Jumat, 08 Februari 2019

LIMITASI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA

PIDATO ILMIAH
LIMITASI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM RANGKA PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM DI BIDANG PERNIAGAAN
OLEH:
Dr. SOBANDI, S.H., M.H. PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Pidato Ilmiah disampaikan pada:
Pelantikan Sarjana Hukum, Magister Hukum, dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
(SELASA, 12 FEBRUARI 2019)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019
 
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yth. Rektor Universitas Sriwijaya
Yth. Dekan sekaligus selaku Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Unsur Pimpinan Fakultas Hukum (WD I, WD II, WD III).
Yth. Segenap Anggota Senat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Yth. Ketua Ikatan Alumni (IKA) Fakultas Hukum Universitas Siwijaya
Yth. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Yth. Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Yth. Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Yth. Para Ketua Bagian, Ketua Unit, Kepala Bagian dan Kepala sub Bagian dalam Lingkungan FH Unsri.
Yth. Segenap Dosen dan Karyawan FH Unsri
Yth. Ketua dan Anggota Pengurus Dharma Wanita Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya Organisasi Kemahasiswaan
Yth. Ketua dan Anggota Pengurus BEM, HIMAS, Wigwam, Alsa, Ramah, Olympus, LPM dan Themis Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya
Yth. Orang Tua dan Keluarga Besar Wisudawan/wati Serta yang Saya Hormati Para Wisudawan/wati FH, MH, MKn.
Pertama-tama, sebagai bentuk rasa syukur yang tiada terhingga, marilah kita bersama-sama mengucapkan Alhamdulillahirabbilalamin, Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam, yang atas perkenan-Nya lah, pada hari yang sangat istimewa ini, kita semua dapat menghadiri suatu acara yang begitu sakral, yaitu Upacara Pelantikan

Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, dan Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat dan salam tiada hentinya kita sampaikan kepada suri tauladan kita, Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman. Atas kegigihan dan kesabaran beliau, sehingga kita dapat merasakan nikmat dari zaman kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang.
Suatu kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi Saya, untuk menyampaikan Pidato Ilmiah dihadapan Bapak dan Ibu sekalian dalam forum yang sangat terhormat ini. Dalam beberapa waktu ke depan, perkenankanlah saya untuk menyampaikan Pidato ilmiah yang saya beri judul: “Limitasi Kompetensi Pengadilan Niaga dalam rangka Penyelesaian Sengketa Hukum di Bidang Perniagaan”.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum atau biasa disebut dengan rechtstaat. Negara Hukum (rechtstaat) adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh hukum. Secara sederhana, negara hukum berarti negara yang menegakkan supremasi hukum dalam pelaksanaan seluk beluk kenegaraan dan pemerintahan, bukan menegakkan supremasi berdasar kekuasaan.
Salah satu unsur penting di dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia adalah kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh lembaga peradilan. Di dalam Pasal 24 UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan di bawahnya, yaitu lingkungan peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, yang mana setiap badan peradilan tersebut memiliki kompetensi dan yurisdiksinya masing-masing

secara absolut. Selain itu, pada lingkungan peradilan umum, terdapat sejumlah peradilan yang dibentuk secara khusus untuk mengakomodir beragamnya sengketa hukum yang terjadi di masyarakat dewasa ini.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati.
Salah satu bentuk pengadilan khusus di Indonesia adalah Pengadilan Niaga yang berada di bawah lingkup badan peradilan umum. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Melalui Undang-Undang, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga.
Pada tanggal 22 April 1998, Pemerintah mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- undang tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dikarenakan peraturan yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang. Salah satu perubahan terpenting dari peraturan kepailitan tersebut adalah pembentukan Pengadilan Niaga. dalam lingkup Pengadilan Negeri.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mengalami perubahan dan penyempurnaan lagi menjadi UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga tidak hanya diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tetapi juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Dengan kata lain, Pengadilan Niaga telah diberikan suatu kewenangan yang eksklusif untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan penerapan dan implementasi atas UU No. 37 Tahun 2004 ini.

Kewenangan yang luas dan ekslusif inilah yang mengantarkan saya untuk melakukan suatu penelitian tentang batasan kompetensi Pengadilan Niaga dalam penyelesaian kasus kepailitian di Indonesia. Tentu saja, penelitian ini disadari oleh suatu fakta bahwa sebagian besar masyarakat kita menganggap bahwa kepailitan itu timbul dari hutang yang tidak dapat dipenuhi oleh Debitur yang karenanya sebetulnya dapat diselesaikan pertama kali melalui ranah Pengadilan Umum. Belum lagi melihat fakta dan prediksi ke depan dimana Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah yang berhadapan dengan sengketa PERNIAGAAN harus diselesaikan melalui lembaga badan peradilan agama.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Berkaitan dengan hal tersebut, ada 2 (dua) isu penting dan relevan yang akan saya bahas lebih lanjut, yaitu yang pertama apakah kewenangan relatif Pengadilan Niaga selama ini telah efektif dalam menyelesaikan perselisihan di bidang PERNIAGAAN di Indonesia. Serta yang kedua, bagaimanakah konsepsi limitasi atau pembatasan kewenangan Pengadilan Niaga dalam penyelesaian perselisihan di bidang PERNIAGAAN di Indonesia.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Gagasan dan Cita-Cita Hukum, yang di dalam istilah Belanda disebut sebagai Idee des Recht, dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) hal, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Gustav Radburch menjelaskan bahwa ketiga elemen cita hukum ini haruslah menjadi ruh penting dalam proses penegakan hukum di masyarakat.
Terdapat banyak perbedaan pendapat yang disampaikan oleh para Ahli Hukum di bidang kepailitan ini. Secara materil perbedaan pendapat yang mencolok terletak pada unsur-unsur kepailitan dalam Pasal 2 dan secara formil pada pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kelemahan undang-undang kepailitan lainnya adalah tidak dicantumkannya jumlah kreditor minimal dan nilai minimal nominal utang. Bahkan asas kepatutan atas nilai minimal nominal utang juga tidak diatur di

dalam undang-undang sehingga tidak mengherankan jika ada putusan-putusan kepailitan menjadi kontroversial di mata masyarakat. Jika membandingkan unsur kepailitan dengan negara-negara lain yang mencantumkan nominal utang seperti di Singapura dan Hongkong yang mencantumkan nilai minimal utang, agaknya menjadi penting untuk diatur agar tidak terjadi permohonan pailit dengan nilai utang yang lebih kecil dari aset yang dimiliki debitor. Pengaturan kepailitan di Amerika Serikat selain pencantuman nilai minimal utang ketentuan jumlah kreditor juga disyaratkan, yaitu minimal 12 atau lebih.
Lebih lanjut, terdapat permasalahan sistem penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan administrasi juga ditemukan berkaitan dengan biaya perkara. Biaya perkara di Pengadilan Niaga jauh lebih besar dibandingkan dengan di peradilan perdata. Tingginya biaya berperkara menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga adalah untuk penyelesaian sengketa bagi pelaku ekonomi kuat, sementara itu bagi pelaku ekonomi lemah tidak ada perlakuan khusus dalam upaya mempejuangkan haknya, seperti halnya pada sengketa tentang HKI.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada para kreditur atas properti debitur yang digunakan sebagai pengganti pembayaran hutang debitur kepada kreditur, Pemerintah perlu melakukan suatu upaya untuk memperbaiki sistem dan aturan hukum yang berjalan saat ini, dengan mengatur kembali pemenuhan kewajiban yang diemban oleh debitur kepada kreditor dengan mencari penyelesaian yang adil, yaitu, dengan menetapkan peraturan di bidang kepailitan yang dapat digunakan dengan cepat, adil, terbuka dan efektif, dan sesuai dengan kondisi saat ini.
Dalam kaitannya dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki aturan hukum yang berjalan saat ini, perlu terlebih dahulu juga diuraikan apa yang disebut oleh Van Der Vlies sebagai asas-asas formil dan materiil dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yaitu:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang;
3. Asas keharusan/ kemendesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas kedapatlaksanaan atau dapat dilaksanakannya suatu peraturan (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat.
5. Asas konsensus (het beginsel van de consensus);
6. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek);
7. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
8. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheids beginsel);
9. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); dan
10.Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).
Kenyataannya, banyak peraturan perundang-undangan yang disusun tidak didasarkan pada prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana tersebut di atas. Bahkan, kepentingan politik, menjadi karakteristik dan cita rasa yang utama dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan, dan bukan pada aspek pembentukan hukumnya. Akibatnya, banyak aturan yang tidak dapat ditafsirkan secara jelas serta hanya di dominasi oleh kepentingan segelintir orang/kelompok dibandingkan kepentingan masyarakat secara umum.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Eksistensi Pengadilan Niaga sebagai suatu pengadilan khusus di bawah lingkungan badan peradilan umum telah sangat jelas diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Di

dalam Pasal 299 UU a quo, disebutkan bahwa Kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata. Ketentuan ini, menurut hemat saya, dapat diartikan bahwa proses sengketa pada Pengadilan Niaga dapat mengesampingkan ketentuan hukum acara perdata secara umum sepanjang teah ditentukan secara khusus di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, terdapat perbedaan dalam praktik beracara di Pengadilan Niaga dengan praktik beracara di pengadilan umum. Diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi
Berdasarkan Undang - Undang No 37 Tahun 2004, kompetensi Pengadilan Niaga adalah untuk memeriksa sengketa di bidang PERNIAGAAN diantaranya perselisihan di bidang Kekayaan Intelektual seperti perselisihan tentang Hak atas Desain Industri (UU No. 31 Tahun 2000), perselisihan tentang hak-hak Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU No. 32 Tahun 2000), Perselisihan hak cipta (UU No. 28 Tahun 2014); sengketa tentang Paten (UU No. 13 Tahun 2016); dan sengketa tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU No. 20 Tahun 2016);
2. Tidak Adanya Kewajiban Mediasi
Hal berbeda lainnya yang harus diketahui tentang penerapan hukum acara di Pengadilan Niaga adalah tidak adanya kewajiban untuk melakukan mediasi sebagaimana praktik di dalam Peradilan Umum. Mediasi bukanlah suatu kewajiban di dalam hukum acara pengadilan niaga melainkan hanya merupakan suatu pilihan dari para pihak saja, sehingga dengan tidak dilakukannya mediasi tidak akan mengakibatkan batalnya putusan pengadilan atas perkara yang bersangkutan. Hakim hanya mendorong para pihak yang bersengketa untuk berdamai. Jika para pihak tidak setuju berdamai, hakim kemudian langsung melanjutkan ke pemeriksaan perselisihan.
3. Jangka Waktu yang Spesifik dalam Setiap Proses Acara
Selanjutnya, karakteristik acara di Pengadilan Niaga adalah jangka waktu yang spesifik dalam setiap proses acara. Berdasarkan ketentuan UU No. 37 Tahun 20014,

disebutkan bahwa Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
4. Upaya Hukum Banding
Penanganan perkara dan penyelesaian sengketa menjadi relatif singkat di Pengadilan Niaga karena upaya hukum banding dipangkas dan dapat langsung upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
5. Penggunaan Hakim Ad-Hoc
Pada Pengadilan Niaga hakim ad hoc adalah seorang yang bukan berprofesi sebagai hakim, tetapi memiliki keahlian dalam menangani perkara niaga dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk ditugaskan di pengadilan. Seorang hakim ad- hoc dapat merupakan pejabat pemerintah, pengacara, akademisi hukum atau pensiunan hakim, sehingga dipandang lebih dapat meningkatkan kualitas putusan.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Pada akhirnya, sebagai kesimpulan dari Pidato Ilmiah ini, saya bermaksud menyampaikan beberapa hal penting untuk menjadi bahan perhatian kita dalam menyongsong perkembangan masyarakat kedepannya.
Yang pertama adalah bahwa dengan luasnya cakupan Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan sengketa di bidangan perniagaan, telah mengakibatkan perlunya suatu ketentuan perundang-undangan yang membatasi kompetensi dan wewenang Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sebagai sub sistem dalam kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan yang limitatif dengan karakteristik kewenangan yang berbeda dengan pengadilan umum, hal mana kewenangan pengadilan niaga secara normatif tersebar kepada beberapa regulasi baru Indonesia antara lain regulasi Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, regulasi tentang Hak kekayaan Intelektual, dan regulasi tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Pembatasan kewenangan pengadilan niaga didukung oleh suatu komponen-komponen terpadu yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengadilan niaga antara lain hakim pengawas, kurator, serta pihak lain yang terkait.
Yang kedua, kewenangan Pengadilan Niaga secara normal tersebar ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti misalnya di dalam peraturan tentang kepailitan, peraturan tentang Hak Kekayaan Intelektual dan perselisihan tentang Hak atas Desain Industri, peraturan tentang hak-hak Tata Letak Sirkuit Terpadu, peraturan tentang Paten, Merek Dagang ataupun hak cipta. Sehingga, dibutuhkan adanya kodifikasi hukum materiil dan formil yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang Pengadilan Niaga.
Yang ketiga, dalam menentukan konsepsi terhadap limitasi kewenangan Pengadilan Niaga di Indonesia dapat ditentukan melalui 3 (tiga) konsep ideal dalam penegakan hukum itu sendiri, yaitu Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept), Bersifat penuh (full enforcement concept), dan Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept).
Dan kesimpulan yang keempat, bahwa indikator yang dapat digunakan dalam konsep pembatasan kewenangan Pengadilan Niaga dapat dilakukan melalui indikator subjek hukum yang mengajukan penyelesaian sengketa Perniagaannya. Misalnya apabila subjek hukumnya adalah perbankan syariah atau Perusahaan asuransi syariah, maka Pengadilan Agama adalah lembaga yang memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa Perniagaan tersebut, bukan Pengadilan Niaga.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati
Selanjutnya, sebagai bentuk komitmen terhadap upaya konstruktif dalam perbaikan dan perwujudan supremasi hukum kedepannya, saya juga hendak menyarankan beberapa hal kepada para pemangku kebijakan. Yang pertama adalah bahwa perlu adanya sinkronisasi yang komprehensif mengenai pemahaman tentang hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, peraturan tentang hak

kekayaan intelektual dan peraturan lainnya yang berkaitan. Sinkronisasi ini diperlukan dalam upaya untuk memberi ruang kepada Hakim dalam upaya melakukan proses pemeriksaan perkara secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan di Pengadilan Niaga.
Dan yang kedua, perlu juga adanya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Niaga yang bersifat khusus dan sepenuhnya mengatur tentang wewenang, kompetensi, serta hukum acara yang dapat diberlakukan dalam rangka penyelesaian sengketa di bidang PERNIAGAAN ini. Dengan keberadaan Undang-Undang ini, maka diharapkan batasan kewenangan Pengadilan Niaga akan lebih jelas dan tegas sebagaimana tujuan berdirinya.
Bapak dan Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati.
Demikianlah, beberapa pandangan-pandangan tentang pembatasan kewenangan Pengadilan Niaga serta upaya-upaya konstruktif yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang dapat saya sampaikan melalui Pidato Ilmiah ini. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih yang tidak terkira kepada segenap Civitas Akademika Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan yang baik ini kepada saya. Semoga ilmu yang sama-sama kita peroleh dari alamamater ini, dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya demi tegaknya supremasi hukum di Indonesia.
Atas perhatian Bapak dan Ibu Hadirin sekalian, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Palembang, 12 Februari 2019
Dr. Sobandi, S.H., M.H

RIWAYAT HIDUP
Sobandi, lahir di Karawang pada 04 Februari 1969, anak pertama dari pasangan suami istri Bapak H. Anen dan Mimih Hj. Kartini (Alm), serta suami dari Suhartini, ayah dari Deyuristeen Riekeu Bijakrani,S.H., Beste Refo Kandida, dan Kartika Tiluanna Pilihan. Menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Tunggak Djati 3 Karawang (1983), SMPN 5 Karawang (1986), SMA Negeri 1 Karawang (1989). Menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (1993) dan Magister Hukum di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (2008). Lulusan tercepat di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (1993), wisudawan lulusan terbaik dengan IPK Tertinggi Universitas Lambung Mangkurat (2008). Pengalaman kerja sebagai Calon Hakim di Pengadilan Negeri Brebes (1996-2000), diangkat menjadi hakim pertama kali di Pengadilan Negeri Blangkejeren, Aceh (2000-2001), kemudian berturut-turut mutasi menjadi Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh, Jambi (2001- 2006), Hakim Pengadilan Negeri Kandangan, Kalimantan Selatan (2006-2008), Hakim Pengadilan Negeri Indramayu, Jawa Barat (2008-2010), Hakim Pengadilan Negeri Batam (2010-2013), promosi berturut-turut menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kayuagung, Sumatera Selatan (2013-2015), Ketua Pengadilan Negeri Sekayu, Sumatera Selatan (2015-2017), Ketua Pengadilan Negeri Rantau Prapat (2017-2018), Ketua Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat (2018-Sekarang).
********

PERINTAH PENAHANAN DALAM AMAR PUTUSAN DAN EKSEKUSI NYA TERHADAP PUTUSAN YG BELUM BERKELUATAN HUKUM TETAP

PERINTAH PENAHANAN DALAM PUTUSAN

Pertanyaannya:
Jika terdakwa tidak ditahan apakah dalam putusan pemidanaan wajib mencantumkan perintah penahanan??

Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menentukan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, jika tidak dipenuhi ketentuan tsb maka putusan batal demi hukum;

Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP menentukan bahwa pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tsb ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup utk itu;

Pasal 21 KUHAP mengatur mengenai syarat objektif dan syarat subjektif penahanan, yaitu:
Syarat objektif,
1. Tersangka atau terdakwa  yg diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yg cukup
2. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau pengecualiannya dibawah 5 (lima) tahun yaitu pasal 283 ayat (3) 296, 335 ayat (1),  351 ayat (1), 353 ayat (1), 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480 dan 506 KUHP, pasal 25, 26 uu bea cukai, pasal 1, 2, 4 uu tindak pidana imigrasi, pasal 41, 43,47,48 uu narkotika (uu 9/76);
Syarat subjektif,
1. Keadaan yg menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri
2. Merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau
3. Mengulangi tindak pidana

Jawaban:
Dalam hal terdakwa tidak ditahan, ketika hakim menjatuhan putusan pemidanaan harus diperhatikan syarat objektif dan syarat subjektif penahanan yg diatur dalam pasal 21 KUHAP;
Jika memenuhi syarat pasal 21 maka hakim dalam amar putusan memerintahkan terdakwa untuk ditahan;
Jika tidak memenuhi syarat pasal 21 maka hakim dilarang mencantumkan amar putusan memerintahkan terdakwa ditahan, hal ini juga sudah dikuatkan oleh putusan MK ;

Demikian semoga bermanfaat

Terlampir surat Kejagung berkaitan dengan eksekusi perintah penahanan terhadap putusan pengadilan yg belum berkekuatan hukum tetap

Nomor Sifat Lampiran Perihal
: R-89/EP/Ejp/05/2002 : Rahasia
: -
: Eksekusi Perintah
Penahanan Terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan Hukum tetap -----------------------------------
Jakarta, 06 Mei 2002
KEPADA YTH.
1. PARA KEPALA KEJAKSAAN TINGGI 2. PARA KEPALA KEJAKSAAN NEGERI 3. PARA KEPALA CABANG KEJAKSAAN
NEGERI Di -
SELURUH INDONESIA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
  Dari berbagai laporan dan informasi yang diterima mengenai eksekusi terhadap keputusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata terdapat keragu-raguan dalam pelaksanaannya, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum, dan untuk itu diminta perhatian Saudara atas hal-hal sebagai berikut.
1. Sesuai dengan pasal 270 KUHAP pada dasarnya Jaksa belum dapat melaksanakan setiap keputusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
2. Akan tetapi dalam hal "perintah penahanan" secara tegas dimuat/dinyatakan dalam amar putusan Pengadilan (Negeri/ Tinggi), maka yang dilaksanakan oleh Jaksa Umum adalah Penetapan Hakim yang terkandung dalam amar putusan dimaksud dan sama sekali bukan dalam rangka eksekusi putusan pengadilan yang masih dalam tahap upaya hukum;
3. Sebagai persyaratan dari Perintah Hakim tersebut adalah memenuhi ketentuan pasal 193 (2) a KUHAP, yang lengkap berbunyi:
"Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila di penuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu".
4. Untuk jelasnya kami tegaskan kembali bahwa apabila ada perintah untuk menahan terdakwa yang dimuat dalam amar putusannya, maka Jaksa Penuntut Umum harus segera melaksanakannya, meskipun putusannya belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sebab pelaksanaan penahanan terdakwa yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukan mengeksekusi putusan pengadilan, akan tetapi semata-mata melaksanakan perintah Hakim yang terdapat pada amar putusan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (1)butir K KUHAP.
5. Amar putusan pengadilan lain yang harus dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum, meskipun belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, adalah:
5.1. Perintah pembebasan terdakwa dari tahanan seperti tersebut pada pasal 192 ayat (1) atau pada pasal 129 ayat (2) b KUHAP.
5.2. Perintah penyerahan barang bukti, seperti tersebut pada pasal 194 ayat (2) dan (3) KUHAP (disertai dengan syarat tertentu).
6. Untuk pelaksanaannya penahanan terdakwa tidak Perlu diterbitkan lagi penetapan tersendiri, kecuali apabila sebelum memutus perkara Hakim yang bersangkutan berkehendak untuk menahan terdakwa, sesuai dengan pasal 190 ayat (2) KUHAP;
7. Untuk melaksanakan penahanan terhadap terdakwa berdasarkan putusan pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, agar kalimat-kalimat tersebut dibawah ini pada Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP 132/JA/1 1 /1994 tentang Administrasi Perkara, dirubah menjadi:
7.1. Pada angka 1 (satu) bagian "Pertimbangan" mencamtumkan amar putusan pengadilan (Negeri/Tinggi) yang didalamnya mengandung penetapan untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa.
7.2. Pada angka 1 (satu) bagian "Untuk" mengganti kata "terpidana" menjadi kata "terdakwa".
8. Sejalan dengan uraian pada angka 1 s/d 7, perlu diperjelas bahwa pengertian perkataan "Pengadilan" dalam pasal 193 ayat (2) a KUHAP, meskipun di dalam penjelasan hanya disebut pengadilan tingkat pertama, seharusnya ditafsirkan termasuk juga Pengadilan Tinggi dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal 27 KUHAP, Pengadilan Tinggi mempunyai juga wewenang untuk melakukan penahanan, sehingga dengan demikian Jaksa Penuntut Umum wajib melaksanakan perintah yang tercantum dalam Putusan Pengadilan Tinggi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 193 ayat (2) a dan b KUHAP;
9. Sejalan dengan pasal 238 KUHAP, sejak diajukannya permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi, maka kewenangan penahanan atas terdakwa yang berada dalam tahanan telah beralih ke Pengadilan Tinggi, sehingga untuk merubah status terdakwa yang ditahan berdasarkan perintah penahanan yang terkandung di dalam putusan pengadilan tinggi, sudah berada di pengadilan tinggi
Demikian agar dimaklumi dan dengan ini diharapkan tidak ada
keraguraguan dalam pelaksanaannya, apabila menemukan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi mengandung perintah tertentu.
Tembusan:
1. Yth. Bapak Jaksa Agung R.I (sebagai laporan);
2. Yth. Para Jaksa Agung Muda;
3. Yth. Para Direktur pada JAM PIDUM;
4. Arsip
--------------------------------------------------------