Jumat, 30 Mei 2014
KESOMBONGAN HARUS DIHUKUM Ketika akan perang Bharata Yudha, Yudisthira datang ke kubu lawan (Kurawa) dengan menundukkan kepala menyentuh kaki Bhisma,kaki Druna, kaki Sengkuni untuk meminta restu kemenangan dalam peperangan padahal mereka semua akan menjadi musuh dalam pertempuran,setelah Bhisma,Druna dan Sengkuni memberikan restu, Duryudhana mengkritik perbuatan para sini sepuh pihaknya tersebut yang telah memberi restu kepada pihak lawan (Pandawa) kemudian dijawab oleh Bhisma bahwa sebenarnya Duryudhana dapat meminta restu kemenangan kepada Yudisthira dan dapat dipastikan Yudhistira akan memberikan restu kemenangan kepada Duryudhana tetapi Duryudhana tidak lakukan hal itu karena menurut Bhisma kesombongan telah menutup hati Duryudhana, akhir cerita membuktikan kesombongan Duryudhana telah memberikan Kurawa kekalahan dalam perang Bharata Yudha.
Kamis, 08 Mei 2014
Komentar Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH. “FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?
Komentar
Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
“FAKULTAS
HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?”[1]
Oleh
: Sobandi [2]
1.
Ringkasan
Artikel
Artikel yang berjudul Fakultas Hukum: Untuk Profesi
atau Ilmu dibuat oleh Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH., (selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo) dalam rangka memenuhi permintaan Panitia Penerbitan Buku FH
UI, menyambut 70 tahun usia Prof Mardjono Reksodiputro dengan tema “ Pendidikan
di FH: Apakah dipersiapkan menjadi praktisi hukum atau lebih pada seorang SH
yang dapat membantu reformasi hukum di Indonesia”.
Mengawali pembahasannya, Satjipto Rahardjo berangkat dari pemahaman tentang
pendidikan itu sendiri yang mempunyai dua ranah, yaitu profesional dan
keilmuan. Pendidikan Hukum untuk ranah profesional akan mengembangkan
ketrampilan, pembelajarannya lebih mengandung muatan praktis, sedangkan pendidikan
hukum untuk keilmuan diajarkan “sebenarnya ilmu” untuk mencapai “kebenaran”.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo, berbicara mengenai
sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yang menurut beliau merupakan
bagian dari politik balas budi (“etische
koers”) pemerintah kolonial Belanda, yaitu dengan pendirian rechtshogeshool pada tahun 1924 di
Jakarta, penggunaan nama hogeschool pada rechtshogeschool lebih mendekatkan
pendidikan untuk ranah profesi. Pendidikan tinggi hukum untuk menghasilkan
praktisi dan profesional hukum warisan kolonial Belanda tersebut tetap
berlangsung sampai beberapa dekade pada jaman kemerdekaan, baik di Universitas
Indonesia di Jakarta, maupun Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, dan
beberapa perguruan tinggi hukum lainnya, baru kemudian pada tahun 1970 muncul
ide perubahan salah satunya dari
Muchtar Kusumaatmadja, guru besar pada Universitas Padjajaran, Bandung yang
mengaitkan pendidikan hukum dengan pembangunan nasional sehingga kemampuan
sarjana hukum tidak hanya diukur dari penyelesaian perkara-perkara hukum tetapi
juga kemampuan untuk menggunakan atau mendayagunakan hukum bagi sarana
pembangunan masyarakat.
Masih pada tahun 1970 an, menurut Satjipto Rahardjo
studi hukum semakin diperluas dan diperkaya, sehingga tidak terlalu dogmatis,
dengan diajarkan sosiologi hukum, seperti Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
Universitas Diponogoro, dan Pusat Studi Hukum dan Pembangunan Universitas
Airlangga. Studi hukum tidak berkutat di dalam ranah perundang-undangan
melainkan juga dalam konteks sosial, terlihat dari karya di kepustakaan hukum
seperti “ Hukum dan Masyarakat”, “ Hukum dan Perubahan Sosial”, “Law and Development: The need for reform of
legal education in the developing countries”, “Beberapa Permasalahan Hukum
dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”, dan “ Studi Hukum Non-Dogmatik”.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menjelaskan pada
pertengahan tahun 1980 terjadi revolusi diam-diam dalam dunia pendidikan
tinggi, yaitu dengan membangun suatu struktur yang berjenjang atau berlapis (stratified). Era stratifikasi
memperkenalkan tipe pembelajaran yang baru, yaitu pembelajaran atau program
keilmuan, sehingga program-program pascasarjana diselenggarakan dengan semangat
akademis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada program profesional, yaitu
“bagaimana menerapkan hukum?”, dan “bagaimana membuat putusan?” tidak ditanyakan
pada program keilmuan mengejar
kebenaran, calon doktor didorong untuk melakukan pencarian dan berani melakukan
pembebasan, kemudian menurut beliau, sebagai kajian keilmuan, hukum dapat
dikaji dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu, seperti filsafat, sosial, ekonomi,
biologi, dan fisika sehingga akan melahirkan karya-karya yang menawarkan
penyelesaian-penyelesaian alternatif dan tidak deterministik hukum.
Pada awalnya fakultas-fakultas hukum di Indonesia
lebih berorientasi kepada pasar, dimana pasar lebih menghendaki agar lulusan
fakultas hukum dapat bekerja menyelesaikan masalah atau perkara hukum dalam
masyarakat secara konkret, seperti perdagangan, kontrak, pembelaan hukum dan
sebagainya, apalagi sejak era globalisasi
dengan cara berpikir dan bertindak kapitalis sehingga profesionalisme
hukum lebih untuk melayani produksi kapitalis dan idealisme mengabdi kepada
rakyat menjadi terkesampingkan. Hal demikian juga menurut Satjipto Rahrdjo
terjadi di Amerika Serikat, dengan mengutip pendapat Gerry Spence, pendidikan
hukum di Amerika Serikat mengabaikan pekerjaan hukum sebagai pekerjaan untuk
menolong manusia yang sedang susah, sehingga fakultas hukum menghasilkan lawyer yang baik tidak diukur dari apakah mereka benar-benar
mengabdi untuk rakyat, sudah sejak menapakkan
kakinya di fakultas hukum kepekaan mereka terhadap kemanusiaan dirampas, tidak
ada gunanya para mahasiswa dijejali dengan sejumlah besar pengetahuan hukum
tanpa didahului oleh penghalusan budi pekerti. Baru sekitar tahun 1983, pendidikan
tinggi hukum di Indonesia menawarkan program pembelajaran untuk keperluan
penerapan atau penegakan hukum sampai pada program “sebenarnya ilmu”.
Lulusan S1 memang untuk program profesional karena
semata-mata dipersiapkan untuk spesialis penegakkan hukum, seperti jaksa dan
hakim yang memang dipersiapkan untuk menerima hukum yang berlaku sebagai
sesuatu yang dipertahankan dan dijalankan. Doktor ilmu hukum harus tidak
menerima hukum yang berlaku sebagai suatu yang harus dijalankan begitu saja,
mereka harus mencari, menemukan, serta mengungkapkan kebenaran.
Selain masalah stratifikasi menurut Satjipto
Rahardjo, lulusan fakultas hukum dipengaruhi juga oleh idiologi pembelajaran. Menurut
beliau idiologi pembelajaran penegakan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan
keadaan formal yang berlaku (status quo)
maka akan melahirkan para mesin penegak hukum sedangkan idiologi yang lebih
progresif , maka kendati hukum berada dalam ranah penegakkan hukum, masih
terbuka peluang untuk bertindak reformatif.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif pada
intinya mengonsepkan hukum tidak hanya sebagai aturan tetapi juga perilaku,
sehingga faktor dan peranan manusia menjadi sangat penting dalam hukum, hukum
tidak lagi berfungsi mempertahankan status
quo atau sebagai scema final, melainkan scema yang terus dikembangkan.
Hukum Progresif mengajarkan agar para pelaku hukum berani melakukan pembebasan.
Sejak saat hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan, tetapi juga perilaku, maka
batas-batas antara menjalankan (enforcing
law) dan mereformasi hukum (reforming
law) mejadi tidak hitam putih lagi, dengan mengutip Holmes, membuat putusan
hukum itu tidak ada kaitannya dengan “a
book of mathematic”, melainkan sarat dengan aspek keperilakuan sang
pengambil putusan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kecerdasan Spritual atau
SQ, tidak semata mendasarkan pada logika, rasionalitas, dan berpikir menurut
aturan yang tidak boleh diabaikan, melainkan berpikir dengan mencari dan
memberi makna, jadi tidak semua dapat diselesaikan dengan IQ.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sesungguhnya
dunia hukum telah mengenal apa yang disebut berpikir “creative, insightful, and intuitive” sehingga putusan hakim
bersifat “rule-breaking”, terlihat
pada contoh putusan mengenai “perbuatan melawan hukum”. Putusan tersebut tidak
ada presedennya, sehingga bukan merupakan putusan hasil penalaran logis,
melainkan putusan yang melompat, selama berpuluh-puluh tahun pebuatan melawan
hukum itu selalu dimaknai sebagai bertentangan dengan undang-undang (strijdig met de wet), namun tiba-tiba
pada tahun 1919 tanpa dasar logika diputuslah bahwa perbuatan itu juga
bertentangan dengan moral yang baik (“goede zeden”)
dan kepatutan menurut masyarakat (maatschappelijke
betamelijkeheid).
Idiologi pembelajaran hukum progresif harus
diajarkan mulai kepada mahasiswa S1, dengan memasukan perihal “memaknai hukum”
ke dalam kurikulum bukan hanya sekedar membaca undang-undang. Pembelajaran
hukum di Indonesia tidak hanya berkualitas formal, skematis, tetapi juga masuk
sampai ke faktor manusia, perilaku dari para aktor hukum sehingga melahirkan
praktisi hukum yang cukup terampil dan profesional daam menjalankan hukum,
tidak hanya menjalankan hukum sebagai mempertahankan status quo tetapi juga seraya menerapkan, dan menegakkan hukum
secara progresif ikut dalam gerakan reformasi hukum.
2.
Catatan
Tentang Satjipto Rahardjo
Dalam buku “Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang
Guru Besar Hukum Pidana” ada dimuat riwayat singkat Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH., [3] yaitu
disebutkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum universitas Diponogoro dan Ketua
Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, staf pengajar pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponogoro dan Pascasarjana
Kajian Ilmu Kepolisian UI, aktif menulis dan melakukan penelitian dan kajian
tentang hukum dan masyarakat.
Selain dari buku tersebut, penulis mengumpulkan
informasi tentang Satjipto Rahardjo dari berbagai sumber yang diakses di
internet yang kemudian penulis tulis sebagai catatan tentang Satjipto Rahardjo
. Dari Wikepedia[4]
diketahui Satjipto Rahardjo lahir di Banyumas, 15 Februari 1930, meninggal di
Semarang, 9 Januari 2010, pada usia 79 tahun. Satjipto Rahardjo menyelesaikan
SD dan SMP nya di Pati, Jawa Tengah, beliau meneruskan SMA di Semarang dan
lulus pada tahun 1951, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia, lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, beliau melanjutkan di
program doktor ilmu hukum Universitas Diponogoro.
Satjipto Rahardjo menjadi panutan utama studi
sosiologi hukum di Indonesia, tulisan dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan
pemikiran hukum serta berbagai diskursus sosiologi hukum. Satjipto
Rahardjo adalah salah satu penulis opini
di Kompas yang memiliki tempat terhormat tersendiri dengan sudut pandang
sosiologi hukumnya, tulisan beliau di Kompas sampai 23 Juni 2009 sudah mencapai
367 artikel.[5]
Tulisan dalam bentuk buku diantaranya :[6]
“Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum” ditulis tahun 1977,
“ Hukum, Masyarakat dan Pembangunan” ditulis pada tahun 1980, “Hukum dan
Masyarakat” tahun 1980, “Masalah Penegakkan Hukum Suatu Tinjaun Sosiologis”
tahun 1981, “Ilmu Hukum” tahun 1982, “Permasalahan Hukum di Indonesia” tahun
1983, “Hukum dan Perubahan Sosial” tahun 1983, “Sosiologi Hukum Perkembangan
Metode dan Pilihan Masalah” tahun 2002, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia” tahun 2003, “Membedah Hukum Progresif” tahun 2006, “Hukum dalam
Jagat Ketertiban” tahun 2006, “Biarkan Hukum Mengalir” tahun 2007, “Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” tahun 2008, “Lapisan-lapisan dalam Studi
Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia” tahun 2009 dan “Penegakkan
Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis” tahun 2009.
Kebiasaan menulis Satjipto Rahardjo terasah sejak
duduk di bangku SMP (1944-1947), kebiasaan beliau memberikan catatan kecil
berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di dalam sebuah buku dengan
dilengkapi gambar-gambar telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan
beliau pada dunia tulis menulis. Terhadap kebiasaan menulisnya tersebut,
Satjipto Rahardjo menganalogikan menulis adalah seni yang sama dengan buang air
kecil, sehingga seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum beban tersebut
dilepaskan. pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto Rahardjo akan
membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk sebuah
artikel ataupun buku.[7]
Ide pemikiran atau gagasan Satjipto Rahardjo di
bidang hukum dikenal dengan teori hukum progresif, menurut beliau hukum itu bukan
hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.[8]
Satjipto Rahardjo menyatakan pemilkiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya, yaitu hukum untuk manusia, maka manusia menjadi penentu dan titik
orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, oleh karena
itu hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia,
mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan
manusia, idiologi hukum progresif adalah hukum yang pro-keadilan dan hukum yang
pro-rakyat.[9]
Bagi hukum progresif Satjipto Rahardjo, proses
perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku
hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, para pelaku
hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena mereka dapat
melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan yang buruk
sekalipun agar hukum dirasakan manfaatnya untuk kepentingan-kepentingan sosial
yang memang harus dilayani oleh hukum.[10]
Dengan argumentasi seperti tersebut di atas, hukum tidak mengabdi bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luarnya.
Dalam masalah penegakkan hukum menurut Satjipto
Rahardjo yang dikutip oleh Zain Al-Muhtar dalam tulisannya dalam Blog:
sergie-zainovsky.blogspot.com., dengan judul : Teori Hukum Progresif Menurut
Satjipto Rahardjo, ada 2 (dua) macam tipe penegakkan hukum progresif, yaitu :[11]
a.
Dimensi
dan faktor manusia pelaku dalam penegakkan hukum progresif, idealnya mereka
terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat
yang mendasari penegakkan hukum progresif.
b.
Kebutuhan
akan semacam bangunan di kalangan akademi, intelektual dan ilmuan serta
teoritisasi hukum Indonesia.
Untuk melengkapi catatan tentang Satjipto Rahardjo,
penulis kemukakan komentar 2 (dua) orang mantan murid beliau untuk mewakili
tokoh hukum di Indonesia, sekedar memberikan gambaran bagaimana ide pemikiran
dan gagasan beliau diterima di masyarakat, yaitu Prof Muladi dari kalangan
akademik dan Brigjend (Pol) Agus Wantoro dari pelaku penegak hukum.
Prof Muladi, mantan menteri kehakiman, dan Gubernur
Lembaga Ketahanan Nasional yang juga mahasiswa Satjipto Rahardjo di Undip pada
tahun 1971 mengatakan: [12]
“Pemikiran Satjipto Rahardjo belum dapat
diterapkan di Indonesia karena aparat penegak hukum selama ini hanya mengejar kepastian hukum
tidak melihat aspek keadilan dan kemanfaatan, padahal hukum dalam pendekatan
sosiologi tidak dipandang dari apa yang terdapat dalam undang-undang (UU),
tetapi yang ada pada masyarakat. Aparat seharusnya menafsirkan hukum sesuai
dengan konteks sosial pada saat hukum diterapkan serta harus menggali
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kalau mereka hanya jadi mulut UU
akan sangat berbahaya karena UU selalu ketinggalan zaman”.
Brigjend (Pol) Agus Wantoro, murid
Satjipto Rahardjo di PTIK pada tahun 1996 mengatakan : [13]
“ Satjipto juga diakui sebagai Bapak
Reformasi Polri. Ketika mengajar di PTIK, Satjipto selalu menekankan tentang pentingnya
perubahan budaya dan perilaku Polri menuju efektivitas penegakkan hukum. Polri
sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan seperti yang selama ini diutarakan
pak Tjip”.
3.
Komentar
Pendidikan hukum pada perguruan tinggi harus sesuai
dengan tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
berbunyi :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, mayarakat, bangsa dan negara”.
Pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo tentang
pendidikan hukum dalam artikel yang berjudul : FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI
ATAU ILMU di atas, menurut penulis telah sejalan dengan asas pendidikan tinggi
dan fungsi pendidikan tinggi sebagaimana dikehendaki dalam Undang-Undang
Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi harus berasaskan kebenaran ilmiah,
penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab,
kebhinekaan, dan keterjangkauan. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang
inovatif, resposnsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui
pelaksanaan tridhama, dan mengembagkan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Setelah membaca artikel Satjipto Rahardjo,
sebagaimana telah diuraikan ringkasannya di atas, penulis mencoba mengintisarikan
pemikiran beliau tersebut sebagai berikut :
a. Pendidikan
hukum mempunyai dua tujuan yaitu untuk mempersiapkan praktisi hukum dan
mempersiapkan sarjana yang berorientasi pada keilmuan.
b. Stratifikasi
pendidikan tinggi hukum telah menyebabkan program S1 bertugas mempersiapkan
praktisi hukum, sedangkan program pascasarjana lebih kepada sarjana yang
berorientasi keilmuan.
c. Idiologi
pembelajaran hukum harus lebih progresif yang akan melahirkan sarjana hukum
reformatif, jangan hanya pembelajaran penegakkan hukum yang cenderung ke arah
mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status
quo) yang hanya akan melahirkan para mesin penegak hukum.
d. Para
pelaku hukum harus berani melakukan law
breaking agar hukum bermanfaat untuk manusia, tentunya dengan pendidikan
hukum yang lebih menekankan pada perbaikan
prilaku manusia dengan menggunakan SQ.
Dengan menjadikan manusia sebagi faktor penting
dalam hukum, maka hukum progresif Satjtipto Raharjo tersebut menurut penulis
lebih adalah bagian dari filsafat humanisme. Zaenal Abidin menjelaskan bahwa humanisme
sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia
sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan
penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup
sehari-hari.[14]
Selanjutnya menurut Zaenal Abidin, dalam ilmu
pengetahuan, filsafat humanisme dengan mengutip pendapat Wiliam Dilthey
(1833-1911) membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu [15]Geisteswissenschaften dan Naturwissenchaften. Perbedaan kedua
jenis ilmu tersebut terletak pada objek penyelidikan dan metodenya, objek
penyelidikan Naturwissenchaften
adalah alam fisik (natuur), sedangkan
Geisteswissenschaften
ekspresi-ekspresi manusia (Ausdruck)
yang digerakkan oleh roh, oleh daya-daya pemikiran, penilaian, dan motivasi
manusia yang paling dasar. Perbedaan dalam hal obyek penyelidikan menimbulkan
perbedaan dalam metode, menurut Dilthey, ekpresi manusia hanya dapat ditangkap
makna atau maksudnya melalui suatu proses mental yang disebut pemahaman (verstehen), sedangkan alam fisis hanya
dapat dimengerti melalui suatu aktivitas yang disebut penjelasan-kausal (erklaren).[16]
Berdasarakan pemahaman tentang jenis ilmu dari
Dilthey di atas, ketika Satjipto Rahardjo dalam artikelnya tersebut mengatakan
hukum dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, penulis dapat memahami pendapat
beliau sebatas disiplin ilmu yang
termasuk dalam jenis ilmu Geisteswissenschaften
karena segenap disiplin ilmu dalam katagori Geisteswissenschaften
termasuk ilmu hukum berobjekan ekspresi-ekspresi manusia terdapat hubungan erat
(interdisipliner) karena ekspresi-ekspresi manusia di dalam hukum tidak bisa
lepas dari pengarush sosial, budaya, politik, kebijaksanaan negara, ekonomi,
psikologi, tempat mengekspresikan gejala fisiknya. Penulis tidak sependapat
apabila hukum dapat dikaji oleh disiplin ilmu biologi, dan fisika, sebagaimana
disebutkan Satjipto Rahardjo atau disiplin ilmu jenis Naturwissenchaften lainnya karena menurut penulis objek dan metode
antara ilmu hukum dengan jenis ilmu Naturwissenchaften
berbeda , ilmu hukum membutuhkan pemahan sedangan disiplin ilmu biologi, fisika
dan jenis ilmu Naturwissenchaften lainnya mengunakan metode penjelsan-kausa.
Penulis sependapat dengan Satjipto Rahardjo bahwa
fakultas hukum selain mempersiapkan praktisi hukum juga harus mempersiapkan
sarjana yang dapat membantu reformasi hukum, tidak hanya untuk kepentingan ilmu
melainkan melahirkan sarjana yang berpikir alternatif yang menempatkan posisi
sebagai seorang pengamat daripada seorang pelaku, sehingga memandang kritis terhadap
hukum yang berlaku, dibebankan kepada lulusan program pascasarjana. Menurut penulis
mahasiswa S1 belum siap menerima materi hukum progresif, seperti disarankan
Satjipto Rahrdjo untuk diajarkan di program S1 karena dasar-dasar pemahaman
tenatng ilmu hukum belum mereka kuasai, tetapi sekedar perkenalan hukum
progresif dimungkin untuk diberikan setidaknya mengenai pengajaran tentang
moral dan perilaku pelaku hukum.
Kelemahan fakultas hukum melahirkan sarjana hukum
yang reformis menurut penulis tidak saja karena fakultas hukum masih
berorientasi pada pasar, yang cenderung memerlukan praktisi untuk menjadi
Advokat, Notaris, Jaksa, Hakim atau karena idiologi pembelajaran yang status quo seperti dijelaskan oleh
Satjipto Rahardjo diatas, tetapi menurut penulis dapat juga disebabkan karena
sumber daya alam yang masuk menjadi mahasiwa Fakultas Hukum adalah sisa-sisa
setelah lulusan SLTA tidak diterima di
fakultas-fakultas kedokteran atau ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Prof.
Hikmahanto Juwana, SH.MA,PhD., [17]bahwa
kebanyakan mahasiswa yang ada di fakultas atau sekolah tinggi hukum adalah
mereka yang memiliki sikap” daripada tidak belajar di perguruan tinggi” atau
“daripada membayar biaya pendidikan yang mahal”.
Hampir mirip dengan pendapat Satjipto Rahrdjo, untuk
memasukan idiologi pembelajaran progresif tetapi berbeda bahasa yang
disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana bahwa untuk perbaikan fakultas hukum
adalah mengenai memasukkan kurikulum yang berorientasi pada peserta didik dan
membebaskan ego.[18]
Prof. Hikmahanto Juwana menghendaki pendidikan hukum perlu dikonsentrasikan ke
arah pendidikan akademis, kalaupun ada mata kuliah yang bersifat praktis
dianggap sebagai pengetahuan awaluntuk memasuki profesi tradisional hukum. Pendapat
Prof Hikmahanto Juwana tersebut dilatar menurut penulis sangat tepat oleh
karena untuk pendidikan profesi seperti profesi hakim akan diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung dengan mengadakan Pendidikan dan Latihan Calon Hakim (Diklat
Cakim), untuk profesi Kejaksaan diselenggarakan olek Kejaksaan Agung dengan
mengadakan Diklat Calon Jaksa, untuk profesi Notaris diselenggarakan oleh
fakultas hukum atau Sekolah Tinggi Hukum dalam program Magister Kenotariatan,
untuk profesi Advokat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pelatihan hukum yang
diberi nama Pendidikan Khusus Profesi Advokat.
Persoalan fakultas hukum untuk praktisi atau ilmu
sebagaimana dipertanyakan oleh Satjipto Rahardjo, menurut Prof. Dr. Valerine
J.L Kriekhoff, SH.MH., [19]diawali
dengan pertanyaan dimanakah posisi ilmu hukum
dalam kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan hukum?, ilmu hukum
adalah sui generis (jenis tersendiri)
karena sifatnya yang normatif sehingga sulit untuk dikelompokkan ke dalam salah
satu cabang pohon ilmu, selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat B.A Sidharta
bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan
itu sendiri sebagai objeknya, kelompok ilmun praktis dibagi dua jenis yaitu
nomologis dan normologis (ilmu normatif).
Selanjutnya menurut Prof. Valerine J.L Kriekhoff,
lulusan Fakultas Hukum tidak hanya melakoni profesi yang tradisional, yaitu hakim,
jaksa, pengacara, konsultan hukum, atau notaris, namun diantara mereka ada juga
yang memilih bekerja di berbaai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperi WALHI
dan ELSAM, diberbagai Komisi Nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Anak serta
sebagai staf /konsultan di berbagai lembaga internasional, seperti Word Band
dan ADB.[20]
Dalam menjalan berbagai profesi atau
pekerjaan tersebut, bekal pengetahuan ilmu-ilmu sosial seperti ilmu Pengantar
Sosiologi, Antropologi Budaya, Sosiologi Indonesia, Sosiologi Hukum dan
lain-lain akan sangat bermanfaat, sehingga ilmu-ilmu sosial tersebut harus
tetap dipertahankan dalam materi kuliah pendidikan hukum.
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu humanistik
sebagaimana telah dikemukan penulis di atas, dimana menempatkan manusia sebagai
subjek sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan
martabat kemanusiaannya. Konsep humanistik yang menempatkan manusia sebagai
subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi
manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia.[21]
Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural right theory) yang melahirkan
teori hukum kodrati (natural law theory)
, tetapi semuanya itu bersumber dari filsafat Stika melalaui tulisan Santo
Thomas Aquinas, yang dikembangkan oleh John Locke dengan mengajukan sebuah
postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat
atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan
tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.[22] Sebagaimana
juga dikatakan Darren J.O Byrne, dalam bukunya HUMAN RIGHTS, An Introduction :[23]
“Three
claim which are made about the properties of human rights, namely :
Human rights are
universal, that is, they belong to ecah of us regadless of ethnicity, race,
gender, sexuality, age, religion, political conviction, or type of government.
Human right are
incontrovertible, that is, they are absolute and innate. They are not grants
from states, and thus cannot be removed or denied by any political authority,
and they do not requre, and are not negated by the absence of, any coresponding
duties.
Human right are
subjective. They are the properties of indivuduial subjects who posses them because
of their capacity for rationality agency and autonomy.”
Karel Vasak, sebagaimana dikutif dari
buku Hukum Hak Asasi Manusia, membagi perkembangan pemikiran hak asasi manusia
dalam tiga generasi, yaitu :[24]
a. Generasi
pertama hak asasi manusia berupa kebebasan atau sering dirujuk untuk mewakili
hak-hak sipil dan politik, bersifat hak-hak negatif meliputi hak hidup,
keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum
yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
b. Generasi
kedua hak asasi manusia berupa persamaan diwakili oleh perlindungan bagi
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bersifat positif, meliputi hak atas
pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan,
hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak
atas lingkungan yang sehat dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah,
kesusatraan, dan kesenian. Hak untuk mendapatkan pendidikan hukum dan
mendapatkan pekerjaan seteah lulus kuliah terdapat dalam generasi kedua ini.
c. Generasi
ketiga hak asasi manusia berupa perasudaraan diwakili oleh tuntutan atas hak
solidaritas atau hak bersama, meliputi hak atas pembangunan, hak atas
perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri.
4.
Kesimpulan
Fakultas hukum pada perguruan tinggi di Indonesia
dituntut untuk melahirkan sarjana-sarjana hukum yang profesional baik
profesional sebagai praktisi maupun sebagai ilmuan. Untuk mewujudakan hal
tersebut selain dengan adanya jenjang
pendidikan hukum atau stratifikasi juga harus memasukkan kurikulum yang tepat dan
idiologi hukum progresif guna melahirkan sarjana hukum yang reformatif
mendukung pembangunan Indonesia.
Ilmu hukum merupakan bagian dari jenis ilmu Geisteswissenschaften, yang berasal dari
filsafat humanistik sehingga sebagaimana diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo
tentang hukum progersif maka hukum harus untuk manusia, hukum harus melayani
manusia mencapai kesejahteraannya.
Konsep hukum yang humanistik yang menempatkan
manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran
hak asasi manusia. Hak mendapatkan
pendidikan hukum yang baik, mendapatkan pekerjaan serta upah yang layak
setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia
generasi kedua.
Daftar Bacaan
:
1.
Buku-buku :
Abidin,
Zainal. FILSAFAT MANUSIA, Memahami
Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan
kelima, Februari 2009.
Alston,
Philip. Frans Magnis-Suseno. Hukum Hak
Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
J.O
Byrne, Darren. HUMAN RIGHTS, An
Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.
Windarti,
Sri. Marjono Reksodiputro: Pengabdian
Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI,
Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007.
2.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang
dasar 1945.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3.
Internet :
Internet
:http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo. Satjipto
Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo
dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori
Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang
Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[1]
Sri Windarti. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang
Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM
FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007, Hlm 505.
[2]
Mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Angkatan 2013.NIM
:0201-36-81318-003, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hak
dan Kewajiban Manusia dalam Negara Hukum dari dosen pengampu Dr. Zen Zanibar
MZ, SH.MH.
[3]
Sri Windarti, Op.Cit Hlm 658,659.
[4]
Internet :http://
id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.
Satjipto Rahardjo. Diakses
pada 30 Maret 2014.
[5]
internet:
http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo
dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
[6]
Ibid.
[8]
Internet:
sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori
Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]
Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang
Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[13]
Ibid.
[14]
Zainal Abidin, FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009. Hlm.39
[16]
Ibid.
[17]
Sri Windarti. loc.cit. Hlm.182,183.
[18]
Ibid.
[21]
Philip Alston, Frans Magnis
Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008. Hlm.11.
[23]
Darren J.O Byrne, HUMAN RIGHTS, An Introduction. India:
Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004. Page 27.
[24]
Philip Alston, Franz
Magnis-Suseno, loc.cit. Hlm.14,15,16.
Rabu, 07 Mei 2014
KEBERATAN TERHADAP BENTUK DAN/ATAU BESARNYA GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH
KEBERATAN
TERHADAP BENTUK DAN/ATAU BESARNYA GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH
SOBANDI[1]
(Telah dimuat di Majalah Hukum Varia Peradilan No.340 Maret 2014)
A. Pendahuluan
Tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya
terbatas dan tidak bertambah luasnya, sementara hampir semua pembangunan (sektoral)
membutuhkan tanah sebagai wadahnya. Saat ini pemerintah maupun swasta sedang
gencar melakukan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang
tidak sedikit sehingga untuk keperluan itu pemerintah melakukan tindakan
mengambil (pembebasan) tanah-tanah hak yang dikuasai masyarakat, yang disebut dengan
pengadaan tanah.
Pengaturan terkait pengadaan tanah ini sebelumnya telah
diatur diatur secara berturut turut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No.15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden (Keppres) No.55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan
Presiden (Perpres) No.36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No.65
Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dan yang teraanyar adalah Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kemudian
pengaturan teknisnya diatur dalam Perpres No.71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun
2012 dijelaskan mengenai pengertian pengadaan tanah yaitu kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak[2].
Sebenarnya pengambilan tanah-tanah hak ini telah diberi landasan hukum dalam UU
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menentukan
bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
undang-undang.[3]
Berkaitan dengan “ganti kerugian yang layak” inilah merupakan
salah satu konflik yang sering terjadi dalam proses pengadaan tanah. Sebenarnya
undang-undang telah mengatur untuk menentukan ganti kerugian yang layak dilakukan
dengan cara musyawarah antara Pemerintah cq. Pelaksana Pengadaan Tanah dengan
pihak yang berhak dan kemudian dibuat dalam berita acara kesepakatan, akan
tetapi oleh karena nilai ganti kerugian telah ditetapkan sebelumnya oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah meskipun berdasarkan hasil penilaian jasa penilai
atau penilai publik, tetap saja kadang muncul ketidak puasan pemilik hak
terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian sehingga ia tidak sepakat dan
tidak ikut menandatangani berita acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas hari)
kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. [4]
UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012
tidak menyebutkan jenis perkara untuk keberatan
terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang
diajukan ke pengadilan negeri (gugatan atau permohonan), Mahkamah Agung sendiri
sampai tulisan ini dibuat belum ada mengeluarkan peraturan tentang hukum acara
keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan
tanah, sehingga dikawatirkan masing-masing pengadilan negeri akan berbeda sikap
dalam menentukan jenis perkara keberatan tersebut dan penerapan hukum acaranya.[5]
B. Jenis
Perkara Keberatan terhadap Bentuk dan/atau Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah
Sebelum menentukan jenis perkara keberatan terhadap
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, penulis
sampaikan beberapa ketentuan hukum acara yang telah diatur dalam Pasal 38 UU
No.2 Tahun 2012 atau Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 yaitu meliputi :
1. Kewenangan
untuk memutus perkara keberatan berada pada pengadilan negeri setempat;
2. Batas
waktu pengajuan keberatan, yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.
3. Batas
waktu pengadilan negeri memutus perkara keberatan, yaitu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan;
4. Batas
waktu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung bagi pihak yang keberatan terhadap
putusan pengadilan negeri, yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja;
5. Batas
waktu Mahkamah Agung memutus perkara keberatan tersebut, yaitu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima;
6. Pembuktian,
dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa sebagai
pertimbangan dalam memutus putusan atas besaran ganti kerugian, pihak yang
berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar
pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian.
Dalam menentukan jenis perkara keberatan
terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah,
khususnya yang terjadi pada Pengadilan Negeri Kayuagung[6],
setelah Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung berdiskusi dengan hakim-hakim, Ketua
Pengadilan Negeri Kayuagung memerintahkan Panitera untuk mendaftar perkara
keberatan tersebut dalam register perkara Permohonan.[7]
Penulis sepakat untuk mendaftarkan
perkara keberatan tersebut dalam register perkara Permohonan dengan alasan
sebagai berikut:
1. Waktu
pemeriksaan perkara yang singkat
Waktu pemeriksaan
perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam
pengadaan tanah yang diberikan undang-undang hanya 30 hari kerja sejak diterimanya
pengajuan keberatan, pengadilan negeri harus memutus perkara keberatan
tersebut.
Waktu pemeriksaan
perkara yang terbatas tidak memungkinkan perkara keberatan terhadap kesepakatan
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah didaftar dalam
register perkara Gugatan karena apabila didaftarkan dengan jenis perkara Gugatan,
maka perkara keberatan tersebut wajib menempuh upaya mediasi, dan setidaknya
waktu untuk mediasi saja membutuhkan 40 hari kerja yang dapat diperpanjang
selama 20 hari kerja.[8]
2. Tidak
Tersedia Upaya Hukum Banding
Dalam
perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan
tanah, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang keberatan terhadap
putusan pengadilan negeri adalah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi,
terhadap putusan dalam perkara keberatan tidak dapat diajukan upaya hukum
banding.
Tidak
tersedia upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama ini biasa
diberlakukan terhadap perkara perdata Permohonan.[9] Sebenarnya
ada juga perkara-perkara perdata Gugatan yang tidak menyediakan upaya hukum
banding seperti perkara kepailitan, perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, perkara gugatan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) serta perkara
gugatan perselisihan hubungan indutrial, tetapi perkara-perkara tersebut telah
diatur secara jelas hukum acaranya dan telah dibentuk pengadilan khusus untuk
menanganinya, yaitu pengadilan niaga dan pengadilan hubungan industrial.
Oleh karena perkara keberatan terhadap
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian didaftar dalam register Permohonan,
maka hukum acara yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara keberatan tersebut
menggunakan hukum acara permohonan dimana produk dari permohonan tersebut
adalah penetapan.
C. Hal-Hal
Yang Harus Diperhatikan Selama
Pemeriksaan Perkara
Hal- hal yang menurut Penulis perlu diperhatikan
dalam memeriksa perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian dalam pengadaan tanah yaitu :
1. Kewenangan
pengadilan negeri setempat
UU
No.2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 menyebutkan perkara keberatan
terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah diajukan
kepada pengadilan negeri setempat.
Menurut
penulis, redaksi kalimat “pengadilan negeri setempat” berkaitan dengan wewenang
relatif yang secara khusus telah diatur dalam UU No.2 Tahun 2012 maupun Perpres
No.71 Tahun 2012 yaitu kewenangan
memutus perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
dalam pengadaan tanah ada pada pengadilan negeri dimana tanah terletak bukan pada pengadilan negeri
dimana Tergugat/Termohon bertempat
tinggal atau pada pengadilan negeri dimana Penggugat/Pemohon bertempat tinggal
seperti lazimnya hukum acara mengenai wewenang relatif yang diatur dalam ketentuan Pasal 118 HIR/142
RBG.
Pendapat
penulis tersebut didasarkan pada alasan bahwa perkara keberatan tersebut muncul
karena berkaitan dengan tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, dimana
sebelumya nilai ganti kerugian tanah tersebut telah dinilai oleh Penilai yang
hasilnya diserahkan kepada Pelaksana Pengadaan Tanah sebagai bahan dalam
musyawarah penetapan ganti kerugian antara Pelaksana Pengadaan Tanah dengan
para pihak yang berhak untuk mencapai kesepakatan bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian.
2. Pihak-pihak
yang ditarik sebagai Termohon
Walaupun perkara keberatan tersebut didaftar dalam
register Permohonan dan tentunya menerapkan hukum acara permohonan, menurut
Penulis hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex
parte, karena di dalam perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian dalam pengadaan tanah terdapat kepentingan pihak lain, sehingga
untuk memenuhi asas audi et alteram
partem, perkara keberatan tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang
berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sebagaimana telah diterapkan
dalam perkara Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase[10]
dan perkara Permohonan Izin untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau perkara
Permohonan Pemeriksaan Terhadap Perseroan atau perkara Permohonan Pembubaran
Perseroan[11]
Redaksi
dalam UU No.2 Tahun 2012 mapun Perpres No.71 Tahun 2012 hanya menyebutkan pihak
yang berkepentingan dan dapat mengajukan keberatan terhadap bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, yaitu pihak yang berhak atas tanah tetapi tidak
menyebutkan siapa yang harus ditarik sebagai pihak lawan (Termohon). Penulis berpendapat
dalam perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam
pengadaan tanah cukup menarik Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah sebagai Termohon
karena sebagaimana kita ketahui pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan melalui tahapan-tahapan[12],
yaitu tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan dan tahapan
penyerahan, dimana setiap tahapan diatur tugas dan penanggung jawab kegiatan
serta mekanisme keberatan pada setiap tahapan sedang perkara keberatan terhadap
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah terjadi pada
tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pelaksana Pengadaan
Tanah.
3. Pelaksanaan
(eksekusi) putusan
Masalah
pelaksanaan (eksekusi) putusan perkara
keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan
tanah menurut Penulis merupakan salah satu masalah yang belum ada pengaturannya.
UU
No.2 Tahun 2012 menentukan bahwa ganti kerugian diberikan kepada pihak yang
berhak berdasarkan hasil penilaian yang
ditetapkan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian dan/atau putusan
pengadilan negeri/Mahkamah Agung, kemudian dalam Pasal 42 ayat (1) UU No.2
Tahun 2012 dikatakan bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
Sekarang
bagaimana kalau yang menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung tersebut adalah Pelaksana
Pengadaan Tanah?.
Menurut
penulis, permasalahan pelaksanaan (eksekusi) putusan keberatan tersebut harus
diatur dalam undang-undang misalnya dengan memberikan aturan ketentuan
penyediaan anggaran dalam mengantisipasi putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung yang mengabulkan keberatan pihak yang berhak atas tanah.
D. Penutup
Demikian artikel ini penulis buat, semoga bermanfaat untuk pengembangan ilmu,
terutama dalam bidang hukum hukum dan tentunya penulis berharap dapat menjadi
rujukan dalam praktek penanganan perkara keberatan di pengadilan negeri. Kritik
dan saran dapat disampaikan melalui E-mail : sobandi_karawang@yahoo.co.id.
Sumber Bacaan :
- - UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
- UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
-
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
-
UU
No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
-
Perpres
No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
-
Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008
tentang Mediasi
-
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Perdata, Edisi 2007
-
Yahya Harahap. 2007. HUKUM ACARA PERDATA
tentang : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan.Sinar Grafika: Jakarta
-
Internet:
jdih.bpk.go.id. Tinjauan Atas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2012, diakses tanggal 14
Desember 2013.
-
Internet: www.academeia.edu
:Henny Handayani. DIMENSI KEADILAN DALAM MEKANISME KONSINYASI PENGADAAN TANAH,
diakses 03 Januari 2014
-
Internet:
Setiawan-The-law.blogspot. Upaya Hukum
dalam Hukum Perdata, diakses tanggal 4 Januari 2014.
-
Internet:
Wikayudhashanty.blogspot.com. Catatatan Hukum, Gugatan Permohonan (Gugatan
Voluntair). diakses tanggall 4 Januari 2013
[1]
Hakim (WKPN Kayuagung).
[2] Pasal 1 angka 2 UU No.2 Tahun
2012 dan Pasal 1 angka 2 Perpres No.71 Tahun 2012.
[3]
Pasal 16 UU No.5 Tahun 1960
[4]
Pasal 38 ayat (1) UU No.2
Tahun 2012 dan Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012
[5]
Setidaknya penulis telah
menerima 2 (dua) telepon dari 2 (dua) pengadilan yang berbeda yang menanyakan permasalahan ini
yaitu dari WKPN Payakumbuh dan WKPN Kalianda, Penulis juga telah berkonsultasi
dengan Yang Mulia Hakim Agung, IG Agung Sumanatha
[6]
Informasi dari WKPN
Kalianda, perkara keberatan terhadap bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
dalam pengadaan tanah didaftar dalam register perkara Gugatan.
[7]
Perkara perdata Permohonan
Nomor : 48/Pdt.P/2013/PN.KAG
[9]
Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Perdata, Edisi 2007, hal.44
[10]
Pasal 70 UU No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[11]
Pasal 80 dan Pasal 138 ayat
(2) serta Pasal 146 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[12]
Pasal 13 UU No.2 Tahun 2012 atau Pasal
2 Perpres No.71 Tahun 2012
Lampiran :
Lampiran :
P U T
U S A N
NOMOR :84/PDT.P/2013/PN.KAG
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Kayuagung yang memeriksa
dan mengadili perkara-perkara perdata permohonan dalam peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara:
M. SURIP, Umur 34 Tahun, Pekerjaan Wiraswasta,
Alamat Jalan Seduduk Putih No. 112 Rt. 18 Rw. 007 Keluarahan 8 Ilir
Kecamatan Ilir Timur II Kotamadya Palembang. selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
;
- L a
w a n -
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, Sdr. ASNAWATI, SH, NIP.
19660125 199103 2 001, dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kantor
Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir, Jalan Raya Palembang-Prabumulih KM 34 Indralaya Kabupaten Ogan Ilir,
selanjutnya disebut sebagai TERMOHON
;
Pengadilan Negeri tersebut ;
Telah membaca berkas perkara dan surat-surat dalam perkara ini ;
Telah mendengar keterangan para pihak dan Saksi –
Saksi;
Telah memperhatikan
bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan;
TENTANG
DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan surat
keberatan terhadap penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang Indralaya
yang didaftar di bawah register Permohonan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor:
84/Pdt.P/2013/PN.KAG, tanggal 17 Desember 2013 , telah
mengemukakan hal - hal sebagai berikut :
1.
Bahwa
sekitar bulan September 2013 pemohon mengetahui kabar dari teman yang bertetangga tanah dengan milik pemohon,
kemungkinan tanah pemohon akan terkena untuk pengadaan tanah jalan Tol Palembang — Indralaya,
2.
Bahwa
sejak saat itu pemohon diminta oleh pihak Kecamatan Pemulutan untuk mengumpulkan fhoto kopi bukti
kepemilikan tanah,
3.
Bahwa
kemudian pemohon mengetahui tanah milik pemohon terkena untuk pengadaan tanah
jalan Tol Palembang Indralaya di Kecamatan Pemulutan dimasukkan dalam persil No. 151 Peta Bidang Tanah dari hasil
pengukuran,
4.
Bahwa
kemudian pemohon menerima undangan nomor : 877/2.16.10/XI/2013 perihal :
Undangan Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang — Indralaya,
5.
Bahwa
pada hari dan tanggal undangan nomor : 877/2.16.10/XI/2013 yang telah ditetapkan, yaitu hari
Jum'at, tanggal 6 Desember 2013, pemohon hadir dan
mendapatkan penjelasan dan tawaran bentuk ganti kerugian(bentuk tawaran dapat berupa relokasi, uang atau saham), semua hadirin termasuk pemohon setuju untuk mendapatkan bentuk ganti kerugian berupa UANG,
mendapatkan penjelasan dan tawaran bentuk ganti kerugian(bentuk tawaran dapat berupa relokasi, uang atau saham), semua hadirin termasuk pemohon setuju untuk mendapatkan bentuk ganti kerugian berupa UANG,
6.
Bahwa
kemudian juga dijelaskan oleh pihak Termohon, hak untuk mengajukan keberatan bagi peserta yang tidak menerima/tidak
puas terhadap nilai yang telah ditetapkan dalam amplop tertutup tersebut dapat diajukan dalam
rentang waktu 14 hari kepada Ketua Pengadilan Negeri,
7.
Bahwa
masing-masing hadirin termasuk pemohon dipanggil satu-persatu ke depan podium untuk mendapatkan amplop tertutup
berisi jumlah nilai ganti kerugian untuk tanahnya masing-masing tanpa diberi penjelasan
untuk membukanya dan membahasnya dalam forum musyawarah itu secara bersama-sama, kemudian hadirin segera
diminta menanda tangani
tanda terima amplop tersebut (peristiwa penanda tanganan didokumentasikan dengan handy cam oleh
pihak termohon) dan
diperbolehkan pulang,
Selanjutnya PEMOHON
KEBERATAN/PEMOHON dalam hal ini menjelaskan yang menjadi Duduk Persoalan/Dasar Keberatan dan Isi
atau Subtansi Keberatan pemohon sebagai berikut:
I.
Bahwa
dengan memperhatikan uraian peristiwa butir 6 dan
7 di atas, pemohon berpendapat
bahwa :
1. Termohon tidak melaksanakan ketentuan
pasal 66 (1) dan (4) perP'res No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : "Besarnya Nilai Ganti
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar
musyawarah untuk menetapkan Ganti Kerugian",
Fakta menunjukkan pertemuan
pada hari Jum'at, pukul 14:00 WIB tanggal 6 Desember 2013, tidak mengutamakan cara dialogis/komunikasi
dua arah untuk mencari kesepakatan
tetapi lebih menekankan pada cara-cara monologis/pengarahan satu arah dimana peserta lebih ditempatkan sebagai
objek, bagaimana pemohon bisa mengetahui besarnya Nilai Ganti Kerugian kalau
sebelumnya sudah dipersiapkan dalam amplop tertutup, lebih-lebih lagi akan dijadikan dasar musyawarah karena peserta/pemohon dipersilahkan pulang
disebabkan pertemuan dijatahi hanya 2 jam karena setelah itu ada gelombang peserta lain,
jadi tidak pernah ada musyawarah pada pertemuan itu, dengan kata lain pertemuan itu cacat
hukum,
2. Termohon tidak melaksanakan ketentuan
pasal 72 (1) perpres No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : "hasil kesepakatan
dalam musyawarah menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada pihak yang Berhak yang
dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan ",
Fakta menunjukkan pertemuan
pada hari Jum'at, pukul 14:00 WIB tanggal 6 Desember 2013 tidak mempunyai hasil kesepakatan
karena tidak ada proses musyawarah yang wajar sebagaimana mestinya, Nilai Ganti Kerugian
yang diserahkan dalam amplop tertutup tersebut dan tidak pernah dibahas bersama dan TIDAKLAH dapat
dijadikan dasar pemberian ganti kerugian karena
tidak pernah melalui proses musyawarah sebagai mana mestinya, dengan kata lain Nilai Ganti Rugi dalam amplop
tersebut belum mempunyai
dasar karena belum dibahas secara bersama-sama dengan PEMOHON, Termohon sedari awal sudah merencanakan
agar Pemohon mengajukan keberatan
ini, yang seharusnya cara yang ditempuh mengutamakan proses musyawarah untuk mendapatkan hasil
kesepakatan, Termohon sebagai penyelenggara negara yang ditunjuk undang-undang telah begitu
saja mengabaikan hal-hal yang diperintahkan oleh undang-undang dan bertindak
mengambil mudahnya saja, dalam hal ini tindakan yang telah dilakukan oleh Termohon adalah cacat hukum,
II.
Bahwa
setelah membuka amplop tertutup yang berisi jumlah nilai ganti kerugian tanah milik pemohon, tertulis nominal Rp.
12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk luas 300 m2, pemohon merasakan penilaian itu
tidak faktual, tidak rasional dan tidak beralasan karena :
1.
Termohon tidak memperhatikan harga pasaran tanah di
lokasi setempat, dengan kata lain Rp. 12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk
tanah dengan luas 300 m2
bagi pemohon tidak akan pernah dapat mencari tanah pengganti lokasi sejenis dengan harga Rp. 12.300.000,-
pada saat sekarang ini,
2.
Termohon hanya mendasarkan penilaian ganti kerugian dari bukti
kepemilikan tanah milik
Pemohon yang sebelumnya pemohon berikan melalui pihak Kecamatan Pemulutan (lihat uraian peristiwa butir
2), itu pun yang dijadikan dasar hanya dari bukti terakhir kepemilikan tahun 2012 (Akta
Pengoperan Hak No. 30 tanggal 05 Desember tahun 2012), dalam akta tersebut tertulis harga tanah Rp.
8.170.000,- (Delapan Juta
Seratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah). Selisih dari Rp. 12.300.000,- dikurangi Rp.
8.170.000,- sama dengan Rp. 4. 130.000,- bagi Termohon menilai Pemohon sudah cukup segitu, padahal Termohon baru
menjalankan ketentuan pasal 65 ayat (2) perpres No. 71 tahun 2012, selebihnya untuk ayat
(1) belum sepenuhnya dijalankan karena harus ditempuh melalui proses musyawarah yang benar agar
didapatkan nilai kesepakatan
BUKAN nilai yang ditetapkan sepihak,
Bahwa berdasarkan pasal 65
(1) dan (2) perpres No. 71 tahun 2012 berbunyi: "penilai betugas melakukan penilaian besarnya
ganti kerugian bidang per bidang tanah, meliputi : a. tanah, b. Ruang atas tanah dan bawah
tanah, c. Bangunan, d. Tanaman, e. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. Kerugian lain yang
dapat dinilai".
Dalam ayat (2) pasal di
atas berbunyi : "dalam melakukan tugasnya segaimana dimaksud pada ayat (1), penilai atau
penilai publik meminta peta bidang tanah, daftar nominatif dan data yang diperlukan untuk bahan
penilaian dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah".
3.
Termohon tidak memperhatikan bahwa pemohon mendapatkan tanah tersebut secara sukar sakit pada tahun 2009
secara kredit tanah kaplingan (Surat Keterangan Jual Beli Tanah tanggal 6 Mei
2009 yang dibuat di hadapan Kepala Dusun II Ibul Besar I, Sudirman) dengan angsuran Rp. 220.000,- (Dua
Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) tiap bulan selama 36 bulan, baiklah untuk
konkretnya pemohon akan mengutarakan nilai kerugian yang dialami oleh pemohon dengan akan
dijadikan untuk Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang — Indralaya sebagai berikut :
Pemohon mendasarkan
penghitungan kerugian seperti yang dimuat dalam pasal 65 ayat (1) sub : a, e dan f perpres No.
71 tahun 2012,
A. Tanah,
Pemohon membeli tanah
tersebut secara kredit (36 kali/bulan) kaplingan pada tanggal 6 Mei 2009,
angsurannya pada waktu itu Rp. 220.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) tiap bulan. Demi untuk
punya tanah meskipun kaplingan, pemohon rela mengirit makan atau pun kebutuhan lain. Nilai/harga bahan
pokok atau beras pada tahun
2009 Rp. 6000,- (Enam Ribu Rupiah)/kg. Jadi untuk menyisihkan uang angsuran senilai Rp. 220.000,-
(Dua Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah)
tiap bulan, pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 36,6 (Tiga Puluh Enam koma
Enam) tiap bulannya.
Selama tahun 2009 sejak
bulan Mei, pemohon menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 8 bulan =
Rp.1.760.000- (Satu Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit
makan atau menunda
kebutuhan lain setara dengan 293,3 (Dua Ratus Sembilan Puluh Tiga koma tiga) kg beras.
Selama tahun 2010, pemohon
menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 12 bulan = Rp.2.640.000,- (Dua Juta
Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah)
atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 440
(Empat Ratus Empat Puluh) kg beras.
Selama tahun 2011, pemohon
menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 12 bulan = Rp.2.640.000,- (Dlia
Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit makan atau menunda kebutuhan lain setara dengan 440
(Empat Ratus Empat Puluh) kg beras.
Selama tahun 2012, pemohon
menyisihkan untuk membayar angsuran sejumlah Rp. 220.000,- X 4 bulan = Rp. 880.000,- (Delapan
Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah) atau dengan kata lain pemohon harus mengirit
makan atau menunda kebutuhan
lain setara dengan 146,6 (Seratus
Empat Puluh Enam koma Enam) kg beras.
Harga kebutuhan pokok/beras
sekarang pada saat ini Rp. 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah)/kg. Jadi harga tanah pemohon yang layak
dan tidak berlebihan sebagai tabungan dan investasi pemohon adalah 293,3 + 440 + 440 + 146,6 X
1 kg beras (Rp.10.000,-)
= Rp. 13.199.000,- (Tiga Belas Juta Seratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah).
B. Benda yang berkaitan dengan tanah,
Penanaman patok cor beton
dan upah terhadap tanah, di tanah tersebut terdapat 4 (empat) buah patok cor beton masing-masing @seharga Rp.75.000,-
(Tujuh Puluh
Lima Ribu Rupiah) X 4 = Rp.300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah).
Upah pemasangan =
Rp. 200.000,- (Dua Ratus Ribu Rupiah).
C. Kerugian lain yang dapat dinilai,
a.
Kerugian
Administrasi dan Transportasi dalam mengantarkan uang angsuran, Pemohon mengambil kredit tanah kaplingan
dengan perseorangan bukan dengan
Badan Hukum (CV atau PT) yang dapat menitipkan pembayaran melalui bank atau Kantor Pos. Jadi
mengantarkan uang angsuran setiap bulan secara langsung. Untuk mengantarkan uang tersebut
perlu jasa ojek (tranportasi)
sejumlah Rp. 25.000,- (Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) X 36 bulan = Rp. 900.000,- (Sembilan Ratus Ribu
Rupiah).
b.
Kerugian
pemeliharaan dan penjagaan keamanan, pemohon merumput dan membersihkan semak (maintenance), uang
transportasi dan konsumsi dari kota Palembang ke lokasi, mengupah orang setempat untuk menjaga keamanan tanah tersebut dan memberi
laporan kepada pemohon kalau tidak ada yang tidak beres (komunikasi),
Maintenance dan komunikasi
sejumlah Rp. 150.000,- (tiap 2 bulan dari 36 bulan) = Rp. 150.000,- X 18 bulan = Rp.
2.700.000,- (Dua Juta Tuiuh Ratus Ribu Rupiah),
Uang Transportasi dan
konsumsi dari kota Palembang ke lokasi sejumlah Rp. 100.000,- (tiap bulan) = Rp. 100.000,- X 36 bulan
= Rp. 3.600.000,- (Tiga Juta Enam Ratus Ribu Rupiah),
c.
Kerugian
kegagalan untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga tanah di sekitar jalan Tol yang akan
dibangun, dengan akan dibangunnya jalan Tot tersebut otomatis harga tanah di sekitarnya
melonjak naik, dengan kata lain
Rp. 12.300.000,- (Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah) untuk tanah dengan
luas 300 m2 bagi pemohon tidak akan pernah dapat mencari tanah pengganti di lokasi sejenis dengan harga
Rp. 12.300.000,- pada saat sekarang ini, jika Rp. 12.300.000,- dibagi 300 m2 = 41.000,-/m2. Untuk tanah di
pinggir jalan Raya harga
pasaran sekarang sudah berkisar di angka dari Rp.200.000,- s.d. Rp. 250.000,-/m2. Jadi Nilai Layak
untuk harga pasaran tanah milik pemohon adalah Rp.200.000,-/m2 X 300 m2 = Rp.60.000.000,- (Enam
Puluh Juta Rupiah) atau kurang lebih Rp.
150.000,-/m X 300 m2 = Rp. 45.000.000,- (Empat Puluh Juta Rupiah).
Jadi Total Nilai Kerugian
Pemohon (A + B + C tersebut di atas) adalah : Rp. (13.199.000,-) + (Rp.300.000,- + Rp. 200.000,- +
Rp. 2.700.000,- + Rp. 3.600.000,-) + (Rp. 900.000,- + Rp.60.000.000,-) = Rp.80.899.000,- (Delapan
Puluh Juta Delapan
Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah).
Berdasarkan hal-hal tersebut pemohon
berharap kepada Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung atau Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus permohonan keberatan
ini kiranya sependapat agar menjatuhkan putusan dalam diktum putusannya sebagai berikut sebagai
detenminan :
-
Menyatakan
menerima permohonan keberatan dari Pemohon,
-
Membatalkan
penilaian ganti kerugian yang ditetapkan oleh termohon pada tanggal tanggal 6 Desember 2013 clan memutuskan secara sendiri
-
Mengabulkan
permohonan keberatan Pemohon untuk seluruhnya,
-
Menyatakan
proses musyawarah yang dilakukan termohon pada tanggal tanggal 6 Desember 2013 cacat hukum,
Menetapkan sebagai hukum agar termohon
membayar Nilai Ganti Kerugian tanah dan kerugian lain yang dialami pemohon Total sejumlah Rp.80.899.000,-
(Delapan Puluh Juta
Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah), dan menyerahkan kepada pemohon,
- Membebankan termohon untuk membayar
biaya yang timbul dari perkara ini,
- Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain
dapat memberikan putusan yang seadil‑ adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan,
untuk kepentingan Pemohon, Pemohon
hadir sendiri ke persidangan, sedangkan untuk kepentingan Termohon, hadir
kuasanya YAZULI, SH.,
MM, dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 24 Desember 2013 Nomor : 896/2.16.10/XI/2013 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kayuagung tanggal 30 Desember 2013 dibawah nomor
: 105/SK/2013 ;.
Menimbang, bahwa
atas permohonan keberatan tersebut, Termohon telah
mengajukan jawaban di persidangan tertanggal 30 Desember 2013 yang pada pokoknya sebagai berikut :
1.
Bahwa berdasarkan Pasal 13 Undang — Undang NO. 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui tahapan :
a.
Perencanaan merupakan tanggung jawab Instansi yang
memerlukan tanah;
b.
Persiapan merupakan tanggung jawab Gubernur dan Instansi
yang memerlukan tanah;
c.
Pelaksanaan dan
d.
Penyerahan hasil merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia ;
2.
Bahwa apa yang disampaikan Pemohon dalam keberatannya,
yang menyebutkan tidak pernah ada proses musyawarah dalam pertemuan pada tanggal 6
Desember 2013 antara Pemohon dan Termohon adalah tidak benar, karena sudah
jelas - jelas semua peserta pertemuan musyawarah yang hadir setuju atau sepakat kalau bentuk ganti
kerugian yang disepakati berupa uang;
3.
Bahwa isi keberatan yang disampaikan pemohon yang
menyebutkan proses musyawarah pada tanggal 6 Desember 2013 adalah cacat hukum adalah
tidak benar, karena berdasarkan fakta bahwa Pemohon telah menandatangani
persetujuan atau kesepakatan mengenai bentuk ganti kerugian dan juga proses
menandatanganan tersebut tanpa paksaan dari pihak manapun atau dengan kata lain
pemohon telah menyatakan
persetujuannya mengenai bentuk ganti kerugian tersebut ;
4.
Bahwa apa yang didalilkan Pemohon dalam keberatannya yang
menyebutkan "Termohon tidak melaksanakan ketentuan pasal
66 ( 1 ) dan ( 4 ) Perpres No. 71 tahun 2012 yang berbunyi : " Besarnya Nilai
Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dijadikan dasar musyawarah untuk
menetapkan Ganti Kerugian " .
Terhadap dalil yang diuraikan oleh Pemohon diatas,
kutipan Pemohon terhadap isi pasal 4 Perpres No. 71 tahun 2012 tersebut ada
yang direkayasa / dikurangi, isi yang sebenarnya adalah " Besarnya Nilai Ganti Kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk Ganti
Kerugian " dan bukan untuk menetapkan besarnya ganti kerugian" ;
5.
Bahwa berdasarkan pasal 31 ayat
( 1 ) Undang — Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan"Lembaga Pertanahan menetapkan
penilai sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang — Undangan" dan berdasarkan pasal 32 ayat ( 1 ) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan ," penilai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 31 ayat (1) wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah
dilaksanakan " ;
6.
Bahwa
berdasarkan pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
disebutkan:" Penilai adalah orang
perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat
izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan
untuk menghitung nilai / harga obyek pengadaan tanah" ;
7.
Bahwa
berdasarkan Pasal 66 ayat ( 2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
disebutkan" Nilai Ganti kerugian sebagaimana pada ayat ( 1 ), merupakan nilai tunggal
untuk bidang per bidang tanah ".
Sehingga menurut hemat Kami tidak ada musyawarah untuk menentukan besarnya
nilai ganti rugi tanah karena kewenangan mengenai nilai ganti rugi tanah
telah ditetapkan oleh penilai ;
8.
Bahwa
isi keberatan yang disampaikan pemohon, yang meminta agar termohon membayar
ganti kerugian tanah
seluas 300 M2 dengan jumlah
uang sebesar Rp. 80.899.000 ( Delapan Puluh Juta Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah
), menurut Kami sangatlah tidak masuk akal dan mengada - ngada;
9.
Bahwa
nilai ganti kerugian berupa uang sejumlah Rp. 12.300.000 ( Dua Belas Juta Tiga
Ratus Ribu Rupiah ) untuk
tanah seluas 300 M2 adalah
sudah wajar dan sepantasnya, yang merupakan hasil penilaian oleh penilai dan pembayaran ganti
kerugian dibayarkan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah sesuai Pasal 76 ayat ( 2 ) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
10.
Bahwa
menurut fakta yang Kami dapat, Pemohon hanya memperoleh tanah seluas 300 M2 tersebut dengan nilai uang sejumlah Rp. 8.170.000 ( Delapan
Juta Seratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah ), hal tersebut berdasarkan
Akta Pengoperan Hak No. 30 tanggal 5 Desember 2012;
11.
Bahwa
dalam proses menentukan besarnya nilai ganti kerugian di atas tanah Pemohon
tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab Penilai (
Toto Suharto dan rekan ), hal tersebut berdasarkan
" Pasal 63 angka 1 Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah
Bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang disebutkan " Penetapan besarnya nilai ganti
kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa
penilai atau penilai publik" sehingga menurut Kami nilai
ganti kerugian tersebut sudah wajar dan sepantasnya;
12.
Bahwa
berdasarkan daftar persetujuan besarnya nilai ganti kerugian pengadaan tanah
Jalan Tol Palembang —
lndralaya, Desa lbul Besar I sebanyak 99 orang, hanya Pemohon yang berkeberatan
besarnya nilai ganti
kerugian yang ditetapkan Penilai;
13.
Bahwa
menurut hemat Kami Permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon "
kurang pihak", seharusnya
Pemohon juga mengajukan Permohonan Keberatan kepada Penilai ( Toto Suharto
& rekan ) dan
instansi yang memerlukan tanah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia
Berdasarkan dalil - dalil tersebut
diatas, mohon kiranya Majelis Hakim yang Kami muliakan agar kiranya berkenan memutuskan dalam putusannya
sebagai berikut ;
- Menolak permohonan keberatan dari Pemohon;
- Menyatakan sah dan tidak cacat hukum penilaian ganti kerugian yang ditetapkan termohon pada tanggal 6 Desember 2014
- Membebankan Pemohon untuk membayar biaya yang timbul dari perkara ini;
Demikian, mohon kiranya Majelis Hakim
dapat menjatuhkan putusan yang seadil – adilnya.
Menimbang, bahwa Pemohon
mengajukan bukti surat berupa Photocopy yang telah diberi materai
secukupnya yang terdiri dari :
1. Photocopy sesuai dengan aslinya surat
keterangan jual beli tanah antara Usman Bin Zainal selaku pihak penjual dan M.
Surip selaku pihak pembeli tertanggal 6 Mei 2009, selanjutnya oleh Pemohon
diberi tanda P-1 ;
2. Photocopy sesuai dengan aslinya Salinan
Akta Pengoperan USMAN BIN ZAINAL dengan M. SURIP Nomor 30 tanggal 5 Desember
2012 yang dibuat dihapan Notaris dan PPAT Romeo, SH, selanjutnya oleh Pemohon
diberi tanda P-2 ;
3. Photocopy sesuai dengan aslinya Undangan
musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah jalan Tol
Palembang-Indralaya tertanggal 29
Nopember 2013 Nomor : 877/2.12/10/XI/2013 yang ditandatangani oleh ASNAWATI, SH
selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, selanjutnya oleh Pemohon diberi tanda
P-3 ;
4. Photocopy sesuai dengan aslinya Penilaian
Ganti Kerugian Tanah Ruas Tol Palembang-Indralaya terletak di beberapa Desa,
Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir dari kantor Toto Suharto & Rekan,
selanjutnya oleh Pemohon diberi tanda
P-4 ;
Menimbang, bahwa Termohon
mengajukan bukti surat berupa Photocopy yang telah diberi materai
secukupnya yang terdiri dari :
1. Photocopy sesuai dengan aslinya Undangan
musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah jalan Tol
Palembang-Indralaya tertanggal 29
Nopember 2013 Nomor : 877/2.12/10/XI/2013 yang ditandatangani oleh ASNAWATI, SH
selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi
tanda T-1 ;
2. Photocopy sesuai dengan aslinya Daftar
Tanda Terima Undangan Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan
Tanah Pembangunan Jalan Tol Palembang - Indralaya Desa Ibul Besar I,
selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-2 ;
3. Photocopy sesuai dengan aslinya Daftar
Hadir Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Pembangunan
Jalan Tol Palembang - Indralaya Desa Ibul Besar I, selanjutnya oleh Kuasa
Termohon diberi tanda T-3 ;
4. Photocopy dari photocopy Salinan Akta
Pengoperan antara USMAN BIN ZAINAL dengan M. SURIP Nomor 30 tanggal 5 Desember
2012 yang dibuat dihapan Notaris dan PPAT Romeo, SH, selanjutnya oleh Kuasa
Termohon diberi tanda T-4 ;
5. Photocopy sesuai dengan aslinya Laporan
Penilaian Tanah Jalan Tol Palembang-Indralaya oleh Toto Suharto dan Rekan,
selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-5 ;
6. Photocopy sesuai dengan aslinya Berita
Acara Kesepakatan bentuk ganti kerugian pengadaan tanah pembangunan jalan Tol
Palembang – Indralaya tertanggal 6 Desember 2013 Nomor :
883.a/2/16.10/XII/2013, selanjutnya oleh Kuasa Termohon diberi tanda T-6 ;
Menimbang, bahwa selain
mengajukan bukti surat, Pemohon telah mengajukan saksi-saksi untuk didengar
keterangannya di persidangan, yaitu :
1.
saksi GITA MONA
HEROBAYA, SH. ALIAS GITO, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya
sebagai berikut :
-
bahwa yang saksi
ketahui sehubungan dengan permohonan keberatan ini adalah saksi pernah diajak
oleh Pemohon untuk menghadiri undangan musyawarah masalah ganti rugi tanah
untuk pembangunan jalan tol Palembang-Indralaya, yaitu pada hari Jumat, tanggal
6 Desember 2013 jam 14.00Wib bertempat di Aula Kecamatan Pemulutuan Kabupaten
Ogan Ilir;
-
waktu itu saksi
diminta sebagai pendamping pemohon oleh Pemohon karena Pemohon tidak mengerti,
yang hadir ada Sekda Ogan Ilir yang diwakili stafnya, Camat, Tim Penaksir
Tanah, dan para pemilik lahan kurang lebih 40 s/d 60 orang diantaranya Pak
Hasanudin;
-
Tanah Pemohon yang
terkena pembebasan lahan pada kavling 151, luas kurang lebih 300 M2, ukuran 20
meter x 15 meter;
-
bahwa pada waktu
rapat itu disepakati antara Panitia Pengadaan Tanah dengan Pemilik lahan bentuk
ganti ruginya adalah berupa uang;
-
bahwa yang
dipermasalahkan oleh Pemohon adalah nilai ganti ruginya yang terlalu kecil,
yaitu sebesar R.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
-
bahwa nilai ganti
kerugian yang diterima Pemohon tersebut bukan keputusan musyawarah tetapi pengarahan
karena pada waktu rapat para pemilik lahan tidak diajak musyawarah, namun
secara tiba-tiba para pemilik tanah yang hadir langsung diberikan amplop
tertutup yang isinya berupa nilai ganti rugi yang mereka terima jadi bukan
win-win solution;
-
setahu saksi sampai
saat ini hanya Pemohon yang mengajukan keberatan;
-
bahwa menurut saksi
ganti rugi yang pantas diterima oleh Pemohon adalah Rp.200.000,- sampai
250.000,- per meter, hal ini sesuai dengan harga pasaraan dan perdagangan,
sedangkan yang ditawarkan panitia hanya Rp.41.000,- per meter;
-
bahwa letak tanah
Pemohon lebih kurang 7 ratus meter dari jalan raya Palembang Indralaya;
-
bahwa saksi
mengetahui harga pasaran di daerah itu karena saksi sehari-hari berprofesi
sebagai wiraswasta yang bergerak dalam bidang makelar tanah;
-
setelah Tim
pembebasan tanah menyerahkan amplop yang berisi nilai ganti rugi, Ketua Tim
sempat menyampaikan bahwa siapa yang merasa keberatan dapat mengajukan
keberatan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
dan pihak yang setuju dapat mengambil uangnya di Pejabat Pembuat komitmen
Panitia Pengadaan Tanah Jalan Tol Palembang-Indralaya di Palembang;
-
bahwa saksi
membenarkan bukti P-4 berupa Penilaian Ganti Kerugian Tanah Ruas Tol
Palembang-Indralaya terletak di beberapa Desa, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten
Ogan Ilir dari kantor Toto Suharto & Rekan yang diterima oleh Pemohon dari Panitia pada waktu rapat;
2.
saksi SARJONO, di
bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-
bahwa saksi tahu Pemohon mengajukan keberatan terhadap nilai
ganti rugi tanah yang ditawarkan oleh pihak Termohon untuk keperluan
pembangunan jalan tol Palembang-Indralaya karena nilainya terlalu kecil
-
bahwa nilai yang
wajar menurut saksi yang seharusnya diterima oleh Pemohon antara Rp.200.000 s/d
Rp.250.000,- per meter, sesuai dengan pasaran harga tanah di kawasan tersebut;
-
bahwa saksi tahu
harga pasaran tanah di kawasan tersebut karena saksi berprofesi sebagai makelar
tanah dan saki pernah bertransaksi dengan pembeli tanah tetapi tidak satu
lokasi dengan tanah Pemohon namun masih dalam satu desa;
-
menurut saksi kalau
harga pasaran tanah di lokasi tempat Pemohon dengan luas tanah 300 M2 antara
Rp.100.000,- s/d 150.000,-;
-
saksi tahu Pemohon
membeli tanah tersebut secara kredit senilai Rp.15.000.000,- (lima belas juta
rupiah);
-
kondisi tanah
Pemohon di daerah rawa-rawa kalau lagi surut bisa ditanami padi, tapi kalau
sedang pasang tidak bisa;
-
jarak tanah Pemohon
dengan jalan raya Palembang-Indralaya lebih kurang 3 kilometer;
Menimbang, bahwa demikian juga Termohon,
selain mengajukan bukti surat, Tergugat mengajukan saksi-saksi untuk didengar
keterangannya di persidangan, yaitu :
1.
saksi DAMIRI, di
bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-
bahwa saksi ada
mempunyai lahan yang ikut dibebaskan oleh Termohon, sebanyak 4 (empat) kavling
yaitu kavling 29, 30, 31 dan 34;
-
tanah saksi diganti
rugi oleh Termohon untuk 1 (satu) kavling luasnya 300 M2, senilai
Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah);
-
saksi tidak
keberatan terhadap nilai ganti kerugian tersebut dan saksi sudah menerima pembayaran
dari Termohon;
-
bahwa sebelum
dilakukan ganti rugi oleh Termohon ada dilakukan musyawarah terlebih dahulu dan
sempat dipertemukan dengan Tim Penilai Ganti Rugi Tanah;
2.
saksi H. HASANUDIN
ALI, SH.MH, di bawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
-
bahwa saksi ada
mempunyai lahan yang ikut dibebaskan Termohon berada satu kawasan dengan tanah
Pemohon yaitu seluas satu kapling lebih sekira 339 M2 dan mendapatkan ganti kerugian senilai Rp.13.899.000,-
-
bahwa saksi dulu
membeli tanah tersebut satu kavling seharga Rp.9.000.000,-;
-
bahwa saksi tidak
keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan Termohon;
-
bahwa saksi belum
menerima pembayaran dari Termohon karena pembayaran melalui rekening dan
sekarang saksi baru akan membuat buku rekening dulu;
-
bahwa Tim Penilai
ganti rugi yang menentukan besar kecilnya nilai ganti rugi terhadap tanah yang
akan dilakukan pembebasn;
-
bahwa sebelum
dilakukan ganti rugia ada dilakukan musyawarah terlebih dahulu dan Tim
Pembebasan lahan ada mengatakan kepada pemilik lahan apabila keberatan terhadap
nilai ganti rugi yang ditentukan oleh Panitia dapat mengajukan keberatan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja ke Pengadilan Negeri Kayuagung;;
-
bahwa setahu saksi
tidak ada yang keberatan terhadap nilai ganti rugi kecuali Pemohon;
Menimbang,
bahwa Termohon mengajukan ahli untuk didengar keterangannya di persidangan,
yaitu :SYAEFUL RADIAN, N., SH., di bawah sumpah/janji memberikan pendapat
sebagai berikut :
-
bahwa ahli
adalah anggota Tim Penilai Pembebasan lahan dari Kantor Toto Suharto dan Rekan,
saksi mempunayi keahlian dalam bidang penilai pembebasan lahan dan mempunyai
sertifikasi penilaian terhadap lahan yang dikeluarkan oleh MAPPI (Masyarakat
Profesi Penilai Indonesia);
-
bahwa sebelum
tim pembebasan lahan melakukan ganti rugi terhadap pemilik lahan, pihak Tim
Penilai melakukan penilaian terhadap tanah yang akan dilakukan pembebasan dan
setelah itu Tim Penuilai membuat laporan ke Tim Pembebasan Lahan, kemudian Tim
Pembebasan melakukan musyawarah dengan pemilik lahan dengan berpedoman laporan
Tim Penilai untuk melakukan ganti kerugian;
-
Nilai ganti
kerugian berbeda-beda tergantung bidang tanah yang dinilai;;
-
Cara Tim
Penilai menetapkan besar kecilnya ganti rugi lahan yang akan dibebaskan yaitu
pertama Tim Penilai mengambil sampling obyek terdahulu baru bisa menentukan
nilai ganti ruginya;
-
bahwa yang
dijadikan dasar untuk menetapkan nilai ganti kerugian terhadap lahan yang
dibebaskan berdasarkan UU No.2 Tahun 2012 , antara lain :
1. Data Pasar, yaitu data nilai pergantian wajar
setara dengan nilai ganti kerugian yang variabelnya tergantung lokasi dan
nilai-nilai lainnya;
2. Nilai transaksi;
3. Biaya untuk ganti lokasi baru;
4. Loss Profit (usaha);
5. Solatium (keikhlasan) melepaskan haknya untuk
kepentingan umum;
- bahwa NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tidak dipakai
lagi sebagai dasar menentukan besar kecilnya nilai ganti rugi;
- bahwa untuk mendapatkan nilai pasar, saksi lakukan
dengan cara mencari, survei dan melihat harga pengeceran tanah;
- bahwa untuk harga tanah Pemohon, Tim Penilai memberikan harga
Rp.41.000 (empat puluh satu ribu rupiah) per meter, karena harga pasaran tanah
dilokasi tersebut rata-rata per meternya Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah);
- Nilai ganti rugi tanah Pemohon menjadi
Rp.41.000,-/meter karena dihitung dari nilai pasaran tanah ditambah biaya PBHTB
(biaya perolehan hak) sebesar 6 %, ditambah biaya untuk mencari lahan pengganti
sebesar 2,5 % dari nilai pasar dan ditambah nilai solatium (keikhlasan
melepaskan tanah);
- bahwa acuan penilaian tersebut berdasarkan Standar Penilaian Indonesia;
Menimbang, bahwa pada akhirnya para pihak menyatakan bahwa mereka tidak akan
mengajukan apa-apa lagi dalam perkara ini kemudian Pemohon mengajukan
kesimpulan pada persidangan tanggal 15 Januari 2014, sedangkan Termohon
mengajukan kesimpulan pada persidangan tanggal 23 Januari 2014, yang pada
pokoknya memohon dijatuhkan putusan ;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat
uraian tentang duduk perkara maka hal-hal sebagaimana tercantum dalam
berita acara persidangan secara mutatis mutandis dianggap telah termuat pula
dalam putusan ini;
TENTANG
PERTIMBANGAN HUKUM :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan
permohonan Pemohon adalah sebagaimana terurai di atas;
Menimbang, bahwa Permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, yaitu keberatan terhadap penilaian ganti kerugian
tanah ruas tol Palembang-Indralaya, dan meminta pengadilan untuk menetapkan
sebagai hukum agar Termohon membayar nilai ganti kerugian tanah dan kerugian lain
yang dialami Pemohon total sejumlah Rp.80.899.000,- (delapan puluh juta delapan
ratus delapan puluh sembilan puluh sembilan ribu rupiah) dan menyerahkan kepada
Pemohon;
Menimbang, bahwa tidak semua permohonan dapat diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, pengadilan negeri hanya berwenang untuk
memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu
peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi (buku pedoman Pelaksanaan Tugas
Administrasi Pengadilan, Buku II), sehingga dalam hal ini sebelum
mempertimbangkan materi pokok permohonan ini, terlebih dahulu pengadilan akan
mempertimbangkan apakah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan
mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
menyatakan dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat
belas hari) kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian;
Menimbang, bahwa meskipun dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun 2012 tidak
menyebutkan jenis perkara untuk
keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang
diajukan ke pengadilan negeri apakah
jenis gugatan atau jenis permohonan tetapi mengingat akan waktu yang diberikan undang-undang dalam Pasal 38
ayat (2) UU No.2 tahun 2012 Jo. Pasal 73 ayat (2) Perpres No.71 Tahun 2012
untuk pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
keberatan dan mengingat upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang
keberatan terhadap putusan pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 38
ayat (3) UU No.2 Tahun 2012 Jo. Pasal 73 ayat (3) Perpres No.71 Tahun 2012
yaitu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, maka dengan alasan tersebut pengadilan
telah meregister perkara keberatan terhadap kesepakatan
mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian seperti yang diajukan oleh Pemohon ini di bawah register jenis perkara
Permohonan;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 38
ayat (1) UU No. 2 Tahun 20012 dan Pasal 73 ayat (1) Perpres No.71 Tahun 2012
tersebut di atas, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan/menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa selanjutnya
pengadilan akan mempertimbangkan materi pokok permohonan Pemohon apakah
permohonan Pemohon dikabulkan atau ditolak, dengan mempertimbangkan dalil-dalil
permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, serta memperhatikan
jawaban dari Termohon dan bukti-bukti yang diajukan oleh Termohon;
Menimbang, bahwa sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap
penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang-Indralaya, dan meminta
pengadilan untuk menetapkan sebagai hukum agar Termohon membayar nilai ganti
kerugian tanah dan kerugian lain yang dialami Pemohon total sejumlah
Rp.80.899.000,- (delapan puluh juta delapan ratus delapan puluh sembilan puluh
sembilan ribu rupiah) dan menyerahkan kepada Pemohon;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon
tersebut didasarkan kepada dalil bahwa tidak ada musyawarah untuk mencapai
kesepakatan dalam menetukan nilai ganti kerugian antara Termohon dengan para
pemilik lahan termasuk dengan Pemohon, dengan kata lain nilai ganti kerugian ditetapkan
sepihak oleh Termohon, Pemohon hanya menerima penawaran nilai ganti kerugian
dalam amplop tertutup dan setelah dibuka berisi jumlah nilai ganti kerugian
tanah milik Pemohon tertulis nominal Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus
ribu rupiah);
bahwa nilai ganti kerugian sebesar Rp.12.300.000,-
(dua belas juta tiga ratus ribu rupiah) tersebut tidak faktual, tidak rasional
dan tidak beralasan karena Termohon tidak memperhatikan harga pasaran tanah di
lokasi setempat, Termohon hanya mendasarkan penilaian ganti kerugian dari bukti
kepemilikan tanah milik Pemohon, Termohon tidak memperhatikan sulitnya Pemohon
mendapatkan tanah tersebut secara kredit seharusnya kerugian yang dialami
pemohon dirinci dihitung dari harga tanah berdasarkan harga beras, benda yang
berkaitan dengan tanah yaitu biaya penanaman patok cor, dan kerugian lain yang
dapat dinilai yaitu kerugian administrasi dan transportasi dalam mengantarkan
angsuran, kerugian pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta kerugian
kegagalan untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga tanah;
Menimbang, bahwa Termohon dalam
jawabannya mengemukakan dalil pada pokoknya bahwa musyawarah untuk mencapai
kesepakatan telah dilakukan antara Termohon dengan para pemilik lahan, termasuk
Pemohon yaitu mengenai kesepakatan bentuk ganti kerugian yaitu berupa uang,
sedangkan untuk menentukan besarnya ganti kerugian memang tidak dimusyawarahkan
karena kewenangan mengenai nilai ganti kerugian telah ditetapkan oleh Penilai
dan menurut Pemohon besarnya ganti kerugian untuk Pemohon sebesar
Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus ribu rupiah) sudah wajar dan pantas;
bahwa dari 99 orang yang berhak
mendapatkan ganti kerugian, hanya Pemohon yang mengajukan keberatan besarnya
nilai ganti kerugian;
bahwa permohonan Pemohon kurang pihak
seharusnya Pemohon juga mengajukan keberatan kepada Penilai dan instansi yang
memerlukan tanah yaitu Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan
Umum Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa Pemohon dalam
mendukung dalil permohonannya telah mengajukan 4 (empat) buah bukti surat yang
diberi tanda P-1 sampai dengan P-4, dan mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu
saksi GITA MONA HEROBAYA ALIAS GITO, dan saksi SARJONO, sedangkan Termohon
untuk mendukung dalil bantahannya telah mengajukan 6 (enam) buah bukti surat
yang diberi tanda T-1 sampai dengan T-6 dan mengajukan 2 (dua) orang saksi
yaitu saksi DAMIRI dan saksi H.HASANUDIN ALI, SH.MH., serta mengajukan satu
orang ahli Penilai yaitu SAEFUL RADIAN N., SH.;
Menimbang, bahwa dari jawab jinawab
tersebut, pengadilan harus menentukan sikap terlebih dahulu terhadap terhadap
beberapa pemahaman yang berbeda antara Pemohon
dengan Termohon, sebagai landasan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan
yaitu mengenai perlu tidaknya musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai
besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah dan mengenai pihak yang ditarik
sebagai Termohon dalam perkara keberatan terhadap kesepakatan bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah;
Menimbang, bahwa mengenai perlu
tidaknya musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai besarnya ganti kerugian
dalam pengadaan tanah, baik dalam UU No.2 Tahun 2012 maupun Perpres No.71 Tahun
2012 telah ditentukan bahwa nilai ganti kerugian adalah berdasarkan hasil
penilaian Penilai, kemudian terjadi perbedaan antara UU No.2 tahun 2012 dengan
Perpres No.71 Tahun 2012 dalam hal penggunaan nilai ganti kerugian di dalam
musyawarah antara Pelaksana Pengadaan Tanah dengan pihak yang berhak, yaitu di dalam
Pasal 34 ayat (3) UU No.2 Tahun 2012 ditentukan bahwa nilai ganti kerugian
berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian, sedangkan di dalam Pasal 66 ayat (4) Perpres No.71 Tahun 2012
ditentukan bahwa besarnya nilai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dijadikan
dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk ganti kerugian, sehingga melihat
ketentuan dalam Perpres tersebut, musyawarah hanya dilakukan untuk menentukan
bentuk ganti kerugian, bukan menentukan besarnya ganti kerugian tetapi dalam
hal ini, pengadilan bersikap sesuai asas hierarki perundang-undangan yang
menentukan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan
perundang-undangan yang lebih rendah maka menurut pengadilan musyawarah penetapan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UU No.2 tahun 2012 meliputi
musyawarah untuk mencapai kesepakatan bentuk ganti kerugian dan musyawarah
untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU No.2 Tahun
2012 yang menentukan bahwa musyawarah dilakukan untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian yang
dituangkan dalam berita acara kesepakatan, dan juga ketentuan dalam Pasal 38
ayat (1) UU NO.2 tahun 2012 yang menjadi dasar kewenangan pengadilan memutus
perkara keberatan terhadap kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian;
Menimbang, bahwa mengenai pihak yang
ditarik sebagai Termohon dalam perkara keberatan terhadap kesepakatan mengenai
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah, pengadilan
berpendapat cukup dengan menarik Pelaksana Pengadaan Tanah, dalam hal ini
diwakili oleh Ketuanya sebagai Termohon dengan pertimbangan bahwa Pengadaan
Tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil sebagaimana disebutkan dalam Pasal
13 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 2 Perpres No.71 Tahun 2012, dan keberatan terhadap
kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.2 tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71
Tahun 2012 terjadi pada tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab
Pelaksana Pengadaan Tanah;
Menimbang, bahwa Pemohon telah
mendalilkan tentang tidak adanya musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam
menentukan nilai ganti kerugian antara Pemohon dengan para pemegang hak
diantaranya Pemohon;
Menimbang, bahwa saksi GITA MONA
HEROBAYA, SH ALIAS GITO yang menerangkan bahwa nilai ganti kerugian yang
diterima Pemohon tersebut bukan keputusan musyawarah tetapi pengarahan karena
pada waktu rapat para pemilik lahan tidak diajak musyawarah, namun secara
tiba-tiba para pemilik tanah yang hadir langsung diberikan amplop tertutup yang
isinya berupa nilai ganti rugi yang mereka terima jadi bukan win-win solution, sesuai
pula dengan bukti P-3 berupa undangan musyawarah penetapan bentuk ganti
kerugian pengadaan tanah jalan tol Pelembang Indralaya;
Menimbang, bahwa dalil Pemohon
tersebut telah dibenarkan oleh Termohon dengan mengatakan bahwa untuk
menentukan besarnya ganti kerugian memang tidak dimusyawarahkan karena
kewenangan mengenai nilai ganti kerugian telah ditetapkan oleh Penilai;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini
pengadilan telah menentukan sikap bahwa musyawarah penetapan ganti kerugian
meliputi musyawarah untuk mencapai kesepakatan bentuk ganti kerugian dan
musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian;
Menimbang, bahwa telah menjadi fakta bahwa
dalam pengadaan tanah untuk ruas tol Palembang-Indralaya telah terjadi
musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentu ganti kerugian yaitu
berupa uang, yang diakui oleh para pihak dan dibenarkan oleh seluruh saksi di
persidangan;
Menimbang, bahwa yang menjadi
persoalan adalah apakah ada musyawarah untuk mencapai kesepakatan besarnya
ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk ruas tol Palembang-Indralaya?
Menimbang, bahwa musyawarah untuk
mencapai kesepakatan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah menurut
pengadilan tidak diartikan sebagai proses tawar menawar antara Pelaksana
Pengadaan Tanah berhadapan satu persatu dengan pemegang hak melainkan harus
diartikan tercapainya kesepakatan tersebut apabila disetujui oleh mayoritas pemegang;
Menimbang, bahwa dengan demikian fakta
pemberian amplop tertutup dari Pelaksana
Pengadaan Tanah yang isinya berupa nilai ganti rugi yang diterima oleh para
pemegang hak, yang menurut Pemohon bukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan
dan didukung keterangan saksi GITA MONA
HEROBAYA, SH ALIAS GITO maupun dibenarkan oleh Termohon, menurut pengadilan
pemberian amplop tertutup yang diterima oleh para pemegang hak merupakan salah
satu bentuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan, yang terpenting apakah
mayoritas para pemegang hak dapat menyetujui dan menerima penawaran tersebut
sehingga tercapai kesepakatan besarnya ganti kerugian yang akan mereka terima
masing-masing;
Menimbang, bahwa undang-undang juga
telah memberikan keseimbangan keadilan terhadap pihak minoritas yang tidak
sepakat terhadap besarnya ganti kerugian yaitu dengan memberikan upaya hukum
melalui pengajuan keberatan ke pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal
38 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini,
ternyata sebagaimana didalilkan oleh Termohon bahwa dari 99 orang yang berhak
mendapatkan ganti kerugian, hanya Pemohon yang mengajukan keberatan besarnya
nilai ganti kerugian, hal ini sesuai juga dengan keterangan saksi DAMIRI, saksi
H. HASANUDIN ALI, SH.MH., masing-masing mereka mempunyai tanah yang terkena
proyek pengadaan tanah ruas tol Palembang-Indralaya tetapi meraka tidak
mengajukan keberatan terhadap kesepakatan besarnya ganti kerugian, serta
dikuatkan oleh bukti T-1, bukti T-2 dan bukti T-3 yang membuktikan adanya
musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian serta bukti T-6 berupa Berita Acara
Kesepakatan bentuk ganti kerugian;
Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan
bahwa nilai ganti kerugian terhadap tanah Pemohon sebesar Rp.12.300.000,- (dua
belas juta tiga ratus ribu rupiah) tersebut tidak faktual, tidak rasional dan
tidak beralasan dan menurut Pemohon yang adil adalah sebesar Rp.80.899.000,-
(delapan puluh juta delapan ratus delapan puluh sembilan puluh sembilan ribu
rupiah);
Menimbang, bahwa Pemohon juga telah
merinci dan menghitung kerugian yang
dialami oleh Pemohon dalam surat permohonannya meliputi dihitung dari harga
tanah berdasarkan harga beras, benda yang berkaitan dengan tanah yaitu biaya
penanaman patok cor, dan kerugian lain yang dapat dinilai yaitu kerugian
administrasi dan transportasi dalam mengantarkan angsuran, kerugian
pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta kerugian kegagalan untuk mendapatkan
nilai tambah dari kenaikan harga tanah;
Menimbang, bahwa saksi GITA MONA
HEROBAYA, SH ALIAS GITO telah menerangkan bahwa harga tanah pemohon sekitar
Rp.200.000,- sampai dengan 250.000,- per meter, dan saksi SARJONO telah
menerangkan harga tanah Pemohon sekitar Rp.100.000,- sampai dengan Rp.150.000,-
per meter;
Menimbang, bahwa dari bukti P-1 dan
P-2 diketahui bahwa Pemohon adalah pemegang hak atas tanah dan harga pembelian
tanah oleh Pemohon sebesar Rp.8.170.000,- (delapan juta seratus tujuh puluh
ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dari bukti P-4 berupa
penilaian ganti kerugian tanah ruas tol Palembang Indralaya membuktikan bahwa
Pemohon telah menerima penilaian sebesar Rp.12.300.000,- (dua belas juta tiga ratus
ribu rupiah);
Menimbang, bahwa terhadap dalil dan
bukti Pemohon tentang besarnya ganti kerugian yang seharusnya diterima oleh
Pemohon, pengadilan berpendapat bahwa sesuai penjelasan pasal 38 ayat (2) UU
No.2 tahun 2012 yang menentukan bahwa sebagai pertimbangan dalam memutus
putusan atas besaran ganti kerugian, pihak yang berkepentingan dapat
menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar pendapatnya sebagai
pembanding atas penilaian ganti kerugian, dalam perkara ini pihak
berkepentingan yaitu Pemohon tidak menghadirkan saksi ahli melainkan
menghadirkan saksi-saksi yang berprofesi sebagai makelar tanah yaitu saksi GITA
MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO dan saksi SARJONO;
Menimbang, bahwa dalam pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan publik, seperti pengadaan tanah untuk ruas
tol Palembang-Indralaya dalam perkara ini, undang-undang telah menentukan bahwa
nilai ganti kerugian ditentukan oleh Penilai atau Penilai Publik, yang dimaksud
dengan Penilai Pertanahan atau disebut Penilai adalah orang perseorangan yang
melakukan penilaian secara indipenden dan profesional yang telah mendapat ijin
praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari BPN
untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah, sedangakan yang dimaksud
dengan Penilai Publik adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menetri
Keuangan untuk memberikan jasa penilaian sebagaimana djelaskan dalam ketentuan
Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Perpres No.71 Tahun 2012;
Menimbang, bahwa dengan demikian meskipun
saksi GITA MONA HEROBAYA, SH ALIAS GITO telah menerangkan bahwa harga tanah
pemohon sekitar Rp.200.000,- sampai dengan 250.000,- per meter, dan saksi
SARJONO telah menerangkan harga tanah Pemohon sekitar Rp.100.000,- sampai
dengan Rp.150.000,- per meter tetapi oleh karena mereka hanya berprofesi sebagai
makelar tanah dan bukan berprofesi sebagai Penilai Pertanahan atau Penilai Publik maka keterangan mereka
tentang penilaian harga tanah Pemohon harus dikesampingkan;
Menimbang, bahwa hukum tanah nasional
mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan
dengan tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada negara
berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan, mengadakan
pengelolaan, serta menyelenggarakan
pengawasan, demikian pula dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
merupakan fungsi negara dalam mengadakan pengelolaan terhadap tanah yang harus
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikut sertaan, kesejahteraan, berkelanjutan, dan
keselarasan;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini,
penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah ruas tol Palembang-Indralaya
telah dilakukan sesuai oleh Penilai dari kantor TOTO SUHARTO & REKAN,
Business & Property Valuer Lisense No.2.09.0055, sesuai dengan bukti
P-5,sehingga menurut pengadilan pelaksanaan pengadaan tanah ruas tol Palembang
–Indralaya khususnya mengenai nilai ganti kerugian telah dilaksanakan sesuai
hukum dan undang-undang;
Menimbang, bahwa mengenai tidak
ditariknya Penilai TOTO SUHARTO & REKAN dan instansi yang memerlukan tanah
yaitu Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia sebagai pihat Termohon menurut pengadilan tidak menyebabkan kurang
pihak, sebagaimana telah menjadi sikap pengadilan bahwa keberatan terhadap
kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.2 tahun 2012 dan Pasal 73 Perpres No.71
Tahun 2012 terjadi pada tahap pelaksanaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab
Pelaksana Pengadaan Tanah;
Menimbang, bahwa terhadap penyangkalan atas pembuktian dalam perkara ini, pengadilan mengacu pada
pembuktian yang mutatis mutandis telah dipertimbangkan di atas ;
Menimbang, bahwa tentang dalil-dalil dan alat alat bukti lain yang tidak relevan dalam
perkara ini,
pengadilan mengesampingkannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, pengadilan berkesimpulan Pemohon
gagal membuktikan dalil permohonannya sedangkan Termohon berhasil
mempertahankan dalil jawabannya, oleh karena itu pengadilan harus menyatakan
menolak permohonan pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa mengenai biaya
perkara, oleh karena perkara permohonan bersifat volunter maka menurut hukum
biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon;
Mengingat Pasal
38 UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dan Pasal 73 Perpres No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum serta undang undang dan
segala peraturan yang bersangkutan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I :
-
Menolak Permohonan Pemohon tersebut;
-
Menghukum Pemohon
untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
Demikianlah diputuskan dalam rapat Pemusyawaratan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kayuagung pada hari : .....................................................
oleh kami SOBANDI,
SH.MH., Hakim Ketua Majelis, FITRIA SEPTRIANA, SH., dan
H.JEILY SYAHPUTRA, SH.SE.MH., Masing-masing sebagai Hakim Anggota, Putusan tersebut diucapkan
dalam Persidangan yang terbuka
untuk umum pada hari :
..................................................................., oleh Majelis Hakim
tersebut tersebut dengan
dibantu ABU BAKRI, SH., sebagai Panitera Pengganti,
dihadiri Pemohon dan kuasa Termohon .
HAKIM – HAKIM ANGGOTA. HAKIM KETUA MAJELIS,
FITRIA SEPTRIANA, SH. SOBANDI, SH.MH.
H.JEILY SYAHPUTRA, SH.SE.MH.
PANITERA PENGGANTI
ABU BAKRI, SH.
Langganan:
Postingan (Atom)