Kamis, 08 Mei 2014

Komentar Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH. “FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?

Komentar Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
“FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?[1]
Oleh : Sobandi            [2]
1.      Ringkasan Artikel
Artikel yang berjudul Fakultas Hukum: Untuk Profesi atau Ilmu dibuat oleh Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH., (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo) dalam rangka memenuhi permintaan Panitia Penerbitan Buku FH UI, menyambut 70 tahun usia Prof Mardjono Reksodiputro dengan tema “ Pendidikan di FH: Apakah dipersiapkan menjadi praktisi hukum atau lebih pada seorang SH yang dapat membantu reformasi hukum di Indonesia”.
Mengawali pembahasannya,  Satjipto Rahardjo berangkat dari pemahaman tentang pendidikan itu sendiri yang mempunyai dua ranah, yaitu profesional dan keilmuan. Pendidikan Hukum untuk ranah profesional akan mengembangkan ketrampilan, pembelajarannya lebih mengandung muatan praktis, sedangkan pendidikan hukum untuk keilmuan diajarkan “sebenarnya ilmu” untuk mencapai “kebenaran”.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo, berbicara mengenai sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yang menurut beliau merupakan bagian dari politik balas budi (“etische koers”) pemerintah kolonial Belanda, yaitu dengan pendirian rechtshogeshool pada tahun 1924 di Jakarta, penggunaan nama hogeschool pada rechtshogeschool lebih mendekatkan pendidikan untuk ranah profesi. Pendidikan tinggi hukum untuk menghasilkan praktisi dan profesional hukum warisan kolonial Belanda tersebut tetap berlangsung sampai beberapa dekade pada jaman kemerdekaan, baik di Universitas Indonesia di Jakarta, maupun Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, dan beberapa perguruan tinggi hukum lainnya, baru kemudian pada tahun 1970 muncul ide perubahan   salah satunya dari Muchtar Kusumaatmadja, guru besar pada Universitas Padjajaran, Bandung yang mengaitkan pendidikan hukum dengan pembangunan nasional sehingga kemampuan sarjana hukum tidak hanya diukur dari penyelesaian perkara-perkara hukum tetapi juga kemampuan untuk menggunakan atau mendayagunakan hukum bagi sarana pembangunan masyarakat.
Masih pada tahun 1970 an, menurut Satjipto Rahardjo studi hukum semakin diperluas dan diperkaya, sehingga tidak terlalu dogmatis, dengan diajarkan sosiologi hukum, seperti Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Universitas Diponogoro, dan Pusat Studi Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga. Studi hukum tidak berkutat di dalam ranah perundang-undangan melainkan juga dalam konteks sosial, terlihat dari karya di kepustakaan hukum seperti “ Hukum dan Masyarakat”, “ Hukum dan Perubahan Sosial”, “Law and Development: The need for reform of legal education in the developing countries”, “Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”, dan “ Studi Hukum Non-Dogmatik”.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menjelaskan pada pertengahan tahun 1980 terjadi revolusi diam-diam dalam dunia pendidikan tinggi, yaitu dengan membangun suatu struktur yang berjenjang atau berlapis (stratified). Era stratifikasi memperkenalkan tipe pembelajaran yang baru, yaitu pembelajaran atau program keilmuan, sehingga program-program pascasarjana diselenggarakan dengan semangat akademis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada program profesional, yaitu “bagaimana menerapkan hukum?”, dan “bagaimana membuat putusan?” tidak ditanyakan  pada program keilmuan mengejar kebenaran, calon doktor didorong untuk melakukan pencarian dan berani melakukan pembebasan, kemudian menurut beliau, sebagai kajian keilmuan, hukum dapat dikaji dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu, seperti filsafat, sosial, ekonomi, biologi, dan fisika sehingga akan melahirkan karya-karya yang menawarkan penyelesaian-penyelesaian alternatif dan tidak deterministik hukum.
Pada awalnya fakultas-fakultas hukum di Indonesia lebih berorientasi kepada pasar, dimana pasar lebih menghendaki agar lulusan fakultas hukum dapat bekerja menyelesaikan masalah atau perkara hukum dalam masyarakat secara konkret, seperti perdagangan, kontrak, pembelaan hukum dan sebagainya, apalagi sejak era globalisasi  dengan cara berpikir dan bertindak kapitalis sehingga profesionalisme hukum lebih untuk melayani produksi kapitalis dan idealisme mengabdi kepada rakyat menjadi terkesampingkan. Hal demikian juga menurut Satjipto Rahrdjo terjadi di Amerika Serikat, dengan mengutip pendapat Gerry Spence, pendidikan hukum di Amerika Serikat mengabaikan pekerjaan hukum sebagai pekerjaan untuk menolong manusia yang sedang susah, sehingga fakultas hukum  menghasilkan lawyer yang baik tidak diukur dari apakah mereka benar-benar mengabdi untuk rakyat,  sudah sejak menapakkan kakinya di fakultas hukum kepekaan mereka terhadap kemanusiaan dirampas, tidak ada gunanya para mahasiswa dijejali dengan sejumlah besar pengetahuan hukum tanpa didahului oleh penghalusan budi pekerti. Baru sekitar tahun 1983, pendidikan tinggi hukum di Indonesia menawarkan program pembelajaran untuk keperluan penerapan atau penegakan hukum sampai pada program “sebenarnya ilmu”.
Lulusan S1 memang untuk program profesional karena semata-mata dipersiapkan untuk spesialis penegakkan hukum, seperti jaksa dan hakim yang memang dipersiapkan untuk menerima hukum yang berlaku sebagai sesuatu yang dipertahankan dan dijalankan. Doktor ilmu hukum harus tidak menerima hukum yang berlaku sebagai suatu yang harus dijalankan begitu saja, mereka harus mencari, menemukan, serta mengungkapkan kebenaran.
Selain masalah stratifikasi menurut Satjipto Rahardjo, lulusan fakultas hukum dipengaruhi juga oleh idiologi pembelajaran. Menurut beliau idiologi pembelajaran penegakan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status quo) maka akan melahirkan para mesin penegak hukum sedangkan idiologi yang lebih progresif , maka kendati hukum berada dalam ranah penegakkan hukum, masih terbuka peluang untuk bertindak reformatif.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif pada intinya mengonsepkan hukum tidak hanya sebagai aturan tetapi juga perilaku, sehingga faktor dan peranan manusia menjadi sangat penting dalam hukum, hukum tidak lagi berfungsi mempertahankan status quo atau sebagai scema final, melainkan scema yang terus dikembangkan. Hukum Progresif mengajarkan agar para pelaku hukum berani melakukan pembebasan. Sejak saat hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan, tetapi juga perilaku, maka batas-batas antara menjalankan (enforcing law) dan mereformasi hukum (reforming law) mejadi tidak hitam putih lagi, dengan mengutip Holmes, membuat putusan hukum itu tidak ada kaitannya dengan “a book of mathematic”, melainkan sarat dengan aspek keperilakuan sang pengambil putusan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kecerdasan Spritual atau SQ, tidak semata mendasarkan pada logika, rasionalitas, dan berpikir menurut aturan yang tidak boleh diabaikan, melainkan berpikir dengan mencari dan memberi makna, jadi tidak semua dapat diselesaikan dengan IQ.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sesungguhnya dunia hukum telah mengenal apa yang disebut berpikir “creative, insightful, and intuitive” sehingga putusan hakim bersifat “rule-breaking”, terlihat pada contoh putusan mengenai “perbuatan melawan hukum”. Putusan tersebut tidak ada presedennya, sehingga bukan merupakan putusan hasil penalaran logis, melainkan putusan yang melompat, selama berpuluh-puluh tahun pebuatan melawan hukum itu selalu dimaknai sebagai bertentangan dengan undang-undang (strijdig met de wet), namun tiba-tiba pada tahun 1919 tanpa dasar logika diputuslah bahwa perbuatan itu juga bertentangan dengan moral yang baik (“goede zeden”) dan kepatutan menurut masyarakat (maatschappelijke betamelijkeheid).
Idiologi pembelajaran hukum progresif harus diajarkan mulai kepada mahasiswa S1, dengan memasukan perihal “memaknai hukum” ke dalam kurikulum bukan hanya sekedar membaca undang-undang. Pembelajaran hukum di Indonesia tidak hanya berkualitas formal, skematis, tetapi juga masuk sampai ke faktor manusia, perilaku dari para aktor hukum sehingga melahirkan praktisi hukum yang cukup terampil dan profesional daam menjalankan hukum, tidak hanya menjalankan hukum sebagai mempertahankan status quo tetapi juga seraya menerapkan, dan menegakkan hukum secara progresif ikut dalam gerakan reformasi hukum.
2.      Catatan  Tentang Satjipto Rahardjo
Dalam buku “Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana” ada dimuat riwayat singkat Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., [3] yaitu disebutkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum universitas Diponogoro dan Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, staf pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponogoro dan Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian UI, aktif menulis dan melakukan penelitian dan kajian tentang hukum dan masyarakat.
Selain dari buku tersebut, penulis mengumpulkan informasi tentang Satjipto Rahardjo dari berbagai sumber yang diakses di internet yang kemudian penulis tulis sebagai catatan tentang Satjipto Rahardjo . Dari Wikepedia[4] diketahui Satjipto Rahardjo lahir di Banyumas, 15 Februari 1930, meninggal di Semarang, 9 Januari 2010, pada usia 79 tahun. Satjipto Rahardjo menyelesaikan SD dan SMP nya di Pati, Jawa Tengah, beliau meneruskan SMA di Semarang dan lulus pada tahun 1951, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, beliau melanjutkan di program doktor ilmu hukum Universitas Diponogoro.
Satjipto Rahardjo menjadi panutan utama studi sosiologi hukum di Indonesia, tulisan dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan pemikiran hukum serta berbagai diskursus sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo  adalah salah satu penulis opini di Kompas yang memiliki tempat terhormat tersendiri dengan sudut pandang sosiologi hukumnya, tulisan beliau di Kompas sampai 23 Juni 2009 sudah mencapai 367 artikel.[5] Tulisan dalam bentuk buku diantaranya :[6] “Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum” ditulis tahun 1977, “ Hukum, Masyarakat dan Pembangunan” ditulis pada tahun 1980, “Hukum dan Masyarakat” tahun 1980, “Masalah Penegakkan Hukum Suatu Tinjaun Sosiologis” tahun 1981, “Ilmu Hukum” tahun 1982, “Permasalahan Hukum di Indonesia” tahun 1983, “Hukum dan Perubahan Sosial” tahun 1983, “Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah” tahun 2002, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia” tahun 2003, “Membedah Hukum Progresif” tahun 2006, “Hukum dalam Jagat Ketertiban” tahun 2006, “Biarkan Hukum Mengalir” tahun 2007, “Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” tahun 2008, “Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia” tahun 2009 dan “Penegakkan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis” tahun 2009.
Kebiasaan menulis Satjipto Rahardjo terasah sejak duduk di bangku SMP (1944-1947), kebiasaan beliau memberikan catatan kecil berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di dalam sebuah buku dengan dilengkapi gambar-gambar telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan beliau pada dunia tulis menulis. Terhadap kebiasaan menulisnya tersebut, Satjipto Rahardjo menganalogikan menulis adalah seni yang sama dengan buang air kecil, sehingga seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum beban tersebut dilepaskan. pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto Rahardjo akan membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk sebuah artikel ataupun buku.[7]
Ide pemikiran atau gagasan Satjipto Rahardjo di bidang hukum dikenal dengan teori hukum progresif, menurut beliau hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.[8] Satjipto Rahardjo menyatakan pemilkiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, oleh karena itu hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia, mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, idiologi hukum progresif adalah hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.[9]
Bagi hukum progresif Satjipto Rahardjo, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan yang buruk sekalipun agar hukum dirasakan manfaatnya untuk kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayani oleh hukum.[10] Dengan argumentasi seperti tersebut di atas, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luarnya.
Dalam masalah penegakkan hukum menurut Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Zain Al-Muhtar dalam tulisannya dalam Blog: sergie-zainovsky.blogspot.com., dengan judul : Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo, ada 2 (dua) macam tipe penegakkan hukum progresif, yaitu :[11]
a.       Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakkan hukum progresif, idealnya mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakkan hukum progresif.
b.      Kebutuhan akan semacam bangunan di kalangan akademi, intelektual dan ilmuan serta teoritisasi hukum Indonesia.

Untuk melengkapi catatan tentang Satjipto Rahardjo, penulis kemukakan komentar  2 (dua)  orang mantan murid beliau untuk mewakili tokoh hukum di Indonesia, sekedar memberikan gambaran bagaimana ide pemikiran dan gagasan beliau diterima di masyarakat, yaitu Prof Muladi dari kalangan akademik dan Brigjend (Pol) Agus Wantoro dari pelaku penegak hukum. 
Prof Muladi, mantan menteri kehakiman, dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang juga mahasiswa Satjipto Rahardjo di Undip pada tahun 1971 mengatakan: [12]
“Pemikiran Satjipto Rahardjo belum dapat diterapkan di Indonesia karena aparat penegak hukum  selama ini hanya mengejar kepastian hukum tidak melihat aspek keadilan dan kemanfaatan, padahal hukum dalam pendekatan sosiologi tidak dipandang dari apa yang terdapat dalam undang-undang (UU), tetapi yang ada pada masyarakat. Aparat seharusnya menafsirkan hukum sesuai dengan konteks sosial pada saat hukum diterapkan serta harus menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kalau mereka hanya jadi mulut UU akan sangat berbahaya karena UU selalu ketinggalan zaman”.

Brigjend (Pol) Agus Wantoro, murid Satjipto Rahardjo di PTIK pada tahun 1996 mengatakan : [13]
“ Satjipto juga diakui sebagai Bapak Reformasi Polri. Ketika mengajar di PTIK, Satjipto selalu menekankan tentang pentingnya perubahan budaya dan perilaku Polri menuju efektivitas penegakkan hukum. Polri sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan seperti yang selama ini diutarakan pak Tjip”.

3.      Komentar
Pendidikan hukum pada perguruan tinggi harus sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, mayarakat, bangsa dan negara”.

Pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo tentang pendidikan hukum dalam artikel yang berjudul : FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU di atas, menurut penulis telah sejalan dengan asas pendidikan tinggi dan fungsi pendidikan tinggi sebagaimana dikehendaki dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi harus berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan keterjangkauan. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, resposnsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan tridhama, dan mengembagkan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Setelah membaca artikel Satjipto Rahardjo, sebagaimana telah diuraikan ringkasannya di atas, penulis mencoba mengintisarikan pemikiran beliau tersebut sebagai berikut :
a.       Pendidikan hukum mempunyai dua tujuan yaitu untuk mempersiapkan praktisi hukum dan mempersiapkan sarjana yang berorientasi pada keilmuan.
b.      Stratifikasi pendidikan tinggi hukum telah menyebabkan program S1 bertugas mempersiapkan praktisi hukum, sedangkan program pascasarjana lebih kepada sarjana yang berorientasi keilmuan.
c.       Idiologi pembelajaran hukum harus lebih progresif yang akan melahirkan sarjana hukum reformatif, jangan hanya pembelajaran penegakkan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status quo) yang hanya akan melahirkan para mesin penegak hukum.
d.      Para pelaku hukum harus berani melakukan law breaking agar hukum bermanfaat untuk manusia, tentunya dengan pendidikan hukum yang lebih menekankan pada perbaikan  prilaku manusia dengan menggunakan SQ.
Dengan menjadikan manusia sebagi faktor penting dalam hukum, maka hukum progresif Satjtipto Raharjo tersebut menurut penulis lebih adalah bagian dari filsafat humanisme. Zaenal Abidin menjelaskan bahwa humanisme sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari.[14]
Selanjutnya menurut Zaenal Abidin, dalam ilmu pengetahuan, filsafat humanisme dengan mengutip pendapat Wiliam Dilthey (1833-1911) membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu [15]Geisteswissenschaften dan Naturwissenchaften. Perbedaan kedua jenis ilmu tersebut terletak pada objek penyelidikan dan metodenya, objek penyelidikan Naturwissenchaften adalah alam fisik (natuur), sedangkan Geisteswissenschaften ekspresi-ekspresi manusia (Ausdruck) yang digerakkan oleh roh, oleh daya-daya pemikiran, penilaian, dan motivasi manusia yang paling dasar. Perbedaan dalam hal obyek penyelidikan menimbulkan perbedaan dalam metode, menurut Dilthey, ekpresi manusia hanya dapat ditangkap makna atau maksudnya melalui suatu proses mental yang disebut pemahaman (verstehen), sedangkan alam fisis hanya dapat dimengerti melalui suatu aktivitas yang disebut penjelasan-kausal (erklaren).[16]
Berdasarakan pemahaman tentang jenis ilmu dari Dilthey di atas, ketika Satjipto Rahardjo dalam artikelnya tersebut mengatakan hukum dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, penulis dapat memahami pendapat beliau  sebatas disiplin ilmu yang termasuk dalam jenis ilmu Geisteswissenschaften karena segenap disiplin ilmu dalam katagori Geisteswissenschaften termasuk ilmu hukum berobjekan ekspresi-ekspresi manusia terdapat hubungan erat (interdisipliner) karena ekspresi-ekspresi manusia di dalam hukum tidak bisa lepas dari pengarush sosial, budaya, politik, kebijaksanaan negara, ekonomi, psikologi, tempat mengekspresikan gejala fisiknya. Penulis tidak sependapat apabila hukum dapat dikaji oleh disiplin ilmu biologi, dan fisika, sebagaimana disebutkan Satjipto Rahardjo atau disiplin ilmu jenis Naturwissenchaften lainnya karena menurut penulis objek dan metode antara ilmu hukum dengan jenis ilmu Naturwissenchaften berbeda , ilmu hukum membutuhkan pemahan sedangan disiplin ilmu biologi, fisika dan jenis ilmu Naturwissenchaften  lainnya mengunakan metode penjelsan-kausa.
Penulis sependapat dengan Satjipto Rahardjo bahwa fakultas hukum selain mempersiapkan praktisi hukum juga harus mempersiapkan sarjana yang dapat membantu reformasi hukum, tidak hanya untuk kepentingan ilmu melainkan melahirkan sarjana yang berpikir alternatif yang menempatkan posisi sebagai seorang pengamat daripada seorang pelaku, sehingga memandang kritis terhadap hukum yang berlaku, dibebankan kepada lulusan program pascasarjana. Menurut penulis mahasiswa S1 belum siap menerima materi hukum progresif, seperti disarankan Satjipto Rahrdjo untuk diajarkan di program S1 karena dasar-dasar pemahaman tenatng ilmu hukum belum mereka kuasai, tetapi sekedar perkenalan hukum progresif dimungkin untuk diberikan setidaknya mengenai pengajaran tentang moral dan perilaku pelaku hukum.
Kelemahan fakultas hukum melahirkan sarjana hukum yang reformis menurut penulis tidak saja karena fakultas hukum masih berorientasi pada pasar, yang cenderung memerlukan praktisi untuk menjadi Advokat, Notaris, Jaksa, Hakim atau karena idiologi pembelajaran yang status quo seperti dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo diatas, tetapi menurut penulis dapat juga disebabkan karena sumber daya alam yang masuk menjadi mahasiwa Fakultas Hukum adalah sisa-sisa setelah lulusan SLTA  tidak diterima di fakultas-fakultas kedokteran atau ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, SH.MA,PhD., [17]bahwa kebanyakan mahasiswa yang ada di fakultas atau sekolah tinggi hukum adalah mereka yang memiliki sikap” daripada tidak belajar di perguruan tinggi” atau “daripada membayar biaya pendidikan yang mahal”.
Hampir mirip dengan pendapat Satjipto Rahrdjo, untuk memasukan idiologi pembelajaran progresif tetapi berbeda bahasa yang disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana bahwa untuk perbaikan fakultas hukum adalah mengenai memasukkan kurikulum yang berorientasi pada peserta didik dan membebaskan ego.[18] Prof. Hikmahanto Juwana menghendaki pendidikan hukum perlu dikonsentrasikan ke arah pendidikan akademis, kalaupun ada mata kuliah yang bersifat praktis dianggap sebagai pengetahuan awaluntuk memasuki profesi tradisional hukum. Pendapat Prof Hikmahanto Juwana tersebut dilatar menurut penulis sangat tepat oleh karena untuk pendidikan profesi seperti profesi hakim akan diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dengan mengadakan Pendidikan dan Latihan Calon Hakim (Diklat Cakim), untuk profesi Kejaksaan diselenggarakan olek Kejaksaan Agung dengan mengadakan Diklat Calon Jaksa, untuk profesi Notaris diselenggarakan oleh fakultas hukum atau Sekolah Tinggi Hukum dalam program Magister Kenotariatan, untuk profesi Advokat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pelatihan hukum yang diberi nama Pendidikan Khusus Profesi Advokat.
Persoalan fakultas hukum untuk praktisi atau ilmu sebagaimana dipertanyakan oleh Satjipto Rahardjo, menurut Prof. Dr. Valerine J.L Kriekhoff, SH.MH., [19]diawali dengan pertanyaan dimanakah posisi ilmu hukum  dalam kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan hukum?, ilmu hukum adalah sui generis (jenis tersendiri) karena sifatnya yang normatif sehingga sulit untuk dikelompokkan ke dalam salah satu cabang pohon ilmu, selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat B.A Sidharta bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya, kelompok ilmun praktis dibagi dua jenis yaitu nomologis dan normologis (ilmu normatif).
Selanjutnya menurut Prof. Valerine J.L Kriekhoff, lulusan Fakultas Hukum tidak hanya melakoni profesi yang tradisional, yaitu hakim, jaksa, pengacara, konsultan hukum, atau notaris, namun diantara mereka ada juga yang memilih bekerja di berbaai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperi WALHI dan ELSAM, diberbagai Komisi Nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Anak serta sebagai staf /konsultan di berbagai lembaga internasional, seperti Word Band dan ADB.[20] Dalam menjalan berbagai profesi  atau pekerjaan tersebut, bekal pengetahuan ilmu-ilmu sosial seperti ilmu Pengantar Sosiologi, Antropologi Budaya, Sosiologi Indonesia, Sosiologi Hukum dan lain-lain akan sangat bermanfaat, sehingga ilmu-ilmu sosial tersebut harus tetap dipertahankan dalam materi kuliah pendidikan hukum.
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu humanistik sebagaimana telah dikemukan penulis di atas, dimana menempatkan manusia sebagai subjek sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya. Konsep humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.[21] Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural right theory) yang melahirkan teori hukum kodrati (natural law theory) , tetapi semuanya itu bersumber dari filsafat Stika melalaui tulisan Santo Thomas Aquinas, yang dikembangkan oleh John Locke dengan mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.[22] Sebagaimana juga dikatakan Darren J.O Byrne, dalam bukunya HUMAN RIGHTS, An Introduction :[23]
Three claim which are made about the properties of human rights, namely :
Human rights are universal, that is, they belong to ecah of us regadless of ethnicity, race, gender, sexuality, age, religion, political conviction, or type of government.
Human right are incontrovertible, that is, they are absolute and innate. They are not grants from states, and thus cannot be removed or denied by any political authority, and they do not requre, and are not negated by the absence of, any coresponding duties.
Human right are subjective. They are the properties of indivuduial subjects who posses them because of their capacity for rationality agency and autonomy.”

Karel Vasak, sebagaimana dikutif dari buku Hukum Hak Asasi Manusia, membagi perkembangan pemikiran hak asasi manusia dalam tiga generasi, yaitu :[24]
a.       Generasi pertama hak asasi manusia berupa kebebasan atau sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, bersifat hak-hak negatif meliputi hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
b.      Generasi kedua hak asasi manusia berupa persamaan diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bersifat positif, meliputi hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusatraan, dan kesenian. Hak untuk mendapatkan pendidikan hukum dan mendapatkan pekerjaan seteah lulus kuliah terdapat dalam generasi kedua ini.
c.       Generasi ketiga hak asasi manusia berupa perasudaraan diwakili oleh tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama, meliputi hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri.
4.      Kesimpulan
Fakultas hukum pada perguruan tinggi di Indonesia dituntut untuk melahirkan sarjana-sarjana hukum yang profesional baik profesional sebagai praktisi maupun sebagai ilmuan. Untuk mewujudakan hal tersebut selain dengan adanya  jenjang pendidikan hukum atau stratifikasi juga harus memasukkan kurikulum yang tepat dan idiologi hukum progresif guna melahirkan sarjana hukum yang reformatif mendukung pembangunan Indonesia.
Ilmu hukum merupakan bagian dari jenis ilmu Geisteswissenschaften, yang berasal dari filsafat humanistik sehingga sebagaimana diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo tentang hukum progersif maka hukum harus untuk manusia, hukum harus melayani manusia mencapai kesejahteraannya.
Konsep hukum yang humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi manusia. Hak mendapatkan  pendidikan hukum yang baik, mendapatkan pekerjaan serta upah yang layak setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia generasi kedua.
















Daftar Bacaan :
1. Buku-buku :
Abidin, Zainal. FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009.
Alston, Philip. Frans Magnis-Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
J.O Byrne, Darren. HUMAN RIGHTS, An Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.
Windarti, Sri. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007.

2. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.          

3. Internet :
Internet :http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.  Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.




[1] Sri Windarti. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007, Hlm 505.
[2] Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum  Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Angkatan 2013.NIM :0201-36-81318-003, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hak dan Kewajiban Manusia dalam Negara Hukum dari dosen pengampu Dr. Zen Zanibar MZ, SH.MH.
[3] Sri Windarti, Op.Cit Hlm 658,659.
[4] Internet :http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.  Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[5] internet: http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Internet: sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[13] Ibid.
[14] Zainal Abidin, FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009. Hlm.39
[15] Ibid. Hlm. 44,45
[16] Ibid.
[17] Sri Windarti. loc.cit. Hlm.182,183.
[18] Ibid.
[19] Ibid. Hlm.247.
[20] Ibid. Hlm.649.
[21] Philip Alston, Frans Magnis Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Hlm.11.
[22] Ibid. Hlm.12
[23] Darren J.O Byrne, HUMAN RIGHTS, An Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.  Page 27.
[24] Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, loc.cit. Hlm.14,15,16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar