SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
PELAKSANAAN
DIVERSI DI PENGADILAN [1]
Oleh:
Sobandi[2]
A. Pendahuluan
Setelah masa 2 (dua) tahun berlalu sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diundangkan di Jakarta pada
tanggal 30 Juli 2012 dan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2012 Nomor 153, maka pada awal
Agustus 2014, dalam sistem peradilan di Indonesia diberlakukan UU SPPA.
Dalam
pertimbangan lahirnya UU SPPA dapat kita ketahui bahwa negara Indonesia
memandang anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat
dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama
perlindungan hukum dalam sistem peradilan.
Anak
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam Konstitusi Indonesia, Pasal 28B
UUD 1945 anak dipandang memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan
bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena
itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik
bagi kelangsungan hidup umat manusia, sehingga pemerintah harus membuat
kebijakan yang bertujuan untuk melindungi anak.
Anak
perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan, dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang
tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
Prinsip
perlindungan hukum terhadap anak sudah dikenal di dunia internasional bahkan
PBB telah mempunyai konvensi hak-hak anak (Convention
on the Rights of the Child) yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Indonesia
sebagai negara pihak dalam konvensi hak-hak anak tersebut mempunyai kewajiban
untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum.
Indonesia
sebenarnya telah mempunyai undang-undang yang dimaksudkan untuk melindungi dan
mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara yaitu UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, akan tetapi dalam
pelaksanaan UU Pengadilan Anak tersebut, anak diposisikan sebagai objek dan perlakukan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain hal
tersebut, UU Pengadilan Anak sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam
masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal demikianlah yang juga menjadi
latar belakang dan pertimbangan pemerintah mengeluarkan undang-undang baru
untuk melindungi kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum, yatu UU SPPA.
UU
SPPA mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana. Substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah
pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara
wajar. Hal tersebut di atas sesuai
dengan resolusi PBB tentang UN Standard
Minimum Rules for the Adminitration of Juvelnile Justice, (Beijing Rule) Rule 11: 2 : [3]
“Diversion, impolving removal from criminal
justice processing, and frequently redirection to community support services,
is commonly practiced on a formal and informal basis ini many legal system.
This practice serves to hinder the negatif effects of subsequent proceedings in
juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and
sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This Diversion
at the out set and without referral to alternative (social) services may be the
optimal response. This is especially the case where the family, the school or
other informal social control institutions have already reacted, or are likely
to react, in an appropriate and contructive manner”.
Perkara
anak yang berhadapan dengan hukum menurut UU SPPA wajib disidangkan di
pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Kemudian
mengingat ciri dan sifat yang khas pada
anak dan untuk memberikan perlindungan terhadap anak, proses peradilan perkara
anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh
pejabat khusus yang memahami masalah anak . Akan tetapi, sebelum masuk peradilan, para penegak hukum, keluarga dan
masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan,
yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Pasal
15 UU SPPA menyatakan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan proses diversi, tata
cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan
sampai sekarang Peraturan Pemerintah dimaksud belum ada, kemungkinan besar
Peraturan Pemerintah dimaksud akan ditetapkan tahun depan apabila mengacu pada
perintah UU SPPA, pasal 107 yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan UU SPPA
harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan.
Padahal sejak awal Agustus 2014, perkara anak yang berhadapan dengan hukum
wajib mengupayakan diversi sementara Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan
proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi belum ada
sehingga para penegak hukum baik penyidik,
penuntut umum mapun hakim kesulitan untuk melaksanakan kewajiban diversi ini
karena kekosongan hukum tersebut.
Dalam
kondisi kekosongan hukum mengenai pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan
koordinasi, pelaksanaan diversi tersebut, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak (PERMA DIVERSI), yang ditetapkan di Jakarta, pada
tanggal 24 Juli 2014 dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014. Kekosongan hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung
mengeluarkan PERMA DIVERSI.
Berkaitan
dengan tugas mata kuliah Politik Perundang-undangan Dosen Pengampu : Prof. Dr.
H. Joni Emirzon, SH.,MHum., pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya tahun akademik 2013/2014, penulis akan mengkaji PERMA
DIVERSI sebagai objek kajian dari sudut politik perundang-undangan.
Dalam
UUD 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan
perundang-undangan adalah negara atau pemerintah. Pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan
tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau pemerintah,
sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan
penswastaan pembentuykan peraturan perundang-undangan, namun demikian dalam
proses pembentukannya sangat mungkin mengkutsertakan pihak bukan negara atau
pihak bukan pemerintah.[4]
Peraturan
Perundang-undangan merupakan subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu
membahas politik perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari
membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik
perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan
perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga
politik (politic body).[5]
Arah
kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasi pada 3 (tiga) prinsip dasar
yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, yaitu supramasi hukum,
kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakkan hukum dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat
mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan
sejahtera. apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan
kepastian, rasa aman, tenteram, aaupun kehidupan yang rukun akan dapat
terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahkan pada
upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik
hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan denga subtansi hukum, struktur
hukum, dan budaya hukum.
Pembenahan
substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui peninjauan
dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib
peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki per
undang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat
untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi
sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional. Pembenahan
terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan dengan
meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum serta kualitas sistem
peradilan yang terbuka dan transparan. Pembenahan budaya hukum melalui
pendidikan dan sosialisai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang telah terdegradasi, apatisme dan
mneurunnya tingkat apresiasi masayarakat pada hukum.[6]
B. Permasalahan
Permasalahan PERMA DIVERSI sebagai objek
kajian dari sudut politik perundang-undangan dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
kedudukan PERMA DIVERSI dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia
?
2. Bagaimana
hakim melaksanakan diversi di pengadilan ?
C. Pembahasan
1. Kedudukan
PERMA DIVERSI dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam pembahasan permasalahan
tentang kedudukan PERMA DIVERSI dalam sistem peraturan perundang-undangan ini,
penulis akan membahas 2 (dua) sub pokok bahasan yaitu mengenai kewenangan
Mahkamah Agung untuk mengeluarkan PERMA DIVERSI dan kekuatan hukum dari PERMA
DIVERSI.
a. Wewenang
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI
Wewenang
pembentukan aturan hukum adalah wewenang negara atau pemerintah dalam membuat aturan hukum. Kekuasaan
membentuk aturan hukum merupakan salah satu kekuasaan negara untuk membuat
keputusan. Negara melalui alat-alat
perlengkapan atau jabatan negara dapat membuat berbagai macam keputusan. Namun,
wewenang pembetukan aturan hukum dimiliki tertentu oleh lembaga negara yang
ditunjuk. dalam teori Montesque tentang pembagian kekuasaan negara dalam bidang
legislatif, eksekutif dan yudikatif akan menunjukkan wewenang terhadap hukum
tersebut.
Setiap
tindakan pembentukan aturan hukum harus bertumpu pada wewenang yang sah.
Wewenang sah itu diperoleh melalui 3 (tiga) sumber, yaitu atribusi, delegasi
dan mandat.[7]
Wewenang atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh
UUD, wewenang delegasi dan mandat adalah wewenang yang berasal dari pelimpahan.[8]
Mahkamah Agung sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan
kehakiman di Indonesia (Yudikatif), diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk menerbitkan suatu peraturan yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan
ataupun pelengkap kekurangan aturan terhadap hukum acara, demi memperlancar
penyelenggaraan peradilan. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1954,
peraturan yang diperoleh berdasarkan delegasi kewenangan itu dinamakan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).[9]
Kewenangan
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA bersumber pada kontitusi yaitu ketentuan
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan undang-undang”.
Kewenangan
lain yang diberikan oleh undang-undang dapat kita lihat dalam Undang-Undang
tentang Mahkamah Agung (UU MA), yaitu UU No.14 Tahun 1985 yang dirubah dengan
UU No.5 Tahun 2004 dan dirubah kembali dengan UU No.3 Tahun 2009, berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma terdapat dalam Pasal 79 UU
MA yang berbunyi:
“ Mahkamah
Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur
dalam undang-undang ini”.
Dan pada
Penjelasan Pasal 79 UU MA dinyatakan :
“Apabila
dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu
hal, Mahkamah Agung berwenang membuat aturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung
berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum
atau tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam hal ini peraturan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh
pembentuk Undang-Undang”.
Menurut Dr.
Febrian dalam disertasinya, dari ketentuan Pasal 79 UU MA berikut penjelasannya
dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :[10]
(1) Adanya
delegasi wewenang dari pembentuk Undang-Undang kepada Mahkamah Agung;
(2) Aturan yang
dibuat Mahkamah Agung terbatas pada pengaturan tentang tata cara penyelesaian
suatu soal (berarti mengatur tentang hukum acara terhadap suatu hal) guna
kelancaran peradilan.
(3) Aturan yang
dibuat Mahkamah Agung secara substansial berbeda dengan aturan yang dibuat oleh
pembentuk Undang-Undang.
(4) Aturan yang
dibuat Mahkamah Agung adalah tidak mencampuri hak dan kewajiban warganegara.
Sebagaimana
telah dikemukakan oleh penulis dalam bab pedahuluan bahwa terbitnya PERMA
DIVERSI dilatarbelakangi oleh kekosongan hukum mengenai
pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi
tersebut,hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan PERMA DIVERSI yang
menyatakan:
“ a. bahwa berdasarkan Pasal 5 sampai engan
Pasal 14, Pasal 29, Pasal 42 dan Pasal 52 ayat (2) sampai dengan ayat (6)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengupayakan diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
perkara anak di pengadilan dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif”.
“b.
bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum mengatur secara jelas tentang
tata cara dan tahapan proses diversi”.
“c.
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan b maka perlu menetapkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”.
Berdasarkan
uraian tentang wewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di
atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA
DIVERSI adalah kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD
1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara
dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA.
b. Kekuatan
hukum PERMA DIVERSI
Kekuatan hukum disini menurut
Yuliandri dikutip dari Muhammad Yasin adalah kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu
perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. [11]
Oleh karena itu PERMA DIVERSI agar
mempunyai kekuatan hukum mengikat seharusnya tunduk pada prinsip hierarki. Menurut
Dr. Febrian, permasalahan hierarki
adalah permasalahan bentuk aturan hukum dan wewenang pembentukan.[12]
Indonesia telah mempunyai
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (UU P3) yaitu
UU No.12 tahun 2011 yang merupakan
pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
dengan undang-undang”. Sistem tertib
hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk pertama kalinya diatur
dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, yang kemudian diganti dengan Ketetapan
MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan dan kemudian diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 yang
selanjutnya UU tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU P3.
UU P3 didasarkan pada pemikiran
bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, maka segala aspek kehidupan dalam
bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
didasarkan pada hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang
saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan beramsyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 1 angka 2 UU P3 memberikan
definisi peraturan perundang-undangan yaitu peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 7 UU P3, terdiri atas :
(1) UUD 1945.
(2) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(4) Peraturan
Pemerintah.
(5) Peraturan
Daerah Provinsi; dan
(6) Peraturan
daerah Kabupaten/Kota.
Melihat jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA DIVERSI)
tidak termasuk di dalamnya, namun dalam pasal berikutnya yaitu Pasal 8 ayat (1)
UU P3 dinyatakan :
“Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Sehingga
sudah jelas bahwa PERMA DIVERSI merupakan jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
UU P3;
Mengenai
kekuatan hukum dari PERMA DIVERSI dapat kita baca ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU
P3 yang menyatakan :
“
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan”
PERMA
DIVERSI ditetapkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan delegasi yang
bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena adanya
kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU
SPPA. Jimly Asshiddiqie memasukkan
peraturan MA sebagai peraturan yang bersifat khusus sehingga tunduk pada
prinsip lex specialis derogat legi generalis.[13]
Meskipun
PERMA tidak disebutkan secara terang dan jelas dalam jenis peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam UU P3, namun sebagaimana telah dibahas di
atas bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU P3 PERMA diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh pearturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. PERMA sebagai produk hukum dari lembaga tinggi negara yaitu
Mahkamah Agung yang lex superior-nya
adalah Pasal 79 UU MA merupakan salah satu Peraturan Perundang-Undangan,
sehingga sebagai peraturan perundang-undangan PERMA termasuk PERMA DIVERSI
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak hanya mengikat
sebatas internal Mahkamah Agung atau badan peradilan saja, tetapi mengikat
secara umum.
Dalam
kerangka hirarki perundang-undangan, derajat kedudukan PERMA adalah sama atau
setingkat dengan Peraturan Pemerintah
yang dikeluarkan Presiden karena PERMA diperintahkan oleh Undang-Undang (Pasal
79 UU MA). Namun derajat kedudukan PERMA apabila dilihat dari aspek materi
muatan tergantung kepada peraturan mana yang memerintahkannya atau peraturan
perundang-undangan mana yang akan dilengkapi oleh PERMA tersebut. PERMA akan
sederajat dengan Peraturan Pemerintah apabila melengkapi suatu ketentuan UU,
dan PERMA dapat sederajat dengan Peraturan Presiden atau di bawah Peraturan
Pemerintah apabila materi muatannya melengkapi Peraturan Pemerintah. materi
muatan PERMA DIVERSI sederajat dengan Peraturan Pemerintah karena melengkapi kekosongan
hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA.
Materi
muatan yang diatur PERMA tidak boleh bersifat membebankan atau mewajibkan
kepada rakyat atau warga negara.[14]
Membebankan atau mewajibkan dimaksud adalah hal-hal yang bersifat
memerintahkan, memaksa, melarang, yang sifatnya megurangi atau membatasi
hak-hak rakyat atau warga negara, misalnya mengenakan pajak, memerintahkan
paksa melakukan suatu perbuatan karena berdasarkan teori kedaulatan rakyat yang
berdaulat atau berkuasa adalah rakyat, oleh karenanya setiap pengaturan yang
mewajibkan atau membebankan kepada rakyat atau warga negara haruslah mendapat
persetujuan dari rakyat, dalam hal ini dari DPR sebagai representasi dari
kedaulatan rakyat.[15]
Berdasarkan
teori kedaulatan rakyat tersebut, materi muatan PERMA sebagai peraturan yang
dibuat oleh Mahkamah Agung, yang bukan lembaga representasi kedaulatan rakyat
tidak boleh bersifat membebankan atau mewajibkan kepada rakyat atau warga
negara, kecuali mendapat regresi atau perintah pengaturan dari undang-undang
termasuk untuk melengkapi suatu undang-undang yang sudah tentu tidak boleh
mengubah, apalagi melampaui pengaturan suatu undang-undang.
Lalu, apakah
peradilan tunduk kepada produk hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung termasuk
dalam hal ini PERMA DIVERSI? Pasal 32
ayat (4) UU MA menggunakan frasa ‘semua
lingkungan peradilan’. Ketentuan ini perlu dikaitkan dengan fungsi
pengawasan MA terhadap peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan
militer, terutama untuk peradilan umum. Ukuran yang dipakai undang-undang
adalah jangan sampai produk hukum itu ‘mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara’. [16]
Selain
menerbitkan PERMA, Mahkamah Agung juga berwenang menerbitkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA).
SEMA adalah bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan
yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat
administrasi, Fatwa berisi pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas
permintaan lembaga negara, sedangkan SK KMA adalah surat keputusan yang
dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung mengenai satu hal tertentu.[17]
2. Pelaksanaan
Diversi Di Pengadilan
Dalam
pokok bahasan permasalahan pelaksanaan diversi di pengadilan ini, penulis akan
membahas 2 (dua) sub bahasan, yaitu konsep umum pelaksanaan diversi dan
permasalahan dalam pelaksanan diversi di pengadilan.
a.
Konsep umum pelaksanaan diversi
M.Lutfi
Chakim[18]
mengemukakan dalam blognya bahwa konsep diversi pertama kali dikemukakan
sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi
Pidana (president’s crime commissionis)
Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebenarnya konsep diversi telah
ada sebelum tahun 1960 dengan berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke 19 yaitu diversi dari sistem
peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning), prakteknya telah
berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh
negara bagian Queensland pada tahun 1963.
Pengertian
anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeiksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang didengar, dilihat dan /atau dialaminya sendiri.
SPPA
dilaksanakan berdasarkan asas Perlindungan, Keadilan, Nondiskriminasi, Kepentingan terbaik untuk
anak, Penghargaan terhadap pendapat
anak, Kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak, Pembinaan dan pembimbingan anak, Proporsional, Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai
upaya terakhir dan Penghindaran
pembalasan.
Diversi
sendiri diartikan dalam UU SPPA adalah pengalihan penyelesaian perkara anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi
merupakan bagian dari keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Diversi
bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara
anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,
mendorong anak untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada
anak.
Pada
Pasal 7 UU SPPA dinyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.
Proses
diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif, dalam
hal diperlukan musyawarah diversi dapat melibatkan Tenaga Kesejahteran Sosial,
dan/atau masyarakat.
Kesepakatan
diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban
serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Hasil
kesepakatan diversi dapat berbentuk
antara lain perdamaian dengan tanpa gangti kerugian, penyerahan kembali
kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan diversi disampaikan kepada penngadilan negeri untuk
memperoleh penetapan kesepakatan, yang kemudian Penyidik menerbitkan penetapan
penghentian penyidikan, atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan pengehentian
penuntutan.
Proses
peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan
kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pengawasan atas
proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan
langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama
proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan dilaksanakan, Pembimbing
Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan.
b. Permasalahan
pelaksanaan diversi di pengadilan
Pelaksanaan
diversi di pengadilan terbagi dalam tahapan persiapan diversi, tahapan
musyawarah diversi dan tahapan kesepakatan diversi.
Tahapan
persiapan diversi , setelah menerima penetapan Ketua Pengadilan untuk menangani
perkara yang wajib diupayakan diversi hakim mengeluarkan Penetapan Hari
Musyawarah Diversi. Penetapan Hakim tersebut memuat perintah kepada Penuntut
Umum untuk menghadirkan anak dan orang tua/wali atau pendampingnya, korban
dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional, Perwakilan Masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya yang
dipandang perlu untuk dilibatkan dalam musyawarah diversi. Penetapan hakim
tersebut juga mencantumkan hari, tanggal, waktu serta tempat dilaksanakannya
musyawarah diversi.
Tahapan
musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi (Hakim) dengan perkenalan
para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta
tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak. Fasilitator diversi
menjelaskan tugas fasilitator dan ringkasan dakwaan, Pembimbing Kamasyarakatan
memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan
saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitaror diversi wajib memberikan
kesempatan kepada anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan, orang
tua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan
bentuk penyelesaian yang diharapkan, korban/anak korban/orang tua/wali untuk
memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan. Pekerja Sosial
Profesional memberikan informasi tentang keadaan sosial anak korban serta
memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitator diversi dapat
memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi
pendukung penyelesaian dan juga dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus).
Fasilitator
diversi menuangkan hasil musyawarah ke dalam kesepakatan diversi. Dalam
menyusun kesepakatan diversi, fasilitator diversi memperhatikan dan mengarahkan
agar kesepakatan diversi tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan
masyarakat setempat, kesusilaan, atau memuat hal-hal yang tidak dapat
dilaksankaan anak atau memuat itikad tidak baik.
Tahapan
kesepakatan diversi, musyawarah diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi. kesepakatan
diversi ditandatangani oleh para pihak dan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan
untuk mendapatkan penetapan kesepakatan diversi. Setelah menerima penetapan
kesepakatan diversi, hakim menerbitkan penetapan pengehntian pemeriksaan
perkara.
Permasalahan
pelaksanaan diversi di pengadilan, diantaranya yang penuli temukan adalah:
(1) Kewajiban
diversi menurut pasal 2 PERMA DIVERSI, diversi diberlakukan terhadap anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Kewajiban diversi ini berbeda dengan ketentuan dalam UU SPPA yang tidak
menyebutkan masalah anak pernah kawin atau tidak.
(2) Pasal
3 PERMA DIVERSI, Hakim wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam pidana dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara
diatas 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan). Hal ini berbeda dengan
ketentuan dalam UU SPPA yang menyatakan bahwa diversi dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh)
tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
(3) Kewenangan
hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara, setelah menerima
penetapan Ketua Pengadilan tentang hasil
kesepakatan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (5) PERMA DIVERSI sementara
UU SPPA dalam pasal 12 hanya memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk
menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum untuk
menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Untuk
permasalahan pertama pelaksanaan diversi yaitu mengenai pengertian anak masih
dianggap anak meskipun pernah kawin, asal anak tersebut berumur diatas 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, penulis
kurang setuju dengan PERMA DIVERSI karena sesuai hukum adat maupun hukum
nasional, orang yang sudah kawin dianggap telah dewasa.
Permasalahan
kedua, meski kelihatannya PERMA DIVERSI membuat norma baru untuk melakukan
diversi dan seperti bertentangan dengan UU SPPA yaitu menambahkan didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh)
tahun atau lebih, penulis tidak keberatan dengan alasan bahwa UU SPPA berbicara
pasal dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun sementara PERMA
DIVERSI berbicara masalah perkara yang dilimpahkan ke pengadilan dengan susunan
dan bentuk dakwaan tunggal, subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun
kombinasi (gabungan), sehingga ketika perkara anak dilimpahkan ke pengadilan,
maka wajib dilakukan diversi asal ada dakwaan dengan pasal yang diancam pidana
di bawah 7 (tujuh) tahun.
Selain
alasan tersebut penulis setuju untuk memuat ketentuan Pasal 3 PERMA DIVERSI
karena sesuai asas dalam UU SPPA yaitu kepentingan terbaik untuk anak dan juga bahwa
tidak ada larangan untuk melakukan diversi terhadap perkara anak , yang ada
adalah kewajiban melakukan diversi bahkan pernah para pejabat yang lalai
melakukan kewajiban untuk mengupayakan diversi diancam dengan pidana penjara.[19]
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 8 PERMA DIVERSI yang menyatakan bahwa
“ Fasilitator Diversi tidak dapat dikenai pertanggung jawaban pidana maupun
perdata atas isi kesepakatan diversi”
Berkaitan
dengan diversi untuk perkara yang didakwa dengan dakwaan subsidiaritas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) menimbulkan pertanyaan
bagaimana kelanjutan perkara tersebut
apabila hanya salah satu dakwaan yang berhasil mencapai kesepakatan diversi.
Dalam hal ini menurut penulis perkara tersebut tetap dilanjutkan dan tidak ada
penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang hasil kesepakatan diversi sedangkan
kesepakatan diversi yang telah dicapai untuk salah satu dakwaan menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, sesuai ketentuan Pasal 7 PERMA
DIVERSI.
Untuk
permasalahan ketiga, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa kewenangan
penyidik untuk menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum
untuk menerbitkan penetapan penghentian penuntutan selain diberikan oleh UU
SPPA juga diatur dalam KUHAP, yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf i untuk menghentikan
penyidikan dan pasal 14 huruf h untuk menutup perkara demi kepentingan hukum,
hal tersebut juga relevan dengan ketentuan praperadilan pasal 77 huruf a yang
menyatakan bahwa : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah
atau tidaknya ...........penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.
Sedangkan kewenangan hakim untuk menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan
perkara tidak ada diatur dalam UU SPPA maupun KUHAP.
Tetapi
meski UU SPPA maupun KUHAP tidak mengatur kewenangan hakim untuk menerbitkan
penetapan penghentian pemeriksaan perkara, dalam praktek peradilan banyak
terjadi hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara, dalam hal
terdakwa sakit permanen (contoh kasus Suharto) atau dalam hal terdakwa kabur
sehingga tidak bisa dihadirkan kembali ke persidangan padahal pemeriksaan belum
selesai (dasar: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1981 tentang Terdakwa Dari
Semula Tidak Dapat Dihadapkan Di Persidangan, pengadilan menyatakan penuntutan
terhadap terdakwa tidak dapat diterima), praktek peradilan tersebut dapat
dijadikan pedoman oleh hakim dalam menerbitkan penetapan penghentian
pemeriksaan perkara.
Upaya hukum jika ada
pihak yaang keberatan terhadap penetapan penghentian pemeriksaan perkara adalah
mengajukan keberatan kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Hal ini berbeda dengan
upaya hukum untuk menguji surat penetapan penghentian penyidikan dan surat
penetapan penghentian penuntutan yaitu melalui proses praperadilan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. wewenang
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di atas, penulis berpendapat
bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI adalah kewenangan
delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 79 UU MA karena
adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara dan tahapan proses diversi
dalam UU SPPAwewenang Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA DIVERSI tersebut di
atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA
DIVERSI adalah kewenangan delegasi yang bersumber pada Pasal 24A ayat (1) UUD
1945, Pasal 79 UU MA karena adanya kekosongan hukum acara mengenai tata cara
dan tahapan proses diversi dalam UU SPPA
b. PERMA
DIVERSI merupakan
jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) UU P3 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan dalam
semua tingkat peradilan umum.
c. Diversi
sendiri adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan bagian dari
keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
d. Permasalahan
pelaksanaan diversi di pengadilan lebih kepada aturan dalam PERMA DIVERSI yang
berbeda dengan UU SPPA, diantaranya pengertian anak meskipun pernah kawin
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, diversi untuk perkara didakwa
pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun
atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif
maupun kombinasi (gabungan) dan kewenangan hakim menerbitkan penetapan
penghentian pemeriksaan perkara.
2. Saran
a. Pemerintah
perlu segara menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan
proses diversi, tata cara, dan koordinasi, pelaksanaan diversi.
b. Perlu
ada sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan diversi
dalam sistem peradilan pidana anak.
Daftar Pustka :
1.
Bentham,
Jeremy. 2013. Teori Perundang-Undangan:
Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana (Cetakan II). Diterjemahkan
dari: Jeremy Bentham, The Theory of
Legislation (N.M. Tripadi, Private Limited, Bombay, 1979). Nuasa Cendikia
& Nusamedia, Bandung, Indonesia.
2.
Emirzon,
Joni.2014. Politik Per-UU. Catatan
Mata Kuliah Politik Perundang-undangan pada Semester 3 (tiga) Program Studi
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, tanggal 29 Agustus
2014.
3.
Febrian.
2004. Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. (Tidak
dipublikasikan).
4.
Harahap,
M Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali (Edisi kedua, Cetakan kesebelas). Sinar Grafika,
Jakarta, Indonesia.
5.
Hadikusuma,
H.Hilman. 2001. Hukum Perekonomian Adat
Indonesia. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Indonesia.
6.
Kelsen,
Hans. 2006. Teori Hukum Murni. Terjemahan
oleh: Raisul Muttaqien. Nusamedia&Nuansa, Bandung, Indonesia.
7.
Kelsen,
Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan
Negara. Terjemahan oleh: Raisul Muttaqien. Nusamedia&Nuansa,
Bandung, Indonesia.
8.
Mansyur,
Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap
Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Yayasan Gema Yustisia
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
9.
Hamzah,
Andi. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana.
Yarsif Watampone, Jakarta, Indonesia.
10.
MD,
Moh.Mahfud. 2012. Politik Hukum di
Indonesia (Cetakan ke-5). Rajawali Pers, Jakarta, Indonesia.
11.
Montesqueieu.
1977. The Spirit of Laws: Dasar-Dasar
Ilmu Hukum dan Politik Hukum. Terjemahan oleh: M.Khoirul Anam. Nusa
Media, Bandung, Indonesia.
12.
M.
Lutfi Chakim. 17 Desember 2012. Implementasi
Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.Internet: lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu,
10 September 2014.
13.
Muhammad
Yasin. 03 Mei 2013. Kekuatan Hukum
Produk-Produk Hukum MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada
Kamis, 11 September 2014.
14.
Lumbuun
& Co. Juli 12,210. PERMA & SITEM PERUNDANG-UNDANGAN.
Internet:Lumbuun.blogspot.com, diakses pada Kamis, 11 September 2014.
15.
Sukadana,
I Made. Peraturan Mahkamah Agung Dalam
Sistem Tertib Hukum Peraturan Perundang-undangan. Varia Peradilan Majalah
Hukum Tahun XXIX No.344 Juli 2014.
Peraturan
Perundang-undangan
:
1.
UUD
1945
2.
UU
No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
3.
UU
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
4.
UU
No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
5.
UU
No.4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
6.
UU
No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
7.
UU
No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
8.
PERMA
No.4 Tahun 2014 tentang Diversi
[1]
Makalah disampaikan dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Politik Perundang-Undangan Indonesia, Dosen
Pengampu : Prof. Dr. H. Joni Emirzon, SH.,MHum., pada Semester 3 (tiga) Program
Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tahun akademik
2014/2015.
[2]
Mahasiswa Program Studi
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, NIM. 020133681318003.
[3]
M. Lutfi Chakim. 17
Desember 2012. Implementasi Konsep
Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Internet:
lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu, 10 September 2014.
[4]
Joni Emirzon.2014. Politik Per-UU. Catatan Mata Kuliah
Politik Perundang-undangan pada Semester 3 (tiga) Program Studi Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, tanggal 29 Agustus 2014.
[7] Febrian.
2004. Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. (Tidak
dipublikasikan). Hlm. 245.
[8]
Ibid.
[9] Lumbuun
& Co. Juli 12,210. PERMA & SITEM
PERUNDANG-UNDANGAN. Internet:Lumbuun.blogspot.com, diakses pada Kamis, 11
September 2014.
[10] Febrian. Op.Cit. Hlm. 292
[11]
Muhammad Yasin. 03 Mei
2013. Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum
MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada Kamis, 11
September 2014.
[12]
Febrian. Op.Cit. Hlm. xiv.
[13]
Muhammad Yasin. 03 Mei
2013. Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum
MA (Perma, Sema, Fatwa, SK KMA). Internet: www.hukumonline.com. diakses pada Kamis, 11
September 2014.
[14]
I Made Sukadana.. Peraturan Mahkamah Agung Dalam Sistem Tertib
Hukum Peraturan Perundang-undangan. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun
XXIX No.344 Juli 2014. Hlm.64.
[15]
Ibid.
[16]
Muhammad Yasin. Op.Cite.
[17]
Ibid.
[18]
M. Lutfi Chakim. 17
Desember 2012. Implementasi Konsep
Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.Internet: lutfichakim.blogspot.com. diakses pada Rabu,
10 September 2014.
[19]
ketentuan pidana kepada
pejabat khusus penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik,
dan penuntut Umum telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....