
[19] Ibid. Hlm.247.
[20] Ibid. Hlm.649.
[21] Philip Alston, Frans Magnis Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Hlm.11.
[22] Ibid. Hlm.12
[23] Darren J.O Byrne, HUMAN RIGHTS, An Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.  Page 27.
[24] Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, loc.cit. Hlm.14,15,16.

Rabu, 07 Mei 2014

KEBERATAN TERHADAP BENTUK DAN/ATAU BESARNYA GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH

KEBERATAN TERHADAP BENTUK DAN/ATAU BESARNYA GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH
SOBANDI[1]
(Telah dimuat di Majalah Hukum Varia Peradilan No.340 Maret 2014)
A.    Pendahuluan
Tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas dan tidak bertambah luasnya, sementara hampir semua pembangunan (sektoral) membutuhkan tanah sebagai wadahnya. Saat ini pemerintah maupun swasta sedang gencar melakukan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang tidak sedikit sehingga untuk keperluan itu pemerintah melakukan tindakan mengambil (pembebasan) tanah-tanah hak yang dikuasai masyarakat, yang disebut dengan pengadaan tanah.
Pengaturan terkait pengadaan tanah ini sebelumnya telah diatur diatur secara berturut turut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden (Keppres) No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden (Perpres) No.36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan yang teraanyar adalah Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kemudian pengaturan teknisnya diatur dalam Perpres No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 dijelaskan mengenai pengertian pengadaan tanah yaitu kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak[2]. Sebenarnya pengambilan tanah-tanah hak ini telah diberi landasan hukum dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menentukan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan undang-undang.[3]
Berkaitan dengan “ganti kerugian yang layak” inilah merupakan salah satu konflik yang sering terjadi dalam proses pengadaan tanah. Sebenarnya undang-undang telah mengatur untuk menentukan ganti kerugian yang layak dilakukan dengan cara musyawarah antara Pemerintah cq. Pelaksana Pengadaan Tanah dengan pihak yang berhak dan kemudian dibuat dalam berita acara kesepakatan, akan tetapi oleh karena nilai ganti kerugian telah ditetapkan sebelumnya oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah meskipun berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik, tetap saja kadang muncul ketidak puasan pemilik hak terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian sehingga ia tidak sepakat dan tidak ikut menandatangani berita acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas hari) kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. [4]
UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 tidak menyebutkan jenis  perkara untuk keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang diajukan ke pengadilan negeri (gugatan atau permohonan), Mahkamah Agung sendiri sampai tulisan ini dibuat belum ada mengeluarkan peraturan tentang hukum acara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, sehingga dikawatirkan masing-masing pengadilan negeri akan berbeda sikap dalam menentukan jenis perkara keberatan tersebut dan penerapan hukum acaranya.[5]
B.     Jenis Perkara Keberatan terhadap Bentuk dan/atau Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah
Sebelum menentukan jenis perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, penulis sampaikan beberapa ketentuan hukum acara yang telah diatur dalam Pasal 38 UU No.2 Tahun 2012 atau Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 yaitu meliputi :
1.      Kewenangan untuk memutus perkara keberatan berada pada pengadilan negeri setempat;
2.  Batas waktu pengajuan keberatan, yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.
3.      Batas waktu pengadilan negeri memutus perkara keberatan, yaitu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan;
4.      Batas waktu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung bagi pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri, yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja;
5.      Batas waktu Mahkamah Agung memutus perkara keberatan tersebut, yaitu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima;
6.      Pembuktian, dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa sebagai pertimbangan dalam memutus putusan atas besaran ganti kerugian, pihak yang berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian.
Dalam menentukan jenis perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, khususnya yang terjadi pada Pengadilan Negeri Kayuagung[6], setelah Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung berdiskusi dengan hakim-hakim, Ketua Pengadilan Negeri Kayuagung memerintahkan Panitera untuk mendaftar perkara keberatan tersebut dalam register perkara Permohonan.[7]
Penulis sepakat untuk mendaftarkan perkara keberatan tersebut dalam register perkara Permohonan dengan alasan sebagai berikut:
1.      Waktu pemeriksaan perkara yang singkat
Waktu pemeriksaan perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang diberikan undang-undang  hanya 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan, pengadilan negeri harus memutus perkara keberatan tersebut.
Waktu pemeriksaan perkara yang terbatas tidak memungkinkan perkara keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah didaftar dalam register perkara Gugatan karena apabila didaftarkan dengan jenis perkara Gugatan, maka perkara keberatan tersebut wajib menempuh upaya mediasi, dan setidaknya waktu untuk mediasi saja membutuhkan 40 hari kerja yang dapat diperpanjang selama 20 hari kerja.[8]
2.      Tidak Tersedia Upaya Hukum Banding
Dalam perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri adalah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan dalam perkara keberatan tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Tidak tersedia upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama ini biasa diberlakukan terhadap perkara perdata Permohonan.[9] Sebenarnya ada juga perkara-perkara perdata Gugatan yang tidak menyediakan upaya hukum banding seperti perkara kepailitan, perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perkara gugatan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) serta perkara gugatan perselisihan hubungan indutrial, tetapi perkara-perkara tersebut telah diatur secara jelas hukum acaranya dan telah dibentuk pengadilan khusus untuk menanganinya, yaitu pengadilan niaga dan pengadilan hubungan industrial.
Oleh karena perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian didaftar dalam register Permohonan, maka hukum acara yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara keberatan tersebut menggunakan hukum acara permohonan dimana produk dari permohonan tersebut adalah penetapan.
C.     Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan  Selama Pemeriksaan Perkara
Hal- hal yang menurut Penulis perlu diperhatikan dalam memeriksa perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yaitu :
1.      Kewenangan pengadilan negeri setempat
UU No.2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 menyebutkan perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah diajukan kepada pengadilan negeri setempat.
Menurut penulis, redaksi kalimat “pengadilan negeri setempat” berkaitan dengan wewenang relatif yang secara khusus telah diatur dalam UU No.2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012  yaitu kewenangan memutus perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah ada pada pengadilan negeri dimana tanah  terletak bukan pada pengadilan negeri dimana  Tergugat/Termohon bertempat tinggal atau pada pengadilan negeri dimana Penggugat/Pemohon bertempat tinggal seperti lazimnya hukum acara mengenai wewenang relatif  yang diatur dalam ketentuan Pasal 118 HIR/142 RBG.
Pendapat penulis tersebut didasarkan pada alasan bahwa perkara keberatan tersebut muncul karena berkaitan dengan tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, dimana sebelumya nilai ganti kerugian tanah tersebut telah dinilai oleh Penilai yang hasilnya diserahkan kepada Pelaksana Pengadaan Tanah sebagai bahan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian antara Pelaksana Pengadaan Tanah dengan para pihak yang berhak untuk mencapai kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.
2.      Pihak-pihak yang ditarik sebagai Termohon
Walaupun  perkara keberatan tersebut didaftar dalam register Permohonan dan tentunya menerapkan hukum acara permohonan, menurut Penulis hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, karena di dalam perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah terdapat kepentingan pihak lain, sehingga untuk memenuhi asas audi et alteram partem, perkara keberatan tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sebagaimana telah diterapkan dalam perkara Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase[10] dan perkara Permohonan Izin untuk menyelenggarakan  Rapat Umum Pemegang Saham atau perkara Permohonan Pemeriksaan Terhadap Perseroan atau perkara Permohonan Pembubaran Perseroan[11]
Redaksi dalam UU No.2 Tahun 2012 mapun Perpres No.71 Tahun 2012 hanya menyebutkan pihak yang berkepentingan dan dapat mengajukan keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, yaitu pihak yang berhak atas tanah tetapi tidak menyebutkan siapa yang harus ditarik sebagai pihak lawan (Termohon). Penulis berpendapat dalam perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah cukup menarik Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah sebagai Termohon karena sebagaimana kita ketahui pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan-tahapan[12], yaitu tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan dan tahapan penyerahan, dimana setiap tahapan diatur tugas dan penanggung jawab kegiatan serta mekanisme keberatan pada setiap tahapan sedang perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah terjadi pada tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pelaksana Pengadaan Tanah.
3.      Pelaksanaan (eksekusi) putusan
Masalah pelaksanaan  (eksekusi) putusan perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah menurut Penulis merupakan salah satu masalah yang belum ada pengaturannya.
UU No.2 Tahun 2012 menentukan bahwa ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak  berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung, kemudian dalam Pasal 42 ayat (1) UU No.2 Tahun 2012 dikatakan bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
Sekarang bagaimana kalau yang menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung tersebut adalah Pelaksana Pengadaan Tanah?.
Menurut penulis, permasalahan pelaksanaan (eksekusi) putusan keberatan tersebut harus diatur dalam undang-undang misalnya dengan memberikan aturan ketentuan penyediaan anggaran dalam mengantisipasi putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang mengabulkan keberatan pihak yang berhak atas tanah.
D.    Penutup
Demikian artikel ini penulis buat,  semoga bermanfaat untuk pengembangan ilmu, terutama dalam bidang hukum hukum dan tentunya penulis berharap dapat menjadi rujukan dalam praktek penanganan perkara keberatan di pengadilan negeri. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui E-mail : sobandi_karawang@yahoo.co.id.
   Sumber Bacaan :
-          - UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
-  UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

-          UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
-          UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

-          Perpres No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

-          Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang Mediasi
-          Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata, Edisi 2007
-          Yahya Harahap. 2007. HUKUM ACARA PERDATA tentang : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.Sinar Grafika: Jakarta
-          Internet: jdih.bpk.go.id. Tinjauan Atas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2012, diakses tanggal 14 Desember 2013.

-          Internet:  www.academeia.edu :Henny Handayani. DIMENSI KEADILAN DALAM MEKANISME KONSINYASI PENGADAAN TANAH, diakses 03 Januari 2014
-          Internet:  Setiawan-The-law.blogspot. Upaya Hukum dalam Hukum Perdata, diakses tanggal 4 Januari 2014.

-          Internet: Wikayudhashanty.blogspot.com. Catatatan Hukum, Gugatan Permohonan (Gugatan Voluntair). diakses tanggall 4 Januari 2013











[1] Hakim  (WKPN Kayuagung).
[2] Pasal 1 angka 2 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 1 angka 2 Perpres No.71 Tahun 2012.
[3] Pasal 16 UU No.5 Tahun 1960
[4] Pasal 38 ayat (1) UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012
[5] Setidaknya penulis telah menerima 2 (dua) telepon dari 2 (dua) pengadilan yang  berbeda yang menanyakan permasalahan ini yaitu dari WKPN Payakumbuh dan WKPN Kalianda, Penulis juga telah berkonsultasi dengan Yang Mulia Hakim Agung, IG Agung Sumanatha
[6] Informasi dari WKPN Kalianda, perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah didaftar dalam register perkara Gugatan.
[7] Perkara perdata Permohonan Nomor : 48/Pdt.P/2013/PN.KAG
[8] Pasal 4 dan Pasal 13Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang Mediasi.
[9] Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata, Edisi 2007, hal.44
[10] Pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[11] Pasal 80 dan Pasal 138 ayat (2) serta Pasal 146 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[12] Pasal 13 UU No.2 Tahun 2012 atau Pasal 2 Perpres No.71 Tahun 2012
Lampiran :



P  U  T  U  S  A  N
NOMOR :84/PDT.P/2013/PN.KAG
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Kayuagung yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata permohonan dalam peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara:
M. SURIP,        Umur 34 Tahun, Pekerjaan Wiraswasta,   Alamat Jalan Seduduk Putih No. 112 Rt. 18 Rw. 007 Keluarahan 8 Ilir Kecamatan Ilir Timur II Kotamadya Palembang. selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ;

-     L  a  w  a  n   -

Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, Sdr. ASNAWATI, SH, NIP. 19660125 199103 2 001, dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir, Jalan Raya Palembang-Prabumulih KM 34 Indralaya Kabupaten Ogan Ilir, selanjutnya disebut sebagai  TERMOHON ;

Pengadilan Negeri tersebut ;
Telah membaca  berkas perkara dan surat-surat dalam perkara ini ;
Telah mendengar keterangan para pihak dan Saksi – Saksi;
Telah memperhatikan bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARA     
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan surat keberatan terhadap penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang Indralaya yang didaftar di bawah register Permohonan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor: 84/Pdt.P/2013/PN.KAG, tanggal 17 Desember 2013 , telah mengemukakan hal - hal sebagai berikut :
1. Bahwa sekitar bulan September 2013 pemohon mengetahui kabar dari teman yang bertetangga tanah dengan milik pemohon, kemungkinan tanah pemohon akan terkena untuk pengadaan tanah jalan Tol Palembang — Indralaya,
2. Bahwa sejak saat itu pemohon diminta oleh pihak Kecamatan Pemulutan untuk mengumpulkan fhoto kopi bukti kepemilikan tanah,
3. Bahwa kemudian pemohon mengetahui tanah milik pemohon terkena untuk pengadaan tanah jalan Tol Palembang Indralaya di Kecamatan Pemulutan dimasukkan dalam persil No. 151 Peta Bidang Tanah dari hasil pengukuran,
4. Bahwa kemudian pemohon menerima undangan nomor : 877/2.16.10/XI/2013 perihal : Undangan Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang — Indralaya,
5. Bahwa pada hari dan tanggal undangan nomor : 877/2.16.10/XI/2013 yang telah ditetapkan, yaitu          hari Jum'at, tanggal 6 Desember 2013, pemohon hadir dan
mendapatkan penjelasan dan tawaran bentuk ganti kerugian(bentuk tawaran dapat berupa relokasi, uang atau saham), semua hadirin termasuk pemohon setuju untuk mendapatkan bentuk ganti kerugian berupa UANG,
6. Bahwa kemudian juga dijelaskan oleh pihak Termohon, hak untuk mengajukan keberatan bagi peserta yang tidak menerima/tidak puas terhadap nilai yang telah ditetapkan dalam amplop tertutup tersebut dapat diajukan dalam rentang waktu 14 hari kepada Ketua Pengadilan Negeri,
7. Bahwa masing-masing hadirin termasuk pemohon dipanggil satu-persatu ke depan podium untuk mendapatkan amplop tertutup berisi jumlah nilai ganti kerugian untuk tanahnya masing-masing tanpa diberi penjelasan untuk membukanya dan membahasnya dalam forum musyawarah itu secara bersama-sama, kemudian hadirin segera diminta menanda tangani tanda terima amplop tersebut (peristiwa penanda tanganan didokumentasikan dengan handy cam oleh pihak termohon) dan diperbolehkan pulang,
Selanjutnya PEMOHON KEBERATAN/PEMOHON dalam hal ini menjelaskan yang menjadi Duduk Persoalan/Dasar Keberatan dan Isi atau Subtansi Keberatan pemohon sebagai berikut:
I.                 Bahwa dengan memperhatikan uraian peristiwa butir 6 dan 7 di atas, pemohon berpendapat bahwa :
1.     Termohon tidak melaksanakan ketentuan pasal 66 (1) dan (4) perP'res No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : "Besarnya Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan Ganti Kerugian",
Fakta menunjukkan pertemuan pada hari Jum'at, pukul 14:00 WIB tanggal 6 Desember 2013, tidak mengutamakan cara dialogis/komunikasi dua arah untuk mencari kesepakatan tetapi lebih menekankan pada cara-cara monologis/pengarahan satu arah dimana peserta lebih ditempatkan sebagai objek, bagaimana pemohon bisa mengetahui besarnya Nilai Ganti Kerugian kalau sebelumnya sudah dipersiapkan dalam amplop tertutup, lebih-lebih lagi akan dijadikan dasar musyawarah karena peserta/pemohon dipersilahkan pulang disebabkan pertemuan dijatahi hanya 2 jam karena setelah itu ada gelombang peserta lain, jadi tidak pernah ada musyawarah  pada pertemuan itu, dengan kata lain pertemuan itu cacat hukum,
2.     Termohon tidak melaksanakan ketentuan pasal 72 (1) perpres No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : "hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada pihak yang Berhak yang dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan ",
Fakta menunjukkan pertemuan pada hari Jum'at, pukul 14:00 WIB tanggal 6 Desember 2013 tidak mempunyai hasil kesepakatan karena tidak ada proses musyawarah yang wajar sebagaimana mestinya, Nilai Ganti Kerugian yang diserahkan dalam amplop tertutup tersebut dan tidak pernah dibahas bersama dan TIDAKLAH dapat dijadikan  dasar pemberian ganti kerugian karena tidak pernah melalui proses musyawarah sebagai mana mestinya, dengan kata lain Nilai Ganti Rugi dalam amplop tersebut belum mempunyai dasar karena belum dibahas secara bersama-sama dengan PEMOHON, Termohon sedari awal sudah merencanakan agar Pemohon mengajukan keberatan ini, yang seharusnya cara yang ditempuh mengutamakan proses musyawarah untuk mendapatkan hasil kesepakatan, Termohon sebagai penyelenggara negara yang ditunjuk undang-undang telah begitu saja mengabaikan hal-hal yang diperintahkan oleh undang-undang dan bertindak mengambil mudahnya saja, dalam hal ini tindakan yang telah dilakukan oleh Termohon adalah cacat hukum,
II.               Bahwa setelah membuka amplop tertutup yang berisi jumlah nilai ganti kerugian tanah milik pemohon, tertulis nominal Rp. 12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk luas 300 m2, pemohon merasakan penilaian itu tidak faktual, tidak rasional dan tidak beralasan karena :
1.        Termohon tidak memperhatikan harga pasaran tanah di lokasi setempat, dengan kata lain Rp. 12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk tanah dengan luas 300 m2 bagi pemohon tidak akan pernah dapat mencari tanah pengganti lokasi sejenis dengan harga Rp. 12.300.000,- pada saat sekarang ini,
2.        Termohon hanya mendasarkan penilaian ganti kerugian dari bukti kepemilikan tanah milik Pemohon yang sebelumnya pemohon berikan melalui pihak Kecamatan Pemulutan (lihat uraian peristiwa butir 2), itu pun yang dijadikan dasar hanya dari bukti terakhir kepemilikan tahun 2012 (Akta Pengoperan Hak No. 30 tanggal 05 Desember tahun 2012), dalam akta tersebut tertulis harga tanah Rp. 8.170.000,- (Delapan Juta Seratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah). Selisih dari Rp. 12.300.000,- dikurangi Rp. 8.170.000,- sama dengan Rp. 4. 130.000,- bagi Termohon menilai Pemohon sudah cukup segitu, padahal Termohon baru menjalankan ketentuan pasal 65 ayat (2) perpres No. 71 tahun 2012, selebihnya untuk ayat (1) belum sepenuhnya dijalankan karena harus ditempuh melalui proses musyawarah yang benar agar didapatkan nilai kesepakatan BUKAN nilai yang ditetapkan sepihak,
Bahwa berdasarkan pasal 65 (1) dan (2) perpres No. 71 tahun 2012 berbunyi: "penilai betugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah, meliputi : a. tanah, b. Ruang atas tanah dan bawah tanah, c. Bangunan, d. Tanaman, e. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. Kerugian lain yang dapat dinilai".
Dalam ayat (2) pasal di atas berbunyi : "dalam melakukan tugasnya segaimana dimaksud pada ayat (1), penilai atau penilai publik meminta peta bidang tanah, daftar nominatif dan data yang diperlukan untuk bahan penilaian dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah".
3.        Termohon tidak memperhatikan bahwa pemohon mendapatkan tanah tersebut secara sukar sakit pada tahun 2009 secara kredit tanah kaplingan (Surat Keterangan Jual Beli Tanah tanggal 6 Mei 2009 yang dibuat di hadapan Kepala Dusun II Ibul Besar I, Sudirman) dengan angsuran Rp. 220.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) tiap bulan selama 36 bulan, baiklah untuk konkretnya pemohon akan mengutarakan nilai kerugian yang dialami oleh pemohon dengan akan dijadikan untuk Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang — Indralaya sebagai berikut :
Pemohon mendasarkan penghitungan kerugian seperti yang dimuat dalam pasal 65 ayat (1) sub : a, e dan f perpres No. 71 tahun 2012,
A.    Tanah,
Pemohon membeli tanah tersebut secara kredit (36 kali/bulan) kaplingan pada tanggal 6 Mei 2009, angsurannya pada waktu itu Rp. 220.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) tiap bulan. Demi untuk punya tanah meskipun kaplingan, pemohon rela mengirit makan atau pun kebutuhan lain. Nilai/harga bahan pokok atau beras pada tahun 2009 Rp. 6000,- (Enam Ribu Rupiah)/kg. Jadi untuk menyisihkan uang angsuran senilai Rp. 220.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) tiap bulan, pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 36,6 (Tiga Puluh Enam koma Enam) tiap bulannya.
Selama tahun 2009 sejak bulan Mei, pemohon menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 8 bulan = Rp.1.760.000- (Satu Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 293,3 (Dua Ratus Sembilan Puluh Tiga koma tiga) kg beras.
Selama tahun 2010, pemohon menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 12 bulan = Rp.2.640.000,- (Dua Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 440 (Empat Ratus Empat Puluh) kg beras.
Selama tahun 2011, pemohon menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 12 bulan = Rp.2.640.000,- (Dlia Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 440 (Empat Ratus Empat Puluh) kg beras.
Selama tahun 2012, pemohon menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 4 bulan = Rp. 880.000,- (Delapan Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan  146,6 (Seratus Empat Puluh Enam koma Enam) kg beras.
Harga kebutuhan pokok/beras sekarang pada saat ini Rp. 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah)/kg. Jadi harga tanah pemohon yang layak dan tidak berlebihan sebagai tabungan dan investasi pemohon adalah 293,3 + 440 + 440 + 146,6 X 1 kg beras (Rp.10.000,-) = Rp. 13.199.000,- (Tiga Belas Juta Seratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah).
B.    Benda yang berkaitan dengan tanah,
Penanaman patok cor beton dan upah terhadap tanah, di tanah tersebut terdapat 4 (empat) buah patok cor beton masing-masing @seharga Rp.75.000,- (Tujuh  Puluh Lima Ribu Rupiah) X 4 = Rp.300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah).
Upah pemasangan = Rp. 200.000,- (Dua Ratus Ribu Rupiah).
C.    Kerugian lain yang dapat dinilai,
a.   Kerugian Administrasi dan Transportasi dalam mengantarkan uang angsuran, Pemohon mengambil kredit tanah kaplingan dengan perseorangan bukan dengan Badan Hukum (CV atau PT) yang dapat menitipkan pembayaran melalui bank atau Kantor Pos. Jadi mengantarkan uang angsuran setiap bulan secara langsung. Untuk mengantarkan uang tersebut perlu jasa ojek (tranportasi) sejumlah Rp. 25.000,- (Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) X 36 bulan = Rp. 900.000,- (Sembilan Ratus Ribu Rupiah).
b.   Kerugian pemeliharaan dan penjagaan keamanan, pemohon merumput dan membersihkan semak (maintenance), uang transportasi dan konsumsi dari kota Palembang ke lokasi, mengupah orang setempat untuk menjaga keamanan tanah tersebut dan memberi laporan kepada pemohon kalau tidak ada yang tidak beres (komunikasi),
Maintenance dan komunikasi sejumlah Rp. 150.000,- (tiap 2 bulan dari 36 bulan) = Rp. 150.000,- X 18 bulan = Rp. 2.700.000,- (Dua Juta Tuiuh Ratus Ribu  Rupiah),
Uang Transportasi dan konsumsi dari kota Palembang ke lokasi sejumlah Rp. 100.000,- (tiap bulan) = Rp. 100.000,- X 36 bulan = Rp. 3.600.000,- (Tiga Juta Enam Ratus Ribu Rupiah),
c.   Kerugian kegagalan untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga tanah di sekitar jalan Tol yang akan dibangun, dengan akan dibangunnya jalan Tot tersebut otomatis harga tanah di sekitarnya melonjak naik, dengan kata lain Rp. 12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk tanah dengan luas 300 m2 bagi pemohon tidak akan pernah dapat mencari tanah pengganti di lokasi sejenis dengan harga Rp. 12.300.000,- pada saat sekarang ini, jika Rp. 12.300.000,- dibagi 300 m2 = 41.000,-/m2. Untuk tanah di pinggir jalan Raya harga pasaran sekarang sudah berkisar di angka dari Rp.200.000,- s.d. Rp. 250.000,-/m2. Jadi Nilai Layak untuk harga pasaran tanah milik pemohon adalah Rp.200.000,-/m2 X 300 m2 = Rp.60.000.000,- (Enam Puluh  Juta Rupiah) atau kurang lebih Rp. 150.000,-/m X 300 m2 = Rp. 45.000.000,-  (Empat Puluh Juta Rupiah).
Jadi Total Nilai Kerugian Pemohon (A + B + C tersebut di atas) adalah : Rp. (13.199.000,-) + (Rp.300.000,- + Rp. 200.000,- + Rp. 2.700.000,- + Rp. 3.600.000,-) + (Rp. 900.000,- + Rp.60.000.000,-) = Rp.80.899.000,- (Delapan Puluh Juta Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah).
Berdasarkan hal-hal tersebut pemohon berharap kepada Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung atau Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus permohonan keberatan ini kiranya sependapat agar menjatuhkan putusan dalam diktum putusannya sebagai berikut sebagai detenminan :
-     Menyatakan menerima permohonan keberatan dari Pemohon,
-     Membatalkan penilaian ganti kerugian yang ditetapkan oleh termohon pada tanggal tanggal 6 Desember 2013 clan memutuskan secara sendiri
-     Mengabulkan permohonan keberatan Pemohon untuk seluruhnya,
-     Menyatakan proses musyawarah yang dilakukan termohon pada tanggal tanggal 6 Desember 2013 cacat hukum,
Menetapkan sebagai hukum agar termohon membayar Nilai Ganti Kerugian tanah dan kerugian lain yang dialami pemohon Total sejumlah Rp.80.899.000,- (Delapan Puluh Juta Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah), dan menyerahkan kepada pemohon,
-    Membebankan termohon untuk membayar biaya yang timbul dari perkara ini,
-    Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain dapat memberikan putusan yang seadil‑ adilnya.

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, untuk kepentingan Pemohon, Pemohon hadir sendiri ke persidangan, sedangkan untuk kepentingan Termohon, hadir kuasanya YAZULI, SH., MM,  dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 Desember 2013 Nomor : 896/2.16.10/XI/2013 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kayuagung tanggal 30 Desember 2013 dibawah nomor : 105/SK/2013   ;.
             Menimbang, bahwa atas permohonan keberatan  tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban di persidangan tertanggal 30 Desember 2013 yang pada pokoknya sebagai berikut :
1.           Bahwa berdasarkan Pasal 13 Undang — Undang NO. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui tahapan :
a.    Perencanaan merupakan tanggung jawab Instansi yang memerlukan tanah;
b.    Persiapan merupakan tanggung jawab Gubernur dan Instansi yang memerlukan tanah;
c.    Pelaksanaan dan
d.    Penyerahan hasil merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ;
2.           Bahwa apa yang disampaikan Pemohon dalam keberatannya, yang menyebutkan tidak pernah ada proses musyawarah dalam pertemuan pada tanggal 6 Desember 2013 antara Pemohon dan Termohon adalah tidak benar, karena sudah jelas - jelas semua peserta pertemuan musyawarah yang hadir setuju atau sepakat kalau bentuk ganti kerugian yang disepakati berupa uang;
3.           Bahwa isi keberatan yang disampaikan pemohon yang menyebutkan proses musyawarah pada tanggal 6 Desember 2013 adalah cacat hukum adalah tidak benar, karena berdasarkan fakta bahwa Pemohon telah menandatangani persetujuan atau kesepakatan mengenai bentuk ganti kerugian dan juga proses menandatanganan tersebut tanpa paksaan dari pihak manapun atau dengan kata lain pemohon telah menyatakan persetujuannya mengenai bentuk ganti kerugian tersebut ;
4.           Bahwa apa yang didalilkan Pemohon dalam keberatannya yang menyebutkan "Termohon tidak melaksanakan ketentuan pasal 66 ( 1 ) dan ( 4 ) Perpres No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : " Besarnya Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan Ganti Kerugian " .
Terhadap dalil yang diuraikan oleh Pemohon diatas, kutipan Pemohon terhadap isi pasal 4 Perpres No. 71 tahun 2012 tersebut ada yang direkayasa / dikurangi, isi yang sebenarnya adalah " Besarnya Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian " dan bukan untuk menetapkan besarnya ganti kerugian" ;
5.           Bahwa berdasarkan pasal 31 ayat ( 1 ) Undang — Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan"Lembaga Pertanahan menetapkan penilai sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang — Undangan" dan berdasarkan pasal 32 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan ," penilai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan " ;
6.           Bahwa berdasarkan pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan:" Penilai adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai / harga obyek pengadaan tanah" ;
7.           Bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat ( 2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 disebutkan" Nilai Ganti kerugian sebagaimana pada ayat ( 1 ), merupakan nilai tunggal untuk bidang per bidang tanah ". Sehingga menurut hemat Kami tidak ada musyawarah untuk menentukan besarnya nilai ganti rugi tanah karena kewenangan mengenai nilai ganti rugi tanah telah ditetapkan oleh penilai ;
8.           Bahwa isi keberatan yang disampaikan pemohon, yang meminta agar termohon membayar ganti kerugian tanah seluas 300 M2 dengan jumlah uang sebesar Rp. 80.899.000 ( Delapan Puluh Juta Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah ), menurut Kami sangatlah tidak masuk akal dan mengada - ngada;
9.           Bahwa nilai ganti kerugian berupa uang sejumlah Rp. 12.300.000 ( Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah ) untuk tanah seluas 300 M2 adalah sudah wajar dan sepantasnya, yang merupakan hasil penilaian oleh penilai dan pembayaran ganti kerugian dibayarkan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah sesuai Pasal 76 ayat ( 2 ) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
10.        Bahwa menurut fakta yang Kami dapat, Pemohon hanya memperoleh tanah seluas 300 M2 tersebut dengan nilai uang sejumlah Rp. 8.170.000 ( Delapan Juta Seratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah ), hal tersebut berdasarkan Akta Pengoperan Hak No. 30 tanggal 5 Desember 2012;
11.        Bahwa dalam proses menentukan besarnya nilai ganti kerugian di atas tanah Pemohon tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab Penilai ( Toto Suharto dan rekan ), hal tersebut berdasarkan " Pasal 63 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang disebutkan " Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik" sehingga menurut Kami nilai ganti kerugian tersebut sudah wajar dan sepantasnya;
12.        Bahwa berdasarkan daftar persetujuan besarnya nilai ganti kerugian pengadaan tanah Jalan Tol Palembang — lndralaya, Desa lbul Besar I sebanyak 99 orang, hanya Pemohon yang berkeberatan besarnya nilai ganti kerugian yang ditetapkan Penilai;
13.        Bahwa menurut hemat Kami Permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon " kurang pihak", seharusnya Pemohon juga mengajukan Permohonan Keberatan kepada Penilai ( Toto Suharto & rekan ) dan instansi yang memerlukan tanah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia
Berdasarkan dalil - dalil tersebut diatas, mohon kiranya Majelis Hakim yang Kami muliakan agar kiranya berkenan memutuskan dalam putusannya sebagai berikut ;
  1. Menolak permohonan keberatan dari Pemohon;
  2. Menyatakan sah dan tidak cacat hukum penilaian ganti kerugian yang ditetapkan termohon pada tanggal 6 Desember 2014
  3. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya yang timbul dari perkara ini;
Demikian, mohon kiranya Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang seadil – adilnya.
                
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan bukti surat berupa Photocopy yang telah diberi materai secukupnya  yang terdiri dari :
1.     Photocopy sesuai dengan aslinya surat keterangan jual beli tanah antara Usman Bin Zainal selaku pihak penjual dan M. Surip selaku pihak pembeli tertanggal 6 Mei 2009, selanjutnya oleh Pemohon diberi tanda P-1 ;
2.     Photocopy sesuai dengan aslinya Salinan Akta Pengoperan USMAN BIN ZAINAL dengan M. SURIP Nomor 30 tanggal 5 Desember 2012 yang dibuat dihapan Notaris dan PPAT Romeo, SH, selanjutnya oleh Pemohon diberi tanda P-2 ;
3.     Photocopy sesuai dengan aslinya Undangan musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah jalan Tol Palembang-Indralaya  tertanggal 29 Nopember 2013 Nomor : 877/2.12/10/XI/2013 yang ditandatangani oleh ASNAWATI, SH selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, selanjutnya oleh Pemohon diberi tanda P-3 ;
4.     Photocopy sesuai dengan aslinya Penilaian Ganti Kerugian Tanah Ruas Tol Palembang-Indralaya terletak di beberapa Desa, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir dari kantor Toto Suharto & Rekan, selanjutnya   oleh Pemohon diberi tanda P-4 ;
Menimbang, bahwa Termohon mengajukan bukti surat berupa Photocopy yang telah diberi materai secukupnya  yang terdiri dari :
1.     Photocopy sesuai dengan aslinya Undangan musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah jalan Tol Palembang-Indralaya  tertanggal 29 Nopember 2013 Nomor : 877/2.12/10/XI/2013 yang ditandatangani oleh ASNAWATI, SH selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-1 ;
2.     Photocopy sesuai dengan aslinya Daftar Tanda Terima Undangan Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Tol Palembang - Indralaya Desa Ibul Besar I, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-2 ;
3.     Photocopy sesuai dengan aslinya Daftar Hadir Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Tol Palembang - Indralaya Desa Ibul Besar I, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-3 ;
4.     Photocopy dari photocopy Salinan Akta Pengoperan antara USMAN BIN ZAINAL dengan M. SURIP Nomor 30 tanggal 5 Desember 2012 yang dibuat dihapan Notaris dan PPAT Romeo, SH, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-4 ;
5.     Photocopy sesuai dengan aslinya Laporan Penilaian Tanah Jalan Tol Palembang-Indralaya oleh Toto Suharto dan Rekan, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-5 ;
6.     Photocopy sesuai dengan aslinya Berita Acara Kesepakatan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah pembangunan jalan Tol Palembang – Indralaya tertanggal 6 Desember 2013 Nomor : 883.a/2/16.10/XII/2013, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-6 ;
Menimbang, bahwa selain mengajukan bukti surat, Pemohon telah mengajukan saksi-saksi untuk didengar keterangannya di persidangan, yaitu :
1.     saksi GITA MONA HEROBAYA, SH. ALIAS GITO, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-        bahwa yang saksi ketahui sehubungan dengan permohonan keberatan ini adalah saksi pernah diajak oleh Pemohon untuk menghadiri undangan musyawarah masalah ganti rugi tanah untuk pembangunan jalan tol Palembang-Indralaya, yaitu pada hari Jumat, tanggal 6 Desember 2013 jam 14.00Wib bertempat di Aula Kecamatan Pemulutuan Kabupaten Ogan Ilir;
-        waktu itu saksi diminta sebagai pendamping pemohon oleh Pemohon karena Pemohon tidak mengerti, yang hadir ada Sekda Ogan Ilir yang diwakili stafnya, Camat, Tim Penaksir Tanah, dan para pemilik lahan kurang lebih 40 s/d 60 orang diantaranya Pak Hasanudin;
-        Tanah Pemohon yang terkena pembebasan lahan pada kavling 151, luas kurang lebih 300 M2, ukuran 20 meter x 15 meter;
-        bahwa pada waktu rapat itu disepakati antara Panitia Pengadaan Tanah dengan Pemilik lahan bentuk ganti ruginya adalah berupa uang;
-        bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah nilai ganti ruginya yang terlalu kecil, yaitu sebesar R.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
-        bahwa nilai ganti kerugian yang diterima Pemohon tersebut bukan keputusan musyawarah tetapi pengarahan karena pada waktu rapat para pemilik lahan tidak diajak musyawarah, namun secara tiba-tiba para pemilik tanah yang hadir langsung diberikan amplop tertutup yang isinya berupa nilai ganti rugi yang mereka terima jadi bukan win-win solution;
-        setahu saksi sampai saat ini hanya Pemohon yang mengajukan keberatan;
-        bahwa menurut saksi ganti rugi yang pantas diterima oleh Pemohon adalah Rp.200.000,- sampai 250.000,- per meter, hal ini sesuai dengan harga pasaraan dan perdagangan, sedangkan yang ditawarkan panitia hanya Rp.41.000,- per meter;
-        bahwa letak tanah Pemohon lebih kurang 7 ratus meter dari jalan raya Palembang Indralaya;
-        bahwa saksi mengetahui harga pasaran di daerah itu karena saksi sehari-hari berprofesi sebagai wiraswasta yang bergerak dalam bidang makelar tanah;
-        setelah Tim pembebasan tanah menyerahkan amplop yang berisi nilai ganti rugi, Ketua Tim sempat menyampaikan bahwa siapa yang merasa keberatan dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dan pihak yang setuju dapat mengambil uangnya di Pejabat Pembuat komitmen Panitia Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang-Indralaya di Palembang;
-        bahwa saksi membenarkan bukti P-4 berupa  Penilaian Ganti Kerugian Tanah Ruas Tol Palembang-Indralaya terletak di beberapa Desa, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir dari kantor Toto Suharto & Rekan yang diterima oleh Pemohon dari Panitia pada waktu rapat;
2.     saksi SARJONO, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-        bahwa saksi tahu Pemohon mengajukan keberatan terhadap nilai ganti rugi tanah yang ditawarkan oleh pihak Termohon untuk keperluan pembangunan jalan tol Palembang-Indralaya karena nilainya terlalu kecil
-        bahwa nilai yang wajar menurut saksi yang seharusnya diterima oleh Pemohon antara Rp.200.000 s/d Rp.250.000,- per meter, sesuai dengan pasaran harga tanah di kawasan tersebut;
-        bahwa saksi tahu harga pasaran tanah di kawasan tersebut karena saksi berprofesi sebagai makelar tanah dan saki pernah bertransaksi dengan pembeli tanah tetapi tidak satu lokasi dengan tanah Pemohon namun masih dalam satu desa;
-        menurut saksi kalau harga pasaran tanah di lokasi tempat Pemohon dengan luas tanah 300 M2 antara Rp.100.000,- s/d 150.000,-;
-        saksi tahu Pemohon membeli tanah tersebut secara kredit senilai Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah);
-        kondisi tanah Pemohon di daerah rawa-rawa kalau lagi surut bisa ditanami padi, tapi kalau sedang pasang tidak bisa;
-        jarak tanah Pemohon dengan jalan raya Palembang-Indralaya lebih kurang 3 kilometer;


            Menimbang, bahwa demikian juga Termohon, selain mengajukan bukti surat, Tergugat mengajukan saksi-saksi untuk didengar keterangannya di persidangan, yaitu :
1.     saksi DAMIRI, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-        bahwa saksi ada mempunyai lahan yang ikut dibebaskan oleh Termohon, sebanyak 4 (empat) kavling yaitu kavling 29, 30, 31 dan 34;
-        tanah saksi diganti rugi oleh Termohon untuk 1 (satu) kavling luasnya 300 M2, senilai Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
-        saksi tidak keberatan terhadap nilai ganti kerugian tersebut dan saksi sudah menerima pembayaran dari Termohon;
-        bahwa sebelum dilakukan ganti rugi oleh Termohon ada dilakukan musyawarah terlebih dahulu dan sempat dipertemukan dengan Tim Penilai Ganti Rugi Tanah;
2.     saksi H. HASANUDIN ALI, SH.MH, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-        bahwa saksi ada mempunyai lahan yang ikut dibebaskan Termohon berada satu kawasan dengan tanah Pemohon yaitu seluas satu kapling lebih sekira 339 M2  dan mendapatkan ganti kerugian senilai Rp.13.899.000,-
-        bahwa saksi dulu membeli tanah tersebut satu kavling seharga Rp.9.000.000,-;
-        bahwa saksi tidak keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan Termohon;
-        bahwa saksi belum menerima pembayaran dari Termohon karena pembayaran melalui rekening dan sekarang saksi baru akan membuat buku rekening dulu;
-        bahwa Tim Penilai ganti rugi yang menentukan besar kecilnya nilai ganti rugi terhadap tanah yang akan dilakukan pembebasn;
-        bahwa sebelum dilakukan ganti rugia ada dilakukan musyawarah terlebih dahulu dan Tim Pembebasan lahan ada mengatakan kepada pemilik lahan apabila keberatan terhadap nilai ganti rugi yang ditentukan oleh Panitia dapat mengajukan keberatan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja ke Pengadilan Negeri Kayuagung;;
-        bahwa setahu saksi tidak ada yang keberatan terhadap nilai ganti rugi kecuali Pemohon;
Menimbang, bahwa Termohon mengajukan ahli untuk didengar keterangannya di persidangan, yaitu :SYAEFUL RADIAN, N., SH., di bawah sumpah/janji memberikan pendapat sebagai berikut :
-        bahwa ahli adalah anggota Tim Penilai Pembebasan lahan dari Kantor Toto Suharto dan Rekan, saksi mempunayi keahlian dalam bidang penilai pembebasan lahan dan mempunyai sertifikasi penilaian terhadap lahan yang dikeluarkan oleh MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia);
-        bahwa sebelum tim pembebasan lahan melakukan ganti rugi terhadap pemilik lahan, pihak Tim Penilai melakukan penilaian terhadap tanah yang akan dilakukan pembebasan dan setelah itu Tim Penuilai membuat laporan ke Tim Pembebasan Lahan, kemudian Tim Pembebasan melakukan musyawarah dengan pemilik lahan dengan berpedoman laporan Tim Penilai untuk melakukan ganti kerugian;
-        Nilai ganti kerugian berbeda-beda tergantung bidang tanah yang dinilai;;
-        Cara Tim Penilai menetapkan besar kecilnya ganti rugi lahan yang akan dibebaskan yaitu pertama Tim Penilai mengambil sampling obyek terdahulu baru bisa menentukan nilai ganti ruginya;
-        bahwa yang dijadikan dasar untuk menetapkan nilai ganti kerugian terhadap lahan yang dibebaskan berdasarkan UU No.2 Tahun 2012 , antara lain :
1.     Data Pasar, yaitu data nilai pergantian wajar setara dengan nilai ganti kerugian yang variabelnya tergantung lokasi dan nilai-nilai lainnya;
2.     Nilai transaksi;
3.     Biaya untuk ganti lokasi baru;
4.     Loss Profit (usaha);
5.     Solatium (keikhlasan) melepaskan haknya untuk kepentingan umum;
-     bahwa NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tidak dipakai lagi sebagai dasar menentukan besar kecilnya nilai ganti rugi;
-     bahwa untuk mendapatkan nilai pasar, saksi lakukan dengan cara mencari, survei dan melihat harga pengeceran tanah;
-     bahwa untuk harga tanah  Pemohon, Tim Penilai memberikan harga Rp.41.000 (empat puluh satu ribu rupiah) per meter, karena harga pasaran tanah dilokasi tersebut rata-rata per meternya Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah);
-     Nilai ganti rugi tanah Pemohon menjadi Rp.41.000,-/meter karena dihitung dari nilai pasaran tanah ditambah biaya PBHTB (biaya perolehan hak) sebesar 6 %, ditambah biaya untuk mencari lahan pengganti sebesar 2,5 % dari nilai pasar dan ditambah nilai solatium (keikhlasan melepaskan tanah);
-     bahwa acuan penilaian tersebut  berdasarkan Standar Penilaian Indonesia;
Menimbang, bahwa pada akhirnya para pihak menyatakan bahwa mereka tidak akan mengajukan apa-apa lagi dalam perkara ini kemudian Pemohon mengajukan kesimpulan pada persidangan tanggal 15 Januari 2014, sedangkan Termohon mengajukan kesimpulan pada persidangan tanggal 23 Januari 2014, yang pada pokoknya memohon dijatuhkan putusan ;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat  uraian tentang duduk perkara maka hal-hal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan secara mutatis mutandis dianggap telah termuat pula dalam putusan ini;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana terurai di atas;
Menimbang, bahwa Permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, yaitu  keberatan terhadap penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang-Indralaya, dan meminta pengadilan untuk menetapkan sebagai hukum agar Termohon membayar nilai ganti kerugian tanah dan kerugian lain yang dialami Pemohon total sejumlah Rp.80.899.000,- (delapan puluh juta delapan ratus delapan puluh sembilan puluh sembilan ribu rupiah) dan menyerahkan kepada Pemohon;
Menimbang, bahwa tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi (buku pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan, Buku II), sehingga dalam hal ini sebelum mempertimbangkan materi pokok permohonan ini, terlebih dahulu pengadilan akan mempertimbangkan apakah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menyatakan dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas hari) kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian;
Menimbang, bahwa meskipun dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 tidak menyebutkan jenis  perkara untuk keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang diajukan ke pengadilan negeri apakah jenis gugatan atau jenis permohonan tetapi mengingat akan waktu yang diberikan undang-undang dalam Pasal 38 ayat (2) UU No.2 tahun 2012 Jo. Pasal 73 ayat (2) Perpres No.71 Tahun 2012 untuk pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan dan mengingat upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU No.2 Tahun 2012 Jo. Pasal 73 ayat (3) Perpres No.71 Tahun 2012 yaitu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, maka dengan alasan tersebut pengadilan telah meregister perkara keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian seperti yang diajukan oleh Pemohon ini di bawah register jenis perkara Permohonan;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU No. 2 Tahun 20012 dan Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012 tersebut  di atas, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan/menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa selanjutnya pengadilan akan mempertimbangkan materi pokok permohonan Pemohon apakah permohonan Pemohon dikabulkan atau ditolak, dengan mempertimbangkan dalil-dalil permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, serta memperhatikan jawaban dari Termohon dan bukti-bukti yang diajukan oleh Termohon;
Menimbang, bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang-Indralaya, dan meminta pengadilan untuk menetapkan sebagai hukum agar Termohon membayar nilai ganti kerugian tanah dan kerugian lain yang dialami Pemohon total sejumlah Rp.80.899.000,- (delapan puluh juta delapan ratus delapan puluh sembilan puluh sembilan ribu rupiah) dan menyerahkan kepada Pemohon;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon tersebut didasarkan kepada dalil bahwa tidak ada musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam menetukan nilai ganti kerugian antara Termohon dengan para pemilik lahan termasuk dengan Pemohon, dengan kata lain nilai ganti kerugian ditetapkan sepihak oleh Termohon, Pemohon hanya menerima penawaran nilai ganti kerugian dalam amplop tertutup dan setelah dibuka berisi jumlah nilai ganti kerugian tanah milik Pemohon tertulis nominal Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
bahwa  nilai ganti kerugian sebesar Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah) tersebut tidak faktual, tidak rasional dan tidak beralasan karena Termohon tidak memperhatikan harga pasaran tanah di lokasi setempat, Termohon hanya mendasarkan penilaian ganti kerugian dari bukti kepemilikan tanah milik Pemohon, Termohon tidak memperhatikan sulitnya Pemohon mendapatkan tanah tersebut secara kredit seharusnya kerugian yang dialami pemohon dirinci dihitung dari harga tanah berdasarkan harga beras, benda yang berkaitan dengan tanah yaitu biaya penanaman patok cor, dan kerugian lain yang dapat dinilai yaitu kerugian administrasi dan transportasi dalam mengantarkan angsuran, kerugian pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta kerugian kegagalan untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga tanah;
Menimbang, bahwa Termohon dalam jawabannya mengemukakan dalil pada pokoknya bahwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan telah dilakukan antara Termohon dengan para pemilik lahan, termasuk Pemohon yaitu mengenai kesepakatan bentuk ganti kerugian yaitu berupa uang, sedangkan untuk menentukan besarnya ganti kerugian memang tidak dimusyawarahkan karena kewenangan mengenai nilai ganti kerugian telah ditetapkan oleh Penilai dan menurut Pemohon besarnya ganti kerugian untuk Pemohon sebesar Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah) sudah wajar dan pantas;
bahwa dari 99 orang yang berhak mendapatkan ganti kerugian, hanya Pemohon yang mengajukan keberatan besarnya nilai ganti kerugian;
bahwa permohonan Pemohon kurang pihak seharusnya Pemohon juga mengajukan keberatan kepada Penilai dan instansi yang memerlukan tanah yaitu Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa Pemohon dalam mendukung dalil permohonannya telah mengajukan 4 (empat) buah bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-4, dan mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu saksi GITA MONA HEROBAYA ALIAS GITO, dan saksi SARJONO, sedangkan Termohon untuk mendukung dalil bantahannya telah mengajukan 6 (enam) buah bukti surat yang diberi tanda T-1 sampai dengan T-6 dan mengajukan 2 (dua) orang saksi yaitu saksi DAMIRI dan saksi H.HASANUDIN ALI, SH.MH., serta mengajukan satu orang ahli Penilai yaitu SAEFUL RADIAN N., SH.;
Menimbang, bahwa dari jawab jinawab tersebut, pengadilan harus menentukan sikap terlebih dahulu terhadap terhadap beberapa pemahaman yang berbeda antara Pemohon  dengan Termohon, sebagai landasan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan yaitu mengenai perlu tidaknya musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah dan mengenai pihak yang ditarik sebagai Termohon dalam perkara keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah;
Menimbang, bahwa mengenai perlu tidaknya musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, baik dalam UU No.2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 telah ditentukan bahwa nilai ganti kerugian adalah berdasarkan hasil penilaian Penilai, kemudian terjadi perbedaan antara UU No.2 tahun 2012 dengan Perpres No.71 Tahun 2012 dalam hal penggunaan nilai ganti kerugian di dalam musyawarah antara Pelaksana Pengadaan Tanah dengan pihak yang berhak, yaitu di dalam Pasal 34 ayat (3) UU No.2 Tahun 2012 ditentukan bahwa nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian, sedangkan di dalam Pasal 66 ayat (4) Perpres No.71 Tahun 2012 ditentukan bahwa besarnya nilai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk ganti kerugian, sehingga melihat ketentuan dalam Perpres tersebut, musyawarah hanya dilakukan untuk menentukan bentuk ganti kerugian, bukan menentukan besarnya ganti kerugian tetapi dalam hal ini, pengadilan bersikap sesuai asas hierarki perundang-undangan yang menentukan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan perundang-undangan yang lebih rendah maka menurut pengadilan  musyawarah penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UU No.2 tahun 2012 meliputi musyawarah untuk mencapai kesepakatan bentuk ganti kerugian dan musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian sebagaimana diatur dalam  Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU No.2 Tahun 2012 yang menentukan bahwa musyawarah dilakukan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan, dan juga ketentuan dalam Pasal 38 ayat (1) UU NO.2 tahun 2012 yang menjadi dasar kewenangan pengadilan memutus perkara keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
Menimbang, bahwa mengenai pihak yang ditarik sebagai Termohon dalam perkara keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, pengadilan berpendapat cukup dengan menarik Pelaksana Pengadaan Tanah, dalam hal ini diwakili oleh Ketuanya sebagai Termohon dengan pertimbangan bahwa Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 2 Perpres No.71 Tahun 2012, dan keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.2 tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 terjadi pada tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pelaksana Pengadaan Tanah;
Menimbang, bahwa Pemohon telah mendalilkan tentang tidak adanya musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam menentukan nilai ganti kerugian antara Pemohon dengan para pemegang hak diantaranya Pemohon;
Menimbang, bahwa saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO yang menerangkan bahwa nilai ganti kerugian yang diterima Pemohon tersebut bukan keputusan musyawarah tetapi pengarahan karena pada waktu rapat para pemilik lahan tidak diajak musyawarah, namun secara tiba-tiba para pemilik tanah yang hadir langsung diberikan amplop tertutup yang isinya berupa nilai ganti rugi yang mereka terima jadi bukan win-win solution, sesuai pula dengan bukti P-3 berupa undangan musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah jalan tol Pelembang Indralaya;
Menimbang, bahwa dalil Pemohon tersebut telah dibenarkan oleh Termohon dengan mengatakan bahwa untuk menentukan besarnya ganti kerugian memang tidak dimusyawarahkan karena kewenangan mengenai nilai ganti kerugian telah ditetapkan oleh Penilai;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini pengadilan telah menentukan sikap bahwa musyawarah penetapan ganti kerugian meliputi musyawarah untuk mencapai kesepakatan bentuk ganti kerugian dan musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian;
Menimbang, bahwa telah menjadi fakta bahwa dalam pengadaan tanah untuk ruas tol Palembang-Indralaya telah terjadi musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentu ganti kerugian yaitu berupa uang, yang diakui oleh para pihak dan dibenarkan oleh seluruh saksi di persidangan;
Menimbang, bahwa yang menjadi persoalan adalah apakah ada musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk ruas tol Palembang-Indralaya?
Menimbang, bahwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah menurut pengadilan tidak diartikan sebagai proses tawar menawar antara Pelaksana Pengadaan Tanah berhadapan satu persatu dengan pemegang hak melainkan harus diartikan tercapainya kesepakatan tersebut apabila disetujui oleh mayoritas pemegang;
Menimbang, bahwa dengan demikian fakta pemberian  amplop tertutup dari Pelaksana Pengadaan Tanah yang isinya berupa nilai ganti rugi yang diterima oleh para pemegang hak, yang menurut Pemohon bukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan didukung keterangan  saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO maupun dibenarkan oleh Termohon, menurut pengadilan pemberian amplop tertutup yang diterima oleh para pemegang hak merupakan salah satu bentuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan, yang terpenting apakah mayoritas para pemegang hak dapat menyetujui dan menerima penawaran tersebut sehingga tercapai kesepakatan besarnya ganti kerugian yang akan mereka terima masing-masing;
Menimbang, bahwa undang-undang juga telah memberikan keseimbangan keadilan terhadap pihak minoritas yang tidak sepakat terhadap besarnya ganti kerugian yaitu dengan memberikan upaya hukum melalui pengajuan keberatan ke pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini, ternyata sebagaimana didalilkan oleh Termohon bahwa dari 99 orang yang berhak mendapatkan ganti kerugian, hanya Pemohon yang mengajukan keberatan besarnya nilai ganti kerugian, hal ini sesuai juga dengan keterangan saksi DAMIRI, saksi H. HASANUDIN ALI, SH.MH., masing-masing mereka mempunyai tanah yang terkena proyek pengadaan tanah ruas tol Palembang-Indralaya tetapi meraka tidak mengajukan keberatan terhadap kesepakatan besarnya ganti kerugian, serta dikuatkan oleh bukti T-1, bukti T-2 dan bukti T-3 yang membuktikan adanya musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian serta bukti T-6 berupa Berita Acara Kesepakatan bentuk ganti kerugian;
Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan bahwa nilai ganti kerugian terhadap tanah Pemohon sebesar Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah) tersebut tidak faktual, tidak rasional dan tidak beralasan dan menurut Pemohon yang adil adalah sebesar Rp.80.899.000,- (delapan puluh juta delapan ratus delapan puluh sembilan puluh sembilan ribu rupiah);
Menimbang, bahwa Pemohon juga telah merinci dan menghitung  kerugian yang dialami oleh Pemohon dalam surat permohonannya meliputi dihitung dari harga tanah berdasarkan harga beras, benda yang berkaitan dengan tanah yaitu biaya penanaman patok cor, dan kerugian lain yang dapat dinilai yaitu kerugian administrasi dan transportasi dalam mengantarkan angsuran, kerugian pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta kerugian kegagalan untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga tanah;
Menimbang, bahwa saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO telah menerangkan bahwa harga tanah pemohon sekitar Rp.200.000,- sampai dengan 250.000,- per meter, dan saksi SARJONO telah menerangkan harga tanah Pemohon sekitar Rp.100.000,- sampai dengan Rp.150.000,- per meter;
Menimbang, bahwa dari bukti P-1 dan P-2 diketahui bahwa Pemohon adalah pemegang hak atas tanah dan harga pembelian tanah oleh Pemohon sebesar Rp.8.170.000,- (delapan juta seratus tujuh puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dari bukti P-4 berupa penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang Indralaya membuktikan bahwa Pemohon telah menerima penilaian sebesar  Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa terhadap dalil dan bukti Pemohon tentang besarnya ganti kerugian yang seharusnya diterima oleh Pemohon, pengadilan berpendapat bahwa sesuai penjelasan pasal 38 ayat (2) UU No.2 tahun 2012 yang menentukan bahwa sebagai pertimbangan dalam memutus putusan atas besaran ganti kerugian, pihak yang berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian, dalam perkara ini pihak berkepentingan yaitu Pemohon tidak menghadirkan saksi ahli melainkan menghadirkan saksi-saksi yang berprofesi sebagai makelar tanah yaitu saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO dan saksi SARJONO;
Menimbang, bahwa dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan publik, seperti pengadaan tanah untuk ruas tol Palembang-Indralaya dalam perkara ini, undang-undang telah menentukan bahwa nilai ganti kerugian ditentukan oleh Penilai atau Penilai Publik, yang dimaksud dengan Penilai Pertanahan atau disebut Penilai adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara indipenden dan profesional yang telah mendapat ijin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari BPN untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah, sedangakan yang dimaksud dengan Penilai Publik adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menetri Keuangan untuk memberikan jasa penilaian sebagaimana djelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Perpres No.71 Tahun 2012;
Menimbang, bahwa dengan demikian meskipun saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO telah menerangkan bahwa harga tanah pemohon sekitar Rp.200.000,- sampai dengan 250.000,- per meter, dan saksi SARJONO telah menerangkan harga tanah Pemohon sekitar Rp.100.000,- sampai dengan Rp.150.000,- per meter tetapi oleh karena mereka hanya berprofesi sebagai makelar tanah dan bukan berprofesi sebagai Penilai Pertanahan  atau Penilai Publik maka keterangan mereka tentang penilaian harga tanah Pemohon harus dikesampingkan;
Menimbang, bahwa hukum tanah nasional mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan dengan tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada negara berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan, mengadakan pengelolaan, serta  menyelenggarakan pengawasan, demikian pula dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang merupakan fungsi negara dalam mengadakan pengelolaan terhadap tanah yang harus dilaksanakan berdasarkan asas kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikut sertaan, kesejahteraan, berkelanjutan, dan keselarasan;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini, penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah ruas tol Palembang-Indralaya telah dilakukan sesuai oleh Penilai dari kantor TOTO SUHARTO & REKAN, Business & Property Valuer Lisense No.2.09.0055, sesuai dengan bukti P-5,sehingga menurut pengadilan pelaksanaan pengadaan tanah ruas tol Palembang –Indralaya khususnya mengenai nilai ganti kerugian telah dilaksanakan sesuai hukum dan undang-undang;
Menimbang, bahwa mengenai tidak ditariknya Penilai TOTO SUHARTO & REKAN dan instansi yang memerlukan tanah yaitu Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia sebagai pihat Termohon menurut pengadilan tidak menyebabkan kurang pihak, sebagaimana telah menjadi sikap pengadilan bahwa keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.2 tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 terjadi pada tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pelaksana Pengadaan Tanah;
Menimbang, bahwa terhadap  penyangkalan  atas pembuktian dalam perkara ini, pengadilan mengacu pada pembuktian yang mutatis mutandis telah dipertimbangkan di atas ;
Menimbang, bahwa tentang dalil-dalil dan  alat alat bukti lain yang tidak relevan dalam perkara   ini, pengadilan mengesampingkannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, pengadilan berkesimpulan Pemohon gagal membuktikan dalil permohonannya sedangkan Termohon berhasil mempertahankan dalil jawabannya, oleh karena itu pengadilan harus menyatakan menolak permohonan pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara, oleh karena perkara permohonan bersifat volunter maka menurut hukum biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon;
Mengingat Pasal 38 UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum  serta undang undang dan segala peraturan yang bersangkutan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I :
-        Menolak Permohonan Pemohon tersebut;
-        Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
Demikianlah diputuskan dalam rapat Pemusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kayuagung  pada hari : ..................................................... oleh kami SOBANDI, SH.MH., Hakim Ketua Majelis, FITRIA SEPTRIANA, SH., dan H.JEILY SYAHPUTRA, SH.SE.MH., Masing-masing sebagai Hakim Anggota, Putusan tersebut  diucapkan  dalam Persidangan yang terbuka  untuk umum pada hari : ..................................................................., oleh Majelis Hakim tersebut tersebut dengan  dibantu ABU BAKRI, SH., sebagai Panitera Pengganti, dihadiri Pemohon dan kuasa  Termohon  .

HAKIM – HAKIM ANGGOTA.                                            HAKIM KETUA MAJELIS,

           
 FITRIA SEPTRIANA, SH.                                                    SOBANDI, SH.MH.   
           
H.JEILY SYAHPUTRA, SH.SE.MH.

PANITERA PENGGANTI
                                                                                               

ABU BAKRI, SH.