Komentar
Terhadap Artikel Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
“FAKULTAS
HUKUM : UNTUK PROFESI ATAU ILMU?”[1]
Oleh
: Sobandi [2]
1.
Ringkasan
Artikel
Artikel yang berjudul Fakultas Hukum: Untuk Profesi
atau Ilmu dibuat oleh Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH., (selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo) dalam rangka memenuhi permintaan Panitia Penerbitan Buku FH
UI, menyambut 70 tahun usia Prof Mardjono Reksodiputro dengan tema “ Pendidikan
di FH: Apakah dipersiapkan menjadi praktisi hukum atau lebih pada seorang SH
yang dapat membantu reformasi hukum di Indonesia”.
Mengawali pembahasannya, Satjipto Rahardjo berangkat dari pemahaman tentang
pendidikan itu sendiri yang mempunyai dua ranah, yaitu profesional dan
keilmuan. Pendidikan Hukum untuk ranah profesional akan mengembangkan
ketrampilan, pembelajarannya lebih mengandung muatan praktis, sedangkan pendidikan
hukum untuk keilmuan diajarkan “sebenarnya ilmu” untuk mencapai “kebenaran”.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo, berbicara mengenai
sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yang menurut beliau merupakan
bagian dari politik balas budi (“etische
koers”) pemerintah kolonial Belanda, yaitu dengan pendirian rechtshogeshool pada tahun 1924 di
Jakarta, penggunaan nama hogeschool pada rechtshogeschool lebih mendekatkan
pendidikan untuk ranah profesi. Pendidikan tinggi hukum untuk menghasilkan
praktisi dan profesional hukum warisan kolonial Belanda tersebut tetap
berlangsung sampai beberapa dekade pada jaman kemerdekaan, baik di Universitas
Indonesia di Jakarta, maupun Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, dan
beberapa perguruan tinggi hukum lainnya, baru kemudian pada tahun 1970 muncul
ide perubahan salah satunya dari
Muchtar Kusumaatmadja, guru besar pada Universitas Padjajaran, Bandung yang
mengaitkan pendidikan hukum dengan pembangunan nasional sehingga kemampuan
sarjana hukum tidak hanya diukur dari penyelesaian perkara-perkara hukum tetapi
juga kemampuan untuk menggunakan atau mendayagunakan hukum bagi sarana
pembangunan masyarakat.
Masih pada tahun 1970 an, menurut Satjipto Rahardjo
studi hukum semakin diperluas dan diperkaya, sehingga tidak terlalu dogmatis,
dengan diajarkan sosiologi hukum, seperti Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
Universitas Diponogoro, dan Pusat Studi Hukum dan Pembangunan Universitas
Airlangga. Studi hukum tidak berkutat di dalam ranah perundang-undangan
melainkan juga dalam konteks sosial, terlihat dari karya di kepustakaan hukum
seperti “ Hukum dan Masyarakat”, “ Hukum dan Perubahan Sosial”, “Law and Development: The need for reform of
legal education in the developing countries”, “Beberapa Permasalahan Hukum
dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”, dan “ Studi Hukum Non-Dogmatik”.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menjelaskan pada
pertengahan tahun 1980 terjadi revolusi diam-diam dalam dunia pendidikan
tinggi, yaitu dengan membangun suatu struktur yang berjenjang atau berlapis (stratified). Era stratifikasi
memperkenalkan tipe pembelajaran yang baru, yaitu pembelajaran atau program
keilmuan, sehingga program-program pascasarjana diselenggarakan dengan semangat
akademis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada program profesional, yaitu
“bagaimana menerapkan hukum?”, dan “bagaimana membuat putusan?” tidak ditanyakan
pada program keilmuan mengejar
kebenaran, calon doktor didorong untuk melakukan pencarian dan berani melakukan
pembebasan, kemudian menurut beliau, sebagai kajian keilmuan, hukum dapat
dikaji dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu, seperti filsafat, sosial, ekonomi,
biologi, dan fisika sehingga akan melahirkan karya-karya yang menawarkan
penyelesaian-penyelesaian alternatif dan tidak deterministik hukum.
Pada awalnya fakultas-fakultas hukum di Indonesia
lebih berorientasi kepada pasar, dimana pasar lebih menghendaki agar lulusan
fakultas hukum dapat bekerja menyelesaikan masalah atau perkara hukum dalam
masyarakat secara konkret, seperti perdagangan, kontrak, pembelaan hukum dan
sebagainya, apalagi sejak era globalisasi
dengan cara berpikir dan bertindak kapitalis sehingga profesionalisme
hukum lebih untuk melayani produksi kapitalis dan idealisme mengabdi kepada
rakyat menjadi terkesampingkan. Hal demikian juga menurut Satjipto Rahrdjo
terjadi di Amerika Serikat, dengan mengutip pendapat Gerry Spence, pendidikan
hukum di Amerika Serikat mengabaikan pekerjaan hukum sebagai pekerjaan untuk
menolong manusia yang sedang susah, sehingga fakultas hukum menghasilkan lawyer yang baik tidak diukur dari apakah mereka benar-benar
mengabdi untuk rakyat, sudah sejak menapakkan
kakinya di fakultas hukum kepekaan mereka terhadap kemanusiaan dirampas, tidak
ada gunanya para mahasiswa dijejali dengan sejumlah besar pengetahuan hukum
tanpa didahului oleh penghalusan budi pekerti. Baru sekitar tahun 1983, pendidikan
tinggi hukum di Indonesia menawarkan program pembelajaran untuk keperluan
penerapan atau penegakan hukum sampai pada program “sebenarnya ilmu”.
Lulusan S1 memang untuk program profesional karena
semata-mata dipersiapkan untuk spesialis penegakkan hukum, seperti jaksa dan
hakim yang memang dipersiapkan untuk menerima hukum yang berlaku sebagai
sesuatu yang dipertahankan dan dijalankan. Doktor ilmu hukum harus tidak
menerima hukum yang berlaku sebagai suatu yang harus dijalankan begitu saja,
mereka harus mencari, menemukan, serta mengungkapkan kebenaran.
Selain masalah stratifikasi menurut Satjipto
Rahardjo, lulusan fakultas hukum dipengaruhi juga oleh idiologi pembelajaran. Menurut
beliau idiologi pembelajaran penegakan hukum yang cenderung ke arah mempertahankan
keadaan formal yang berlaku (status quo)
maka akan melahirkan para mesin penegak hukum sedangkan idiologi yang lebih
progresif , maka kendati hukum berada dalam ranah penegakkan hukum, masih
terbuka peluang untuk bertindak reformatif.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif pada
intinya mengonsepkan hukum tidak hanya sebagai aturan tetapi juga perilaku,
sehingga faktor dan peranan manusia menjadi sangat penting dalam hukum, hukum
tidak lagi berfungsi mempertahankan status
quo atau sebagai scema final, melainkan scema yang terus dikembangkan.
Hukum Progresif mengajarkan agar para pelaku hukum berani melakukan pembebasan.
Sejak saat hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan, tetapi juga perilaku, maka
batas-batas antara menjalankan (enforcing
law) dan mereformasi hukum (reforming
law) mejadi tidak hitam putih lagi, dengan mengutip Holmes, membuat putusan
hukum itu tidak ada kaitannya dengan “a
book of mathematic”, melainkan sarat dengan aspek keperilakuan sang
pengambil putusan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kecerdasan Spritual atau
SQ, tidak semata mendasarkan pada logika, rasionalitas, dan berpikir menurut
aturan yang tidak boleh diabaikan, melainkan berpikir dengan mencari dan
memberi makna, jadi tidak semua dapat diselesaikan dengan IQ.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sesungguhnya
dunia hukum telah mengenal apa yang disebut berpikir “creative, insightful, and intuitive” sehingga putusan hakim
bersifat “rule-breaking”, terlihat
pada contoh putusan mengenai “perbuatan melawan hukum”. Putusan tersebut tidak
ada presedennya, sehingga bukan merupakan putusan hasil penalaran logis,
melainkan putusan yang melompat, selama berpuluh-puluh tahun pebuatan melawan
hukum itu selalu dimaknai sebagai bertentangan dengan undang-undang (strijdig met de wet), namun tiba-tiba
pada tahun 1919 tanpa dasar logika diputuslah bahwa perbuatan itu juga
bertentangan dengan moral yang baik (“goede zeden”)
dan kepatutan menurut masyarakat (maatschappelijke
betamelijkeheid).
Idiologi pembelajaran hukum progresif harus
diajarkan mulai kepada mahasiswa S1, dengan memasukan perihal “memaknai hukum”
ke dalam kurikulum bukan hanya sekedar membaca undang-undang. Pembelajaran
hukum di Indonesia tidak hanya berkualitas formal, skematis, tetapi juga masuk
sampai ke faktor manusia, perilaku dari para aktor hukum sehingga melahirkan
praktisi hukum yang cukup terampil dan profesional daam menjalankan hukum,
tidak hanya menjalankan hukum sebagai mempertahankan status quo tetapi juga seraya menerapkan, dan menegakkan hukum
secara progresif ikut dalam gerakan reformasi hukum.
2.
Catatan
Tentang Satjipto Rahardjo
Dalam buku “Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang
Guru Besar Hukum Pidana” ada dimuat riwayat singkat Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH., [3] yaitu
disebutkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum universitas Diponogoro dan Ketua
Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, staf pengajar pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponogoro dan Pascasarjana
Kajian Ilmu Kepolisian UI, aktif menulis dan melakukan penelitian dan kajian
tentang hukum dan masyarakat.
Selain dari buku tersebut, penulis mengumpulkan
informasi tentang Satjipto Rahardjo dari berbagai sumber yang diakses di
internet yang kemudian penulis tulis sebagai catatan tentang Satjipto Rahardjo
. Dari Wikepedia[4]
diketahui Satjipto Rahardjo lahir di Banyumas, 15 Februari 1930, meninggal di
Semarang, 9 Januari 2010, pada usia 79 tahun. Satjipto Rahardjo menyelesaikan
SD dan SMP nya di Pati, Jawa Tengah, beliau meneruskan SMA di Semarang dan
lulus pada tahun 1951, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia, lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, beliau melanjutkan di
program doktor ilmu hukum Universitas Diponogoro.
Satjipto Rahardjo menjadi panutan utama studi
sosiologi hukum di Indonesia, tulisan dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan
pemikiran hukum serta berbagai diskursus sosiologi hukum. Satjipto
Rahardjo adalah salah satu penulis opini
di Kompas yang memiliki tempat terhormat tersendiri dengan sudut pandang
sosiologi hukumnya, tulisan beliau di Kompas sampai 23 Juni 2009 sudah mencapai
367 artikel.[5]
Tulisan dalam bentuk buku diantaranya :[6]
“Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum” ditulis tahun 1977,
“ Hukum, Masyarakat dan Pembangunan” ditulis pada tahun 1980, “Hukum dan
Masyarakat” tahun 1980, “Masalah Penegakkan Hukum Suatu Tinjaun Sosiologis”
tahun 1981, “Ilmu Hukum” tahun 1982, “Permasalahan Hukum di Indonesia” tahun
1983, “Hukum dan Perubahan Sosial” tahun 1983, “Sosiologi Hukum Perkembangan
Metode dan Pilihan Masalah” tahun 2002, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia” tahun 2003, “Membedah Hukum Progresif” tahun 2006, “Hukum dalam
Jagat Ketertiban” tahun 2006, “Biarkan Hukum Mengalir” tahun 2007, “Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” tahun 2008, “Lapisan-lapisan dalam Studi
Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia” tahun 2009 dan “Penegakkan
Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis” tahun 2009.
Kebiasaan menulis Satjipto Rahardjo terasah sejak
duduk di bangku SMP (1944-1947), kebiasaan beliau memberikan catatan kecil
berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di dalam sebuah buku dengan
dilengkapi gambar-gambar telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan
beliau pada dunia tulis menulis. Terhadap kebiasaan menulisnya tersebut,
Satjipto Rahardjo menganalogikan menulis adalah seni yang sama dengan buang air
kecil, sehingga seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum beban tersebut
dilepaskan. pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto Rahardjo akan
membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk sebuah
artikel ataupun buku.[7]
Ide pemikiran atau gagasan Satjipto Rahardjo di
bidang hukum dikenal dengan teori hukum progresif, menurut beliau hukum itu bukan
hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.[8]
Satjipto Rahardjo menyatakan pemilkiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya, yaitu hukum untuk manusia, maka manusia menjadi penentu dan titik
orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, oleh karena
itu hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia,
mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan
manusia, idiologi hukum progresif adalah hukum yang pro-keadilan dan hukum yang
pro-rakyat.[9]
Bagi hukum progresif Satjipto Rahardjo, proses
perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku
hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, para pelaku
hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena mereka dapat
melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan yang buruk
sekalipun agar hukum dirasakan manfaatnya untuk kepentingan-kepentingan sosial
yang memang harus dilayani oleh hukum.[10]
Dengan argumentasi seperti tersebut di atas, hukum tidak mengabdi bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luarnya.
Dalam masalah penegakkan hukum menurut Satjipto
Rahardjo yang dikutip oleh Zain Al-Muhtar dalam tulisannya dalam Blog:
sergie-zainovsky.blogspot.com., dengan judul : Teori Hukum Progresif Menurut
Satjipto Rahardjo, ada 2 (dua) macam tipe penegakkan hukum progresif, yaitu :[11]
a.
Dimensi
dan faktor manusia pelaku dalam penegakkan hukum progresif, idealnya mereka
terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat
yang mendasari penegakkan hukum progresif.
b.
Kebutuhan
akan semacam bangunan di kalangan akademi, intelektual dan ilmuan serta
teoritisasi hukum Indonesia.
Untuk melengkapi catatan tentang Satjipto Rahardjo,
penulis kemukakan komentar 2 (dua) orang mantan murid beliau untuk mewakili
tokoh hukum di Indonesia, sekedar memberikan gambaran bagaimana ide pemikiran
dan gagasan beliau diterima di masyarakat, yaitu Prof Muladi dari kalangan
akademik dan Brigjend (Pol) Agus Wantoro dari pelaku penegak hukum.
Prof Muladi, mantan menteri kehakiman, dan Gubernur
Lembaga Ketahanan Nasional yang juga mahasiswa Satjipto Rahardjo di Undip pada
tahun 1971 mengatakan: [12]
“Pemikiran Satjipto Rahardjo belum dapat
diterapkan di Indonesia karena aparat penegak hukum selama ini hanya mengejar kepastian hukum
tidak melihat aspek keadilan dan kemanfaatan, padahal hukum dalam pendekatan
sosiologi tidak dipandang dari apa yang terdapat dalam undang-undang (UU),
tetapi yang ada pada masyarakat. Aparat seharusnya menafsirkan hukum sesuai
dengan konteks sosial pada saat hukum diterapkan serta harus menggali
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kalau mereka hanya jadi mulut UU
akan sangat berbahaya karena UU selalu ketinggalan zaman”.
Brigjend (Pol) Agus Wantoro, murid
Satjipto Rahardjo di PTIK pada tahun 1996 mengatakan : [13]
“ Satjipto juga diakui sebagai Bapak
Reformasi Polri. Ketika mengajar di PTIK, Satjipto selalu menekankan tentang pentingnya
perubahan budaya dan perilaku Polri menuju efektivitas penegakkan hukum. Polri
sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan seperti yang selama ini diutarakan
pak Tjip”.
3.
Komentar
Pendidikan hukum pada perguruan tinggi harus sesuai
dengan tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
berbunyi :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, mayarakat, bangsa dan negara”.
Pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo tentang
pendidikan hukum dalam artikel yang berjudul : FAKULTAS HUKUM : UNTUK PROFESI
ATAU ILMU di atas, menurut penulis telah sejalan dengan asas pendidikan tinggi
dan fungsi pendidikan tinggi sebagaimana dikehendaki dalam Undang-Undang
Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi harus berasaskan kebenaran ilmiah,
penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab,
kebhinekaan, dan keterjangkauan. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang
inovatif, resposnsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui
pelaksanaan tridhama, dan mengembagkan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Setelah membaca artikel Satjipto Rahardjo,
sebagaimana telah diuraikan ringkasannya di atas, penulis mencoba mengintisarikan
pemikiran beliau tersebut sebagai berikut :
a. Pendidikan
hukum mempunyai dua tujuan yaitu untuk mempersiapkan praktisi hukum dan
mempersiapkan sarjana yang berorientasi pada keilmuan.
b. Stratifikasi
pendidikan tinggi hukum telah menyebabkan program S1 bertugas mempersiapkan
praktisi hukum, sedangkan program pascasarjana lebih kepada sarjana yang
berorientasi keilmuan.
c. Idiologi
pembelajaran hukum harus lebih progresif yang akan melahirkan sarjana hukum
reformatif, jangan hanya pembelajaran penegakkan hukum yang cenderung ke arah
mempertahankan keadaan formal yang berlaku (status
quo) yang hanya akan melahirkan para mesin penegak hukum.
d. Para
pelaku hukum harus berani melakukan law
breaking agar hukum bermanfaat untuk manusia, tentunya dengan pendidikan
hukum yang lebih menekankan pada perbaikan
prilaku manusia dengan menggunakan SQ.
Dengan menjadikan manusia sebagi faktor penting
dalam hukum, maka hukum progresif Satjtipto Raharjo tersebut menurut penulis
lebih adalah bagian dari filsafat humanisme. Zaenal Abidin menjelaskan bahwa humanisme
sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia
sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan
penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup
sehari-hari.[14]
Selanjutnya menurut Zaenal Abidin, dalam ilmu
pengetahuan, filsafat humanisme dengan mengutip pendapat Wiliam Dilthey
(1833-1911) membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu [15]Geisteswissenschaften dan Naturwissenchaften. Perbedaan kedua
jenis ilmu tersebut terletak pada objek penyelidikan dan metodenya, objek
penyelidikan Naturwissenchaften
adalah alam fisik (natuur), sedangkan
Geisteswissenschaften
ekspresi-ekspresi manusia (Ausdruck)
yang digerakkan oleh roh, oleh daya-daya pemikiran, penilaian, dan motivasi
manusia yang paling dasar. Perbedaan dalam hal obyek penyelidikan menimbulkan
perbedaan dalam metode, menurut Dilthey, ekpresi manusia hanya dapat ditangkap
makna atau maksudnya melalui suatu proses mental yang disebut pemahaman (verstehen), sedangkan alam fisis hanya
dapat dimengerti melalui suatu aktivitas yang disebut penjelasan-kausal (erklaren).[16]
Berdasarakan pemahaman tentang jenis ilmu dari
Dilthey di atas, ketika Satjipto Rahardjo dalam artikelnya tersebut mengatakan
hukum dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, penulis dapat memahami pendapat
beliau sebatas disiplin ilmu yang
termasuk dalam jenis ilmu Geisteswissenschaften
karena segenap disiplin ilmu dalam katagori Geisteswissenschaften
termasuk ilmu hukum berobjekan ekspresi-ekspresi manusia terdapat hubungan erat
(interdisipliner) karena ekspresi-ekspresi manusia di dalam hukum tidak bisa
lepas dari pengarush sosial, budaya, politik, kebijaksanaan negara, ekonomi,
psikologi, tempat mengekspresikan gejala fisiknya. Penulis tidak sependapat
apabila hukum dapat dikaji oleh disiplin ilmu biologi, dan fisika, sebagaimana
disebutkan Satjipto Rahardjo atau disiplin ilmu jenis Naturwissenchaften lainnya karena menurut penulis objek dan metode
antara ilmu hukum dengan jenis ilmu Naturwissenchaften
berbeda , ilmu hukum membutuhkan pemahan sedangan disiplin ilmu biologi, fisika
dan jenis ilmu Naturwissenchaften lainnya mengunakan metode penjelsan-kausa.
Penulis sependapat dengan Satjipto Rahardjo bahwa
fakultas hukum selain mempersiapkan praktisi hukum juga harus mempersiapkan
sarjana yang dapat membantu reformasi hukum, tidak hanya untuk kepentingan ilmu
melainkan melahirkan sarjana yang berpikir alternatif yang menempatkan posisi
sebagai seorang pengamat daripada seorang pelaku, sehingga memandang kritis terhadap
hukum yang berlaku, dibebankan kepada lulusan program pascasarjana. Menurut penulis
mahasiswa S1 belum siap menerima materi hukum progresif, seperti disarankan
Satjipto Rahrdjo untuk diajarkan di program S1 karena dasar-dasar pemahaman
tenatng ilmu hukum belum mereka kuasai, tetapi sekedar perkenalan hukum
progresif dimungkin untuk diberikan setidaknya mengenai pengajaran tentang
moral dan perilaku pelaku hukum.
Kelemahan fakultas hukum melahirkan sarjana hukum
yang reformis menurut penulis tidak saja karena fakultas hukum masih
berorientasi pada pasar, yang cenderung memerlukan praktisi untuk menjadi
Advokat, Notaris, Jaksa, Hakim atau karena idiologi pembelajaran yang status quo seperti dijelaskan oleh
Satjipto Rahardjo diatas, tetapi menurut penulis dapat juga disebabkan karena
sumber daya alam yang masuk menjadi mahasiwa Fakultas Hukum adalah sisa-sisa
setelah lulusan SLTA tidak diterima di
fakultas-fakultas kedokteran atau ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Prof.
Hikmahanto Juwana, SH.MA,PhD., [17]bahwa
kebanyakan mahasiswa yang ada di fakultas atau sekolah tinggi hukum adalah
mereka yang memiliki sikap” daripada tidak belajar di perguruan tinggi” atau
“daripada membayar biaya pendidikan yang mahal”.
Hampir mirip dengan pendapat Satjipto Rahrdjo, untuk
memasukan idiologi pembelajaran progresif tetapi berbeda bahasa yang
disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana bahwa untuk perbaikan fakultas hukum
adalah mengenai memasukkan kurikulum yang berorientasi pada peserta didik dan
membebaskan ego.[18]
Prof. Hikmahanto Juwana menghendaki pendidikan hukum perlu dikonsentrasikan ke
arah pendidikan akademis, kalaupun ada mata kuliah yang bersifat praktis
dianggap sebagai pengetahuan awaluntuk memasuki profesi tradisional hukum. Pendapat
Prof Hikmahanto Juwana tersebut dilatar menurut penulis sangat tepat oleh
karena untuk pendidikan profesi seperti profesi hakim akan diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung dengan mengadakan Pendidikan dan Latihan Calon Hakim (Diklat
Cakim), untuk profesi Kejaksaan diselenggarakan olek Kejaksaan Agung dengan
mengadakan Diklat Calon Jaksa, untuk profesi Notaris diselenggarakan oleh
fakultas hukum atau Sekolah Tinggi Hukum dalam program Magister Kenotariatan,
untuk profesi Advokat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pelatihan hukum yang
diberi nama Pendidikan Khusus Profesi Advokat.
Persoalan fakultas hukum untuk praktisi atau ilmu
sebagaimana dipertanyakan oleh Satjipto Rahardjo, menurut Prof. Dr. Valerine
J.L Kriekhoff, SH.MH., [19]diawali
dengan pertanyaan dimanakah posisi ilmu hukum
dalam kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan hukum?, ilmu hukum
adalah sui generis (jenis tersendiri)
karena sifatnya yang normatif sehingga sulit untuk dikelompokkan ke dalam salah
satu cabang pohon ilmu, selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat B.A Sidharta
bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan
itu sendiri sebagai objeknya, kelompok ilmun praktis dibagi dua jenis yaitu
nomologis dan normologis (ilmu normatif).
Selanjutnya menurut Prof. Valerine J.L Kriekhoff,
lulusan Fakultas Hukum tidak hanya melakoni profesi yang tradisional, yaitu hakim,
jaksa, pengacara, konsultan hukum, atau notaris, namun diantara mereka ada juga
yang memilih bekerja di berbaai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperi WALHI
dan ELSAM, diberbagai Komisi Nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Anak serta
sebagai staf /konsultan di berbagai lembaga internasional, seperti Word Band
dan ADB.[20]
Dalam menjalan berbagai profesi atau
pekerjaan tersebut, bekal pengetahuan ilmu-ilmu sosial seperti ilmu Pengantar
Sosiologi, Antropologi Budaya, Sosiologi Indonesia, Sosiologi Hukum dan
lain-lain akan sangat bermanfaat, sehingga ilmu-ilmu sosial tersebut harus
tetap dipertahankan dalam materi kuliah pendidikan hukum.
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu humanistik
sebagaimana telah dikemukan penulis di atas, dimana menempatkan manusia sebagai
subjek sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan
martabat kemanusiaannya. Konsep humanistik yang menempatkan manusia sebagai
subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran hak asasi
manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia.[21]
Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural right theory) yang melahirkan
teori hukum kodrati (natural law theory)
, tetapi semuanya itu bersumber dari filsafat Stika melalaui tulisan Santo
Thomas Aquinas, yang dikembangkan oleh John Locke dengan mengajukan sebuah
postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat
atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan
tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.[22] Sebagaimana
juga dikatakan Darren J.O Byrne, dalam bukunya HUMAN RIGHTS, An Introduction :[23]
“Three
claim which are made about the properties of human rights, namely :
Human rights are
universal, that is, they belong to ecah of us regadless of ethnicity, race,
gender, sexuality, age, religion, political conviction, or type of government.
Human right are
incontrovertible, that is, they are absolute and innate. They are not grants
from states, and thus cannot be removed or denied by any political authority,
and they do not requre, and are not negated by the absence of, any coresponding
duties.
Human right are
subjective. They are the properties of indivuduial subjects who posses them because
of their capacity for rationality agency and autonomy.”
Karel Vasak, sebagaimana dikutif dari
buku Hukum Hak Asasi Manusia, membagi perkembangan pemikiran hak asasi manusia
dalam tiga generasi, yaitu :[24]
a. Generasi
pertama hak asasi manusia berupa kebebasan atau sering dirujuk untuk mewakili
hak-hak sipil dan politik, bersifat hak-hak negatif meliputi hak hidup,
keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum
yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
b. Generasi
kedua hak asasi manusia berupa persamaan diwakili oleh perlindungan bagi
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bersifat positif, meliputi hak atas
pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan,
hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak
atas lingkungan yang sehat dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah,
kesusatraan, dan kesenian. Hak untuk mendapatkan pendidikan hukum dan
mendapatkan pekerjaan seteah lulus kuliah terdapat dalam generasi kedua ini.
c. Generasi
ketiga hak asasi manusia berupa perasudaraan diwakili oleh tuntutan atas hak
solidaritas atau hak bersama, meliputi hak atas pembangunan, hak atas
perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri.
4.
Kesimpulan
Fakultas hukum pada perguruan tinggi di Indonesia
dituntut untuk melahirkan sarjana-sarjana hukum yang profesional baik
profesional sebagai praktisi maupun sebagai ilmuan. Untuk mewujudakan hal
tersebut selain dengan adanya jenjang
pendidikan hukum atau stratifikasi juga harus memasukkan kurikulum yang tepat dan
idiologi hukum progresif guna melahirkan sarjana hukum yang reformatif
mendukung pembangunan Indonesia.
Ilmu hukum merupakan bagian dari jenis ilmu Geisteswissenschaften, yang berasal dari
filsafat humanistik sehingga sebagaimana diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo
tentang hukum progersif maka hukum harus untuk manusia, hukum harus melayani
manusia mencapai kesejahteraannya.
Konsep hukum yang humanistik yang menempatkan
manusia sebagai subjek relevan dengan konsep dasar dan perkembangan pemikiran
hak asasi manusia. Hak mendapatkan
pendidikan hukum yang baik, mendapatkan pekerjaan serta upah yang layak
setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia
generasi kedua.
Daftar Bacaan
:
1.
Buku-buku :
Abidin,
Zainal. FILSAFAT MANUSIA, Memahami
Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan
kelima, Februari 2009.
Alston,
Philip. Frans Magnis-Suseno. Hukum Hak
Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
J.O
Byrne, Darren. HUMAN RIGHTS, An
Introduction. India: Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004.
Windarti,
Sri. Marjono Reksodiputro: Pengabdian
Seorang Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI,
Sentra HAM FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007.
2.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang
dasar 1945.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3.
Internet :
Internet
:http:// id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo. Satjipto
Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo
dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori
Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
Internet:
http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang
Sederhana, Dengan Pemikiran Yang Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[1]
Sri Windarti. Marjono Reksodiputro: Pengabdian Seorang
Guru Besar Hukum Pidana. Depok: Bidang Studi Hukum Pidana FH UI, Sentra HAM
FH UI, Badan Penerbit FH UI, Cetakan Pertama, 2007, Hlm 505.
[2]
Mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Angkatan 2013.NIM
:0201-36-81318-003, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hak
dan Kewajiban Manusia dalam Negara Hukum dari dosen pengampu Dr. Zen Zanibar
MZ, SH.MH.
[3]
Sri Windarti, Op.Cit Hlm 658,659.
[4]
Internet :http://
id.wikipedia.org/wiki/Satjipto rahardjo.
Satjipto Rahardjo. Diakses
pada 30 Maret 2014.
[5]
internet:
http;/m.facebook.com. Satjipto Rahardjo
dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif. Diakses pada 30 Maret 2014.
[6]
Ibid.
[8]
Internet:
sergie-zainovsky.blogspot.com. Teori
Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo. Diakses pada 30 Maret 2014.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]
Internet: http://rudini17ban.wordpress.com. Prof. Satjipto Rahardjo Sosok Yang Sederhana, Dengan Pemikiran Yang
Luar Biasa. Diakses pada 30 Maret 2014.
[13]
Ibid.
[14]
Zainal Abidin, FILSAFAT MANUSIA, Memahami Manusia Melalui Filsafat,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Cetakan kelima, Februari 2009. Hlm.39
[16]
Ibid.
[17]
Sri Windarti. loc.cit. Hlm.182,183.
[18]
Ibid.
[21]
Philip Alston, Frans Magnis
Suseno. Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008. Hlm.11.
[23]
Darren J.O Byrne, HUMAN RIGHTS, An Introduction. India:
Saurabh Printers Pvt.Ltd.2004. Page 27.
[24]
Philip Alston, Franz
Magnis-Suseno, loc.cit. Hlm.14,15,16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar